Klarifikasi BMKG Soal Asap Karhutla ke Malaysia

Penulis : Redaksi Betahita

Karhutla

Rabu, 11 September 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyanggah adanya asap lintas batas dari Indonesia ke Malaysia akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada periode 5-7 September 2019.

Menurut Kepala BMKG Profesor Dwikorita Karnawati, asap karhutla yang menyelimuti Serawak, Malaysia pada periode waktu tersebut, disebabkan oleh hotspot lokal, dan bukan berasal dari Pulau Sumatera maupun Kalimantan.

“Kejadian asap yang terjadi minggu lalu atau baru-baru ini di Semenanjung Malaysia, data satelit menunjukkan tidak terjadi. Itu disebabkan oleh local hotspot. Bukan transboundary haze,” kata Dwikorita dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa, 10 September 2019.

Baca Juga: KLHK Tetapkan Tiga Perusahaan Sawit Tersangka Pembakaran Hutan

Warga menggunakan masker untuk melindungi diri dari asap kebakaran hutan dan lahan di Desa Sontang, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, 2015. Foto: Greenpeace

Sebelumnya Pemerintah Malaysia menuding asap karhutla dari Indonesia sebagai dalang di balik buruknya kualitas udara di Serawak. Malaysia menyatakan hendak mengirim nota diplomatik yang meminta Indonesia agar segera menangani karhutla.

Dikutip dari Channel News Asia, Deputi Menteri Energi, Sains, Teknologi, Lingkungan, dan Perubahan Iklim Isnaraissah Munirah Majilis pada Jumat, 6 September 2019, mengatakan citra satelit sehari sebelumnya menunjukkan bahwa total 1.393 hotspot di Indonesia–306 di Sumatera dan 1.087 di Kalimantan, jauh lebih banyak dibandingkan dengan 17 hotspot di Malaysia.

“Asap lintas batas adalah penyebab utama dari kabut asap di negeri ini,” kata Majilis.

Dwikorita mengatakan, pada periode tersebut, berdasarkan hasil analisis satelit Himawari-8 dan Sentinel menggunakan Geohotspot dalam rentang waktu 4-9 September, tidak terdeteksi titik api yang besar seperti diklaim Malaysia.

Pada tanggal 5 September, misalnya, hotspot di Riau bersih. “Data pengamatan cuaca BMKG, terjadi hujan,” kata Dwikorita.

“Selain itu hasil overlay data dengan satelit Sentinel juga menunjukkan bahwa ada angin yang dominan bergerak dari tenggara ke arah barat laut. Artinya, asap tidak menyeberang ke Semenanjung Malaysia karena terhalang angin kencang ini,” katanya.

Lebih lanjut Dwikorita menerangkan pada tanggal 6 September, satelit Himawari-8 mendeteksi hotspot di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi. Di saat yang bersamaan, terdeteksi juga komposisi hotspot yang rapat di Semenanjung Malaysia. Sementara itu, Pekanbaru dinilai bersih.

Kemudian pada 8 september, titik panas terlihat semakin merah dan rapat di Semenanjung Malaysia dengan durasi waktu deteksi cukup lama, yakni 142 kali. Kondisi yang sama terjadi di Pulau Borneo, baik di Kalimantan Barat maupun Serawak (Malaysia). “Namun lagi-lagi angin mengontrol sehingga asap tidak menyeberang (ke Semenanjung Malaysia),” kata Dwikorita.

Dwikorita menambahkan bahwa pada tanggal 5 September jam 15.00 dan 16.00, terdeteksi asap di Kalimantan Barat dan Malaysia akibat adanya hotspot di kedua wilayah tersebut. Namun bukan berarti yang di Serawak itu kiriman dari Kalimantan Barat, karena di Serawak juga banyak hotspot, kata Dwikorita.

“Data terakhir juga menunjukkan ada akumulasi karbon monoksida yang tinggi di Laut Cina Selatan. Itu cukup luas. Pertanyaannya, karbon monoksida ini dari mana? Dari analisis citra satelit serta arah angin, terlihat bahwa kandungan karbon monoksida itu asalnya sebagian dari Serawak dan sebagian dari Kalimantan Barat,” katanya.

BMKG juga mendeteksi jumlah hotspot di Serawak dan Semenanjung Malaysia per 6 September mencapai 1.038 hotspot, dan kemudian meningkat menjadi 1423 hotspot pada 7 September. Sementara itu di Sumatera, pada 6 September ada 869 hotspot dan 544 hotspot pada 7 September.

“Tapi bagaimana pun Indonesia selalu berupaya mencegah itu terjadi. Dan kami juga mengapresiasi Malaysia yang sudah mengadakan hujan buatan” kata Dwikorita.

Baca Juga: Luas Karhutla Teranyar Juli 2019, Meningkat Dua Kali Lipat dari 2017

Asap lintas batas kerap menjadi masalah antara Pemerintah Indonesia dengan negara tetangga, terutama Malaysia dan Singapura. Pada bencana karhutla 2015, total hutan dan lahan gambut terbakar seluas 2.61 juta hektare di Sumatera dan Kalimantan dan menyebabkan kabut asap di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar turut menegaskan karhutla di Indonesia tidak selalu menyebabkan kabut asap di negara tetangga.

“Kondisi gambar hotspot hari ini sudah kira-kira sepertiga dari kondisi hotspot pada tanggal 4 dan 5 September. Telah dipastikan bahwa hingga saat ini (status diunggah 7 September 2019) tidak ada asap lintas batas(transboundary haze) dari Indonesia ke negeri tetangga,” kata Siti melalui unggahan di akun pribadi Facebook.