Konflik Lahan Desa Sobo, Trenggalek: Warga Vs Perhutani
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Jumat, 29 November 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Konflik agraria masih banyak bermunculan. Bahkan konflik-konflik itu sebagian besar tak terselesaikan dan berkepanjangan. Salah satunya konflik lahan antara warga dan PT Perhutani di Desa Sobo, Kecamatan Munjungan, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur.
Konflik lahan di Desa Sobo tersebut diharapkan segera ada kejelasan. Warga yang terlibat konflik berharap penyelesaian konflik lahan tidak menghapus akses warga untuk dapat terus menggarap lahan.
Baca Juga: 410 Konflik Agraria Terjadi 2018, RUU Pertanahan Dinilai Tak Punya Solusi
Saat ditemui, Kepala Desa Sobo, Sumardi mengatakan, konflik lahan di desanya ini dilatarbelakangi oleh adanya sertifikasi tanah di atas lahan yang diduga merupakan wilayah kelola PT Perhutani. Sengketa lahan ini sudah berlangsung lama dan belum ada tanda-tanda akan terselesaikan.
“Masalah ini sudah lama. Tapi sampai sekarang belum juga selesai. Kita dari pemerintah desa berharap segera ada kejelasan. Yang penting warga desa tetap bisa menggarap lahan saja,” kata Sumardi, Sabtu (23/11/2019).
Sumardi menjelaskan, terdapat 124 persil lahan garapan warga yang sudah disertifikasikan pada 1999, melalui Prona oleh BPN. Akan tetapi sertifikat hak milik (SHM) tersebut baru diserahkan pada 2001. Menurut Sumardi, lahan yang disertifikasikan luasannya beragam.
“Sertifikatnya itu mulai 1999. Itu dulu dari BPN. Kerjasama dengan pihak Desa. Luasannya nggak sama. Paling kecil luasnya sekitar 1/8 hektare.”
Kala itu, kata Sumardi, tidak semua lahan garapan warga dapat disertifikasikan karena ada pungutan biaya yang harus dibayarkan dalam pembuatan sertifikat. Sehingga lahan yang disertifikasikan disesuaikan dengan kemampuan tiap warga dalam memenuhi biaya pembuatan sertifikat.
“Dulu dipungut biaya. Paling sedikit sekitar Rp800 ribu per persil. Jadi, bagi yang punya duit ya bisa bikin sertifikat. Yang tidak punya ya tidak buat sertifikat. Kadang ada yang hanya sebagian tanahnya yang disertifikatkan, yang lainnya tidak. Ya tergantung besarnya duit yang dipunya.”
Kades mengakui, saat proses sertifikasi ada beberapa masalah yang muncul. Salah satunya yakni, ada banyak warga yang sebelumnya punya lahan garapan, malah menjadi tidak punya lahan.
“Ada yang karena enggak punya biaya dan enggak bisa bikin seritikat, tanahnya malah diambil orang lain yang punya duit.”
Tak hanya itu, terdapat beberapa SHM yang diterbitkan dengan atas nama saja atau nominee. Sumardi menjelaskan, ada nama beberapa warga Desa Sobo yang digunakan sebagai nama pemilik tanah.
“Ada beberapa warga yang namanya dipakai untuk penerbitan SHM. Bahkan warga-warga yang namanya dipakai itu mengaku tidak tahu wujud SHM-nya dan enggak tahu luas bahkan lokasi lahannya.”
Namun, sertifikasi tanah warga tersebut menimbulkan konflik. Pada 2008, Perhutani menggugat sertifikasi tanah warga tersebut, karena tanah yang disertifikasikan itu dianggap kawasan hutan bagian dari wilayah kelola Perhutani. Menurut Kades, bila dilihat dari riwayatnya tanah dimaksud memang lahan kelola Perhutani.
“Dulu sudah pernah adu peta dan itu (lahan) memang milik Perhutani. Tapi memang dari dulu Perhutani mempersilakan warga untuk memanfaatkannya. Baru bermasalah ketika ada sertifikat.”
77 SHM Diserahkan Kepada Perhutani
Lebih lanjut Kades menguraikan, gugatan dari Perhutani tersebut dibarengi dengan adanya penarikan SHM yang dipegang warga oleh Perhutani. Hal ini menimbulkan reaksi beragam dari warga pemilik SHM. Sebagian warga bersedia menyerahkan SMH yang dipegangnya, sebagian lain enggan dan mempertahankan SHM.
“Ada yang langsung diserahkan kepada Perhutani. Jumlahnya 11. Kemudian, karena takut bermasalah, ada 66 warga yang juga menyerahkan SHM. Tapi diserahkan kepada Kades yang menjabat saat itu. Kemudian diketahui 66 SHM itu ternyata juga diserahkan Kades kepada Perhutani. Alasannya takut dipenjara.”
Sehingga bila ditotal, kata Sumardi, terdapat 77 SHM yang telah diserahkan kepada pihak Perhutani. Sedangkan 47 SHM lainnya, masih dipegang oleh warga.
Persoalan mengenai SHM yang terbit di atas lahan Perhutani ini tidak sampai di situ saja. Belakangan juga diketahui, telah terjadi jual beli atau perpindahan tangan SHM. Baik antarwarga Desa Sobo, maupun dengan warga desa lain.
“Ada 1 warga yang pegang beberapa SHM. Ada juga yang dijual kepada warga desa lain. Dan hal ini tidak semuanya terdata atau terlaporkan kepada pihak Desa. Jadi kalau sekarang, agak sulit mengetahui siapa saja pemegang SHM terakhir sebelum diserahkan kepada Perhutani itu.”
Salah seorang warga Desa Sobo, Tamin mengaku, sebelum SHM diserahkan kepada Perhutani, dirinya memiliki 6 SHM. Satu atas nama dirinya, 5 lainnya didapat dari jual beli dengan warga Sobo lainnya.
Warga Desa Sobo lainnya, Somo Kadiran, juga mengaku memiliki 3 SHM. Sama halnya dengan Tamin, SHM yang didapatnya itu juga berasal dari jual beli antarwarga. Namun satu di antaranya tidak diserahkan kepada Perhutani.
“Ya kita beli dari warga lain. Bisa dibilang mereka masih kerabat sih. Tapi ada satu SHM yang tidak diserahkan ke Perhutani. Dan masih ada di rumah. Karena saat penarikan SHM dulu itu, si pemilik sebelumnya enggak mau menyerahkan,” kata Somo kadiran, Sabtu (23/11/2019).
Sekretaris Desa Sobo, Mukiyat yang juga menjadi salah satu warga pemilik SHM yang kini berada di tangan Perhutani, mengaku tidak pernah berniat menyerahkan SHM milikinya kepada Perhutani. Melainkan hanya menitipkannya kepada Kades yang saat itu menjabat.
“Saya enggak pernah berniat menyerahkan ke Perhutani sebenarnya. Karena saat itu sedang ada penarikan SHM dan karena takut ada masalah, saya menitipkan SHM saya ke Kades. Enggak tahunya oleh Kades SHM itu juga diserahkan kepada Perhutani. Alasannya sih katanya karena takut dipenjara,” kata Mukiyat, Sabtu (23/11/2019).
Mukiyat berharap, persoalan sengketa lahan dengan pihak Perhutani ini bisa segera ada titik terang. Menurut Mukiyat, secara umum, warga Desa Sobo hanya berkeinginan untuk tetap dapat menggarap lahan-lahan yang sejak dahulu sudah jadi lahan garapan warga.
“Intinya kita hanya ingin tetap bisa menggarap lahan. Apakah dengan bentuk kerjasama dengan Perhutani atau bagaimana, yang penting kita masih bisa menggarap. Sebelum ada sertifikat ini, enggak ada masalah. Tapi sejak ada sertifikat ini, malah banyak masalah yang muncul.”