Era Kedua Jokowi : Ini yang Melemahkan Perlindungan Lingkungan Hidup

Penulis : Redaksi Betahita

Lingkungan

Jumat, 18 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Setidaknya ada 5 Rancangan Undang-undang dan peraturan pemerintah yang dinilai melemahkan perlindungan linkungan hidup.  Hal ini lah yang membayangi periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) menyebutkan sejumlah catatannya, yang pertama adalah soal  RUU Perkelapasawitan. Menurutnya RUU ini akan meningkatkan ekstensifikasi perkebunan yang berpotensi meningkatkan konflik tenurial dan lingkungan.

Kedua, menurutnya dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), memuat ketentuan yang menjerat aktivis HAM dan Lingkungan Hidup, “RUU ini melemahkan pidana yang menjerat korporasi,” katanya dalam diskusi di Jakarta, Rabu 16 Oktober 2019.

Henri menerangkan seharusnya pidana bagi korporasi diperkuat, sehingga yang dijerat bukan saja struktur pengurus, tapi juga badan hukumnya serta pengendali korporasi yang berada di luar struktur korporasi. Selain itu, korporasi induk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan anak perusahaannya. “Misalnya jika lahan konsesi anak perusahaan terbakar, maka harus dikejar pidananya sampai ke tingkat induk perusahaan,” katanya.

Setneg Rilis Foto Resmi Jokowi dan Ma'ruf Amin Foto resmi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (Foto: Dok. Setneg.go.id)

Ketiga, RUU Pertanahan. Henri menilai RUU Pertanahan ini meningkatkan penguasaan tanah secara berlebihan dan kurang mempertimbangkan fungsi lingkungan dalam tata kelola pertanahan.

Keempat, Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). PP OSS tidak memposisikan analisis dampak lingkungan (amdal) sebagai pertimbangan dalam menerbitkan izin lingkungan.

Mekanisme OSS mengutamakan izin berbasis komitmen ketimbang syarat amdal. Mekanisme OSS menempatkan investasi dalam ketidakpastian hukum lingkungan dan sosial. Padahal, amdal penting karena membuka ruang untuk partisipasi masyarakat. Sekedar informasi belum lama ini ICEl dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah mengajukan uji materi PP OSS ke Mahkamah Agung (MA). Kini, tinggal menunggu putusan Majelis MA.

Kelima, Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Henri menilai beleid ini memberi keistimewaan untuk pembangunan yang masuk kategori proyek strategis nasional. Pasal 114A PP No.13 Tahun 2017 memberi ruang bagi pembangunan proyek strategis untuk menyimpangi RTRW daerah atau Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) atas dasar rekomendasi menteri tanpa parameter yang jelas.

Dia menyayangkan revisi UU KPK yang substansinya melemahkan KPK secara kelembagaan. Padahal, pelemahan KPK akan mengancam semua sektor termasuk tata kelola lingkungan hidup dan SDA. Menurut Henri, banyak persoalan korupsi yang terjadi di sektor lingkungan hidup dan SDA yang dampaknya sudah pasti akan merugikan masyarakat.

“Berbagai legislasi dan regulasi yang bermunculan sampai akhir masa jabatan pemerintahan Jokowi-JK harus dievaluasi kembali, terutama yang kontra produktif terhadap perlindungan lingkungan hidup dan SDA,” kata Henri.

Komitmen pemerintah untuk menjalankan putusan pengadilan dan mendorong dilaksanakannya eksekusi putusan pengadilan menurut Henri juga lemah. Misalnya, putusan pengadilan dalam kasus “Kendeng” di Jawa Tengah; putusan uji materi Perpres No.18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah; gugatan warga Palangkaraya terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2015.

Berikutnya, izin lingkungan PLTUB Cirebon II; izin pembuangan limbah cair PT Kahatex di Sungai Cikijing. Pemerintah cenderung tidak patuh atau berpura-pura patuh dengan cara “mengakali” ketimbang melakukan evaluasi menyeluruh. Bahkan, dalam kasus PLTU Cirebon, pemerintah menerbitkan PP No.13 Tahun 2017 untuk menyimpangi RTRW daerah atau RTDR melalui rekomendasi menteri.

Henri melihat pemerintah mengklaim telah melakukan penegakan hukum lingkungan hidup dalam kasus karhutla. Tak sedikit putusan pengadilan yang dimenangkan pemerintah, tapi kemenangan itu hanya di atas kertas karena eksekusi putusan tersebut belum dijalankan secara optimal.

Menurut Henri, penegakan hukum, termasuk eksekusinya merupakan salah satu cara untuk memberi efek jera terhadap pihak yang melanggar aturan lingkungan hidup. Padahal, pemerintah bisa melakukan banyak cara untuk mengeksekusi putusan itu, misalnya mengejar atau membekukan aset perusahaan. Seluruh lembaga pemerintahan seperti kepolisian, kejaksaan, OJK, Kementerian Hukum dan HAM, BKPM, dan lainnya bisa memberi dukungan agar eksekusi itu bisa terlaksana.