RUU Pertanahan Dinilai Tak Punya Solusi
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Selasa, 05 November 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang ditunda pengesahannya beberapa waktu lalu, dianggap masih menyisakan celah potensi terjadinya konflik agraria dan dinilai tidak akan memberi jawaban terhadap konflik agraria struktural. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, terdapat 410 kejadian konflik di seluruh Indonesia sepanjang 2018 lalu.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika mengatakan, 410 kejadian konflik agraria ini terjadi di berbagai sektor. Baik di sektor perkebunan, pertanian, pertambangan, kehutanan, infrastruktur dan kelautan termasuk wilayah pesisir.
Baca juga: KPA: Bab HGU RUU Pertanahan Memperkuat Korporasi
"Luas konflik agraria sepanjang 2018, sebesar 807.177,613 hektare. Sedangkan korban yang terdampak dari ratusan kejadian konflik agraria itu, jumlahnya mencapai 87.568 keluarga," kata Dewi Kartika, Rabu (30/10/2019).
Dari 410 kejadian konflik itu, konflik yang diakibatkan karena pembangunan sektor perkebunan tertinggi. Yakni sebanyak 144 konflik atau 35 persen dari total jumlah kejadian.
“Dari 144 kejadian konflik agraria di sektor perkebunan itu, 60 persen di antaranya terjadi di sektor komoditas kepala sawit. Secara akumulatif sepanjang 4 tahun (2015-2018) terjadi kurang lebih 1.769 letusan konflik agraria. RUU Pertanahan ini tidak memberikan jawaban terhadap konflik agraria struktural.”
Menurut Dewi Kartika, konflik agraria juga telah mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap warga. Sepanjang 2018 lalu, tercatat terdapat 364 kasus kekerasan terhadap masyarakat yang terjadi. Bentuk kekerasan yang terjadi pun beragam. Ada yang ditahan, dianiaya, tertembak dan hingga menimbulkan korban tewas.
Berdasarkan data yang dihimpun KPA. Pada 2018 terdapat 444 desa dan 200 kota/kabupaten yang terdampak konflik agraria. Terdapat 10 besar provinsi dengan konflik terbanyak sepanjang 2018. Peringkat pertama diduduki provinsi Riau, diikuti Jawa Timur, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, Banten, Aceh, Kalimantan Tengah dan kesepuluh DKI Jakarta.
Dewi Kartika menjelaskan, luas tanah pertanian dan jumlah rumah tangga petani (RTP) telah mengalami penyusutan drastis. Hal itu terjadi akibat alih fungsi tanah pertanian ke non-pertanian. Tanah pertanian yang dikuasai petani menyusut dari 10,5 persen menjadi 4,9 persen.
"Sekitar 5,1 juta RTP terpaksa berpindah mata pencaharian. Kemudian 59 persen petani di Indonesia saat ini adalah petani gurem dengan luas lahan kurang dari 0,5 hektare dan petani tuna tanah (landless)."
Berdasarkan sensus pertanian 2003-2013, per menitnya terdapat 1 RTP dan 0,25 hektare tanah pertanian hilang, beralih fungsi ke sektor lain. Sehingga bila dihitung, per harinya terdapat sekitar 353 hektare tanah pertanian yang beralih fungsi menjadi non-pertanian dan 1.408 rumah tangga petani yang beralih profesi.
Pembiaran Konflik Agraria
KPA menganggap RUU Pertanahan tidak mengusung niat untuk menyelesaikan konflik agraria struktural di semua sektor. Termasuk konflik di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan sejumlah sektor lainnya.
“Terdapat beberapa pasal dalam RUU Pertanahan yang dapat memperbesar potensi terjadinya konflik.”
Dewi Kartika menuturkan, RUU Pertanahan mengabaikan konflik agraria struktural dan menyederhanakannya menjadi sengketa pertanahan atau sengketa perdata biasa. Menawarkan penyelesaian musyawarah untuk mufakat melalui mekanisme mediasi.
“Ini cara-cara lama, kasuistik dan sektoral dan tak ada terobosan hukum. Sebagai alternatif RUUP akan membentuk pengadilan pertanahan. Pasal 82 sampai dengan 84 dan bab-bab lain yang memperbesar potensi terjadinya konflik,”
Sistem pengadilan pertanahan, lanjut Dewi, hanya akan mengukuhkan hak hak konsesi dan izin korporasi maupun negara, dan diskriminatif terhadap kelompok-kelompok rentan atau masyarakat kecil yang selama ini tidak dilindungi wilayah dan pemilikan tanahnya.
Menurut Dewi, penyelesaian puluhan ribu konflik agraria struktural memerlukan terobosan politik dan hukum dalam kerangka reforma agraria. Sehingga konflik agraria dapat dituntaskan secara utuh dan pemulihan hak hak korban dapat dilakukan.
“Urgensi pembentukan lembaga adhoc untuk penyelesaian konflik agraria dalam kerangka reforma agraria, yang bersifat lintas sektor dan otoritatif, yang langsung dipimpin oleh presiden.”