Perketat Impor Sampah Plastik dan Kontaminannya

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Kamis, 29 Agustus 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengapresiasi tindakan cepat Bea Cukai dalam mengirim kembali lebih dari 350 kontainer sampah impor yang mengandung bahan pencemar, termasuk B3 (bahan berbahaya beracun) ke negara asal.

“Demi keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, menjadi penting bagi Presiden untuk memberi dukungan atas kinerja tersebut dalam bentuk penghentian total pengiriman sampah ke Indonesia, hingga Indonesia memiliki kapasitas dan mekanisme yang bisa diandalkan untuk mencegah masuknya kontaminan berbahaya ke dalam negeri,” ujar Nur Hidayati, Eksekutif Nasional Walhi dalam siaran resminya, Senin, 27 Agustus 2019.

Tahun 2017-2018 impor sampah plastik oleh perusahaan-perusahaan pendaur ulang plastik dan kertas Indonesia meningkat drastis, lebih dari 150% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Malaysia, Filipina, Cambodia, sudah mengembalikan lebih dari 80 kontainer sampah plastik campuran terutama dari Amerika Serikat, yang masuk ke negara mereka.

Indonesia harus serius menghentikan impor sampah plastik dan kertas terkontaminasi plastik dan segera mengkaji ulang kebijakan impor sampah plastik. Para aktivis lingkungan merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk mengikuti langkah Cina dalam menetapkan kontaminan dalam sampah impor sebesar 0.5% selama 2 tahun.

Penumpukan sampah/FotoBaliFokus

Awal tahun ini Indonesia sudah mengembalikan lebih dari 50 kontainer sampah plastik yang diimpor oleh beberapa pabrik plastik dan pabrik kertas di Batam, Banten, Karawang, Tangerang dan Surabaya. Pengamatan aktivis lingkungan enam bulan terakhir menunjukkan peningkatan pencemaran udara dari pembakaran sampah plastik dan meningkatnya keluhan serta konflik di masyarakat akibat pencemaran sampah plastik impor yang tidak diinginkan pabrik. Dengan dorongan laporan dari masyarakat sipil dan warga di sekitar lokasi penimbunan sampah impor, gelombang re-ekspor lebih dari 350 kontainer sampah plastik impor bulan ini menegaskan keseriusan Indonesia di mata dunia.

Indonesia menghasilkan timbunan sampah plastik sekitar 9,5 juta ton per tahun. Impor sampah plastik tahun 2018 menunjukkan volume dagang sekitar 320,000 ton dengan nilai sekitar USD 90 juta. Namun demikian, pengamatan para aktivis lingkungan di lapangan menunjukkan bahwa sekitar 20-40% dari sampah yang diimpor ini tidak dikelola sebagaimana mestinya dan dibuang ke lingkungan.

“Sampah plastik impor yang tidak dapat didaur ulang lagi sebagian besar dibakar dan menyebarkan asap racun serta meninggalkan abu dengan kandungan dioxin tinggi yang masuk ke dalam rantai makanan dan paru-paru warga, terutama anak-anak,” kata Yuyun Ismawati, dari Nexus3/BaliFokus

“Beberapa bahan aditif yang digunakan dalam semua jenis plastik dikenali sebagai bahan kimia yang karsinogenik dan dilarang di negara-negara maju. Mendaur ulang plastik yang mengandung B3 menjadi produk lain berarti mendaurulang racun. Plastik impor seharusnya masuk ke dalam daftar LarTas (Larangan Terbatas) agar Indonesia dapat mengontrol impor limbah non-B3 lebih ketat.”

“Perusahaan kertas yang kami pantau hampir semuanya menyalahgunakan izin impor, karena mengimpor sampah kertas terkontaminasi plastik dan memperjualbelikannya kepada masyarakat, bahkan membuangnya di sempadan sungai dan lahan bekas tambang Galian C,” kata Prigi Arisandi dari Ecoton.

“Sampah skrap plastik bernilai rendah umumnya dibakar dan limbah proses daur ulang dibuang ke lingkungan tanpa pengolahan limbah. Limbah cair dari 12 industri kertas Jawa Timur pengimpor sampah kertas melepaskan limbah mikroplastik ke Kali Brantas.

Akibatnya sumber air baku PDAM dan 80% sampel ikan Kali Brantas mengandung mikroplastik di dalam lambungnya. Pembakaran sampah plastik impor untuk bahan bakar pabrik tahu atau untuk menangani tumpukan sampah melepas gas beracun dioksin dan furan, menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat khususnya anak-anak, dengan risiko penyakit pernafasan, keguguran, penurunan kecerdasan, hingga kanker,” kata Prigi.

“Arah reformasi kebijakan impor sampah/limbah harus diarahkan pada penghentian impor sampah/limbah. Langkah awalnya adalah menghilangkan hambatan penegakan hukum dari segi definisi sampah dan limbah. Kejelasan definisi tersebut menjadi awal yang diperlukan untuk pencegahan terjadinya impor limbah atau sampah,” ujar Fajri Fadhilah dari ICEL.

“Selanjutnya, Presiden harus memastikan keselarasan aturan pengendalian impor sampah/limbah di antara
berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Selain itu, pemberian sanksi terhadap pelanggaran
impor sampah/limbah harus dilakukan secara terbuka kepada publik.”

Di beberapa daerah ditemukan para pengusaha asal Cina menjadi investor atau bermitra dengan orang lokal mendirikan usaha-usaha daur-ulang plastik skala rumah tangga yang perizinannya diragukan. Pemerintah daerah harus memantau dan mengevaluasi keberadaan industri daur ulang plastik skala rumah tangga di wilayahnya.

Di berbagai tempat di Jabodetabek dan Jawa Timur, para aktivis AZWI juga menemukan lahan-lahan tercemar sisa-sisa plastik berbagai berukuran baik yang dibakar maupun tidak, mencemari tanah, lahan pertanian, dan badan air. Pembersihan racun dari pencemaran plastik tidak mudah, tidak murah dan butuh keseriusan pemerintah.

Plastik mikro dan serat plastik juga banyak ditemukan dalam ikan di Indonesia, dalam air minum kemasan, dalam garam bahkan dalam tinja manusia. Kewajiban negara adalah menjamin hak warga untuk hidup di lingkungan yang bersih dan sehat.

Ini rekomendasi koalisi untuk Pemerintah Republik Indonesia:
1. Meninjau kembali kebijakan dan regulasi mengenai importasi sampah dan reja, khususnya plastik dan kertas, untuk membatasi kontaminan atau cemaran pada sampah dan skrap plastik/kertas yang diimpor sebesar 0,5%;

2. Membatasi jenis plastik tertentu saja yang boleh diimpor dan hanya dalam bentuk pellet, atau hanya membutuhkan perlakuan/pengolahan minimal dan atau siap digunakan untuk produksi, dan secara bertahap menghentikan semua impor sampah plastik;

3. Melarang Produsen importir untuk memindah-tangankan atau memperjualbelikan sampah yang diimpor kepada siapapun;

4. Produsen importir harus bertanggung jawab membersihkan pencemaran plastik yang diakibatkan oleh pindah-tangan, diperjualbelikan dan yang ‘disumbangkan’ kepada pihak lain dan masyarakat, termasuk memeriksa kadar dioksin dan furan di udara, tanah dan air, serta membersihkan lahan dari abu pembakaran sampah plastik dan mengelolanya sesuai peraturan pengelolaan limbah B3;

5. Meninjau kembali izin perusahaan-perusahaan impor plastik dan reja kertas, apakah sesuai perizinan yang diberikan dan praktek mereka tidak mencemari lingkungan;

6. Menetapkan batasan, pada akhir tahun 2020 sebagai batas terakhir impor sampah plastik kotor ke Indonesia, mengikuti kesepakatan amandemen Basel COP-14 pada awal Mei 2019 yang lalu;

7. Membatasi volume impor reja hanya sebesar maksimal 50% dari kapasitas pabrik yang terpasang/tersedia saat ini;

8. Impor sampah non-B3 harus masuk dalam daftar Larangan Terbatas (LarTas) dan
dikeluarkan dari Jalur Hijau Bea Cukai;

9. Melarang penggunaan bahan-bahan B3 sebagai bahan aditif dalam produksi plastik dan daur ulang plastik;

10.Informasi tentang sumber timbulan sampah, potensi sampah yang bisa didaur ulang harus dibuat secara terintegrasi agar dapat memenuhi kebutuhan industri dari dalam negeri, dan membuka akses informasi publik terkait data kuota impor, perusahaan importir dan realisasi jumlah impor sampah plastik dan kertas

11. Kuota impor sampah plastik harus dibatasi, produksi dan konsumsi kemasan plastik dalam negeri juga harus dikurangi secara drastis;

12.Extended Producers Responsibility (EPR) harus dilaksanakan dan dipantau;

13.Untuk mengurangi risiko manipulasi pelaporan, perusahaan surveyor yang memverifikasi impor dan ekspor sampah B3 dan non-B3 harus ditambah dan tidak dimonopoli oleh PT Surveyor Indonesia dan Sucofindo;

14.Melarang tegas pembakaran sampah plastik dan menghindari teknologi insinerasi sampah plastik untuk mencegah dan mengurangi pencemaran dioxins yang sekarang sudah ditemukan dalam telur ayam dan tanah di lokasi pembuangan; dan

15.Masyarakat yang terdampak harus mendapat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan cuma-cuma dari perusahaan pencemar dan pengimpor sampah.