Greenpeace: Atasi Karhutla, Presiden Jokowi Harus Mulai dari Putusan MA

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Senin, 23 September 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Ketua Tim Kampanye Hutan  Greenpeace Indonesia, Arie Rompas mengatakan jika pemerintah serius ingin menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla), harus memulai dengan taat hukum mematuhi putusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus gugatan masyarakat atas kebakaran hutan di Kalimantan.

Putusan MA pada 16 Juli 2019 menyatakan Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan sejumlah menteri bersalah dalam kasus karhutla di Kalimantan. Alih-alih menjalankan putusan, tiga hari setelah sidang MA itu, Menteri LHK Siti Nurbaya malah menyatakan pemerintah akan mengajukan peninjauan kembali (PK).

“Sikap pemerintah ini menjadi preseden buruk. Jika pemerintah saja tidak taat hukum, bagaimana dengan pelaku pembakar hutan?,” ujar Arie dalam sebuah acara diskusi di bilangan Cikini, Jakarta pada Sabtu, 21 September 2019.

Arie adalah inisiator gugatan warga (citizen lawsuit) yang pada 2015, bersama enam perwakilan warga Palangka Raya menggugat Presiden RI dan sejumlah menteri serta pemerintah daerah karena kebakaran hebat terjadi di Kalimantan pada 2015.

Ibu Fire Ratna tries frantically to douse the fire burning her land with a bucket of water, inside the palm oil concession owned by PT Surya Dumai Agrindo, a subsidiary of Surya Dumai Group, a palm oil supplier of Wilmar International. No one from the fire department showed up to help to extinguish the fire. Fire burns over 30 hectares of Land at Selinsing Village, Dumai regency, Riau. The fire is suspected to have started from a "slash and burn" land clearing method.

Beberapa tuntutan yang dikabulkan oleh hakim. PN Palangkaraya menyatakan presiden harus menerbitkan peraturan pelaksana dari Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Pemerintah harus pula menerbitkan peraturan pemerintah dan peraturan presiden yang menjadi dasar hukum terbentuknya tim gabungan lintas sektor untuk mencegah dan menangani masalah kebakaran hutan.

Arie yang baru saja kembali dari Palangka Raya mengatakan kondisi kabut asap semakin parah, kualitas udara terus memburuk, kabut asap semakin tebal, dan penerbangan dibatalkan. “Saya pulang ke Palangka Raya untuk mengevakuasi keluarga saya yang selama ini tinggal di sana,” ujar dia.

Jika dibandingkan dengan kebakaran hutan dan lahan besar pada 2015, kata dia, kondisi asap saat ini hampir sama. Namun, ujar Arie, pemerintah pusat dan daerah tidak memberi perhatian kepada warga.

Empat tahun berlalu, kebakaran hutan dan lahan terjadi lagi. Tidak ada pembenahan berarti yang dilakukan di Kalimantan Tengah. Pemerintah, diakuinya telah membentuk Badan Restorasi Gambut yang bertugas memastikan lahan gambut tidak boleh kering agar tak mudah terbakar. Tapi Greenpeace melihat kerja badan ini tidak optimal. Upaya menjaga lahan gambut agar tidak kering tidak dilakukan.

Greenpeace akan mensomasi pemerintah untuk mengingatkan agar presiden dan jajarannya mematuhi dan menjalankan putusan MA pada 16 Juli lalu. Ari cs. juga tidak akan berhenti memberi tahu publik dan mengajak warga tentang persoalan ini. “Masalah ini harus menjadi perhatian banyak orang karena ini masalah penting,” ujar Arie.

TEMPO.CO | TERAS.ID