Dari 814 Wilayah Adat, Baru 65 Diakui Pemerintah
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Senin, 15 Juli 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Total wilayah adat yang terdaftar masuk di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Nasional berjumlah 814 wilayah adat. Namun dari jumlah tersebut baru 65 wilayah saja yang sudah mendapat pengakuan secara tetap melalui produk hukum yang dikeluarkan pemerintah daerah.
Baca juga: Masyarakat Adat Papua Tuntut Perkebunan Sawit Keluar dari Tanah Ulayat
Berdasarkan data yang dirilis BRWA, hingga periode April 2019, wilayah adat yang terdaftar di BRWA berjumlah 814 wilayah. Dengan total luasan sebesar 10,24 juta hektare dan berada di 107 kabupaten/kota di 26 provinsi se-Indonesia. Dengan rincian, peta yang berstatus Tercatat sebanyak 33 peta seluas total 1,3 juta hektare.
Yang Teregistrasi sebanyak 653 peta seluas 6,05 juta hektare. Terverifikasi 110 peta seluas 2,43 juta hektare dan 18 peta wilayah adat berstatus Tersertifikasi seluas 436.788 hektare. Berdasarkan produk hukum daerah. Wilayah adat yang sudah mendapat Penetapan Pengakuan melalui peraturan daerah atau surat keputusan (SK) kepala daerah berjumlah 65 wilayah di 18 kabupaten/kota di 13 provinsi dengan luas mencapai 1.397.017,04 hektare.
Wilayah adat yang sudah mendapat Pengaturan Pengakuan melalui perda/SK kepala daerah berjumlah 174 wilayah. Jumlah tersebut berada di 19 kabupaten/kota di 10 provinsi dengan luas 2.366.905,28 hektare. Sedangkan wilayah adat yang berstatus Belum Mendapat Pengakuan jumlahnya 575 wilayah. Wilayah adat yang belum diakui secara legal dari pemerintah itu berada di 77 kabupaten/kota di 21 provinsi. Luasnya kurang lebih sekitar 6.483.868,34 hektare.
Sumber data: BRWA Nasional
Masih berdasarkan data periode April 2019, potensi hutan adat di Indonesia cukup besar. Luasnya kurang lebih 7.595.403 hektare. Terbesar di Kalimantan seluas 3.780.795 hektare. Kemudian Papua 1.558.538 hektare, Sulawesi 1.078.562 hektare, Sumatera 931.137 hektare. Selanjutnya Maluku 118.034 hektare, Bali 110.184 hektare dan Jawa 18.153 hektare.
Kepala BRWA Nasional, Kasmita Widodo menyebut, pengakuan Wilayah Adat di Indonesia terbilang lambat. Terutama pengakuan masyarakat hukum adat (MHA) dan wilayah adat dari pemerintah daerah. Pengakuan dari pemerintah daerah dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-undang tersebut mengamanatkan pengakuan MHA dinyatakan dengan Peraturan Daerah (Perda).
“Pertama lambatnya pengakuan MHA dan wilayah adat oleh Pemda. Kedua KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sendiri lambat dalam melakukan proses verifikasi usulan Hutan Adat,” kata Kasmita Widodo, Senin (8/7/2019).
Kasmita Widodo mengatakan, lambatnya pengakuan terhadap MHA dan wilayah adat itu dapat dilihat dari perkembangan realisasi pengakuan dari pemerintah. Data periode April 2019 itu bila disandingkan dengan data periode Maret 2019, akan memperlihatkan perbandingan atau komparasi realisasi pengakuan MHA dan penetapan hutan adat yang sudah tercapai.
Potensi hutan adat yang tercatat pada periode Maret 2019, sebesar sekitar 7,60 juta hektare. 28.286,34 hektare atau 0,37 persen di antaranya sudah ditetapkan oleh KLHK. Data periode Maret 2019 juga menunjukkan, wilayah adat yang sudah mendapat Penetapan Pengakuan berupa perda/SK kepala daerah seluas 832.902,36 hektare. Sehingga terlihat bahwa dari Maret 2019 hingga April 2019, wilayah adat yang mendapat pengakuan dari pemerintah hanya bertambah luas sekitar 534.002,92 hektare saja.
Sementara untuk wilayah adat yang baru mendapat pengaturan pengakuan MHA melalui perda/SK kepala daerah pada Maret 2019, luasnya sekitar 2,08 juta hektare. Yang artinya dari Maret 2019 sampai April 2019, penambahannya hanya sebesar 286.905,34 hektare. Sedangkan untuk wilayah adat yang belum mendapat pengakuan melalui kebijakan daerah luasnya kurang lebih 4,68 juta hektare.
Sumber data: BRWA Nasional
Menurut Kasmita Widodo, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat pendaftaran Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan pengakuan wilayah adatnya. Salah satunya yakni mekanisme pencadangan hutan adat melalui penerbitan dan pembaruan Peta Wilayah Indikatif Hutan Adat. Seperti yang diluncurkan KLHK April lalu.
“Dilakukan oleh KLHK bersama Pokja (kelompok kerja) Percepatan Pengakuan Hutan Adat yang dibentuk oleh KLHK. BRWA dalam hal ini merupakan salah satu anggota Pokja Hutan Adat tersebut. Kemudian kantor Staf Presiden (KSP) juga perlu melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk percepatan pengakuan MHA dan Hutan Adat.”
Kasmita Widodo menambahkan, pengakuan terhadap Hutan Adat dari pemerintah diperkirakan akan mengalami perkembangan. Setidaknya peta indikatif hutan adat seluas kurang lebih 427 ribu hektare yang ada di Peta Indikatif kemungkinan besar dapat ditetapkan oleh KLHK.
“Kalau untuk pendaftaran wilayah adat, akhir tahun akan ada penambahan registrasi seluas sekitar 250 ribu hektare.”
Mengenai konflik dan permasalahan yang banyak terjadi, salah satunya seperti terjadinya tumpang tindih wilayah adat dengan konsesi perkebunan. Kasmita Widodo menilai, perlu adanya review atau evaluasi perizinan perkebunan yang diterbitkan pemerintah.
“Dan secara bersamaan ada proses menuju pengakuan wilayah adat atau hak ulayat. Lalu BPN mulai aktif melakukan proses registrasi tanah ulayat secara partisipatif. Sehingga masyarakat dan CSOs (Civil Society Organization) bisa terlibat melaporkan lokasi dan profil subjek hukumnya,” kata Kasimita Widodo.