Menanti Pembuktian Politik Apakah Jokowi Berpihak pada Rakyat atau Oligarki Politik?

Penulis : Redaksi Betahita

Lingkungan

Kamis, 17 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo – Ma’ruf Amin akan dilantik pada 20 Oktober 2019. Sejumlah terobosan Jokowi untuk serius membenahi tata kelola sektor sumber daya alam (SDA) dan keselamatan lingkungan dinanti publik dalam periode ke-2 masa jabatannya.

Henri Subagiyo, Juru Bicara Bersihkan Indonesia, yang juga  Direktur Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan, pemerintahan Joko Widodo terlihat sangat ambisius untuk menggenjot tiga hal saat ini, yaitu investasi, infrastruktur dan proyek strategis nasional. Sejalan dengan rencana itu, Jokowi melakukan sejumlah deregulasi untuk mempermudah izin.

Menurut Henri, agar investasi bisa memberikan hasil yang positif bagi ekonomi seharusnya visi pengembangan investasi perlu ditempatkan pada kerangka yang sangat hati-hati. Investasi seharusnya tidak mengorbankan standar lingkungan, sosial dan perlindungan masyarakat.

Henri juga menyoroti sejumlah Rencana Undang-Undang (RUU) yang justru kontraproduktif terhadap perlindungan lingkungan hidup, seperti RUU Perkelapasawitan, RUU Pertahanan, RUU KUHP. Tahun lalu, lanjut Henri, Presiden telah menandatangani PP No 24/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau dikenal sebagai online single submission (OSS) yang menisbikan peran penilaian Amdal sebagai salah satu pertimbangan pemberian izin.

Tampak areal lahan yang tengah terbakar di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Oktober 2015 lalu,/Foto: Raden Ariyo Wicaksono Betahita.id

“Percuma investasi namun tidak memperhatikan aspek sosial lingkungan yang pasti akan mengakibatkan krisis ekologis dan memicu bencana alam,” kata Henri dalam siaran persnya Rabu, 16 Oktober 2019 di Jakarta..

#BersihkanIndonesia juga memandang sumber daya alam, khususnya sektor batu bara sangat erat kaitannya dengan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Sektor SDA, khususnya batu bara di hulu maupun di hilir (pembangkit listrik) sangat rentan terhadap praktik korupsi dan telah dibuktikan dengan terungkapnya sejumlah kasus di sektor ini.

Untuk itu, #BersihkanIndonesia menuntut Presiden Jokowi tidak boleh lemah dan terpengaruh oleh kelompok kepentingan elit tertentu yang memang ingin melemahkan upaya perbaikan tata kelola sektor SDA dan pemberantasan korupsi.

Juru Bicara Bersihkan Indonesia, Merah Johansyah, yang merupakan Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menyatakan, dalam lima tahun ke depan, korupsi pertambangan akan semakin subur dengan menemukan momentum matinya KPK akibat revisi undang-undang KPK.

JATAM, lanjut Merah, mencatat dalam kurun waktu 2014 hingga 2018, terdapat 23 kasus dugaan korupsi di sektor pertambangan yang estimasi nilai kerugian negara mencapai Rp 210 triliun. Empat kasus utama yakni korupsi di kawasan konservasi Tahura Bukit Soeharto Kalimantan Timur, konservasi Tahura Poboya Sulawesi Tengah, divestasi saham newmont di Nusa Tenggara Barat, dan penyalahgunaan kawasan hutan oleh operasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua.

“Fondasi pemberantasan korupsi sudah diberikan oleh KPK lewat perbaikan tata kelola sumber daya alam dan pertambangan. Misalnya terlihat dari peningkatan PNBP mineral batu bara karena tingkat kepatuhan yang meningkat dari kerja Korsup Minerba KPK,” ujar Merah.

Merah menambahkan, kondisi saat ini sudah mendesak untuk Presiden menerbitkan Perpu KPK. Mengingat, lanjut dia, protes dari publik dan mahasiswa serta pelajar telah terjadi dalam skala yang masif bahkan menelan korban jiwa sebanyak lima orang.

“Langkah Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perpu masih dinanti rakyat Indonesia. Perpu merupakan pembuktian politik apakah Jokowi berpihak kepada rakyat atau oligarki politik?” tegas Merah.