RUU Masyarakat Adat Riwayatmu Kini

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Selasa, 10 Desember 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Meski sudah diusulkan dan dibahas di dua era pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Presiden Joko Widodo, namun nasib Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat masih belum terlihat ada kejelasan.

Bahkan sampai kini Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah untuk RUU Masyarakat Adat pun tidak jelas juntrungannya.

Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolingi menuturkan, situasi saat ini membuat Undang-Undang  Masyarakat Adat menjadi semakin urgen. Terlebih pemerintah agaknya juga lebih condong pada investasi yang membuat keterancaman terhadap masyarakat semakin tinggi.

Baca juga: Peladang Jadi Terdakwa Karhutla, AMAN: Mereka Bukan Penjahat Lingkungan

Beberapa perempuan masyarakat adat menyuarakan desakan kepada pemerintah agar segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam unjuk rasa yang digelar beberapa komunitas masyarakat adat yang digelar di depan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (9/12/2019)./Foto: Dokumentasi AMAN Kotawaringin Barat.

“Konflik masyarakat adat banyak terjadi karena lahannya dirampas. Kisah ini harus berhenti dan UU itu akan memastikan. Pemerintah juga apa tidak capek mengurusi konflik?” kata Rukka Sombolingi dalam konferensi pers yang digelar di Kekini Kafe Jakarta, Senin (9/12/2019).

Rukka mengatakan, UU Masyarakat Adat merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dan fundamental. Karena undang-undang tersebut keberadaannya adalah demi perlindungan dan pemenuhan hak konstitusional masyarakat adat.

“Seperti contohnya yang terjadi sekarang. Banyak peladang yang dikriminalisasi. Di Murung Raya (Kalimantan Tengah), peladang ditangkap menggunakan UU Lingkungan Hidup, pasal  69  yang sama (yang melindungi masyarakat adat) tapi ayat yang dipakai ayat 1. Padahal yang melindungi masyarakat adat itu ayat 2.”

Rukka mengakui, saat ini memang telah terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan masyarakat adat. Akan tetapi peraturan perundang-undangan tersebut bersifat sektoral dan justru mengakibatkan masyarakat adat kesulitan untuk mendapatkan hak-hak tradisionalnya.

“Karena dalam prakteknya UU (peraturan perundang-undangan) tersebut saling tumpang tindih dan menyandera pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat.”

Rukka mengaku sedih atas munculnya desas-desus kecurigaan pemerintah kepada masyarakat adat, yang dianggap hanya ingin menguasai lahan untuk diperjualbelikan dan merusak lingkungan. Dirinya berhadap agar melalui RUU Masyarakat Adat ini pemerintah dan masyarakat sipil termasuk perwakilan masyarakat adat bisa duduk bersama membicarakan tujuan UU Masyarakat Adat.

“Lah bukankah sekarang tanah itu dijual, lingkungan dirusak? Jadi selalu dicurigai. Melalui RUU ini kita duduk bersama membicarakan apa tujuan. Jangan ada lagi anggapan, ketika masyarakat adat ada negara tidak ada. Jangan berlanjut keterlanjuran dan salah urus ini. Masyarakat adat harus dilibatkan.”

Rukka menegaskan, pihaknya tidak akan menyerah dalam mengusahakan UU yang akan akan menjadi perlindungan hak-hak masyarakat adat. Karena menurut Rukka, hak masyarakat adat akan hilang ketika pihaknya sebagai perwakilan masyarakat adat menyerah mengupayakan perlindungan melalui UU dimaksud.

“Masyarakat adat itu seperti terjebak dalam rumah kaca yang bernama Indonesia yang tidak ada pintu dan jendelanya. Kita sekarang sedang berusaha bikin pintu dan jendela itu.”

Di tempat sama, Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary Herwati mengatakan, peraturan dan perundang-undangan terkait masyarakat adat yang sudah ada sekarang posisinya tumpang tindih dan saling menyandera serta belum mampu menjawab kebutuhan masyarakat adat. Bahkan peraturan perundang-undangan yang ada malah menjadi penyebab utama pengabaian dan kekerasan terhadap masyarakat adat.

“Banyak perampasan lahan yang terjadi tanpa masyarakat adat ketahui. Sampai saat ini tidak ada DIM yang sudah keluar dari pemerintah untuk diserahkan pada DPR. Kami hampir putus asa dan dipingpong kementerian,” kata Rakhma.

Rakhma menjelaskan, sejak 2018, 15 lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat, termasuk YLBHI, telah mengidentifikasi sejumlah pelanggaran hak dan masalah mendasar untuk pengakuan masyarakat adat. Yakni, hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup dan hak untuk berpartisipasi.

“Kita (koalisi) sudah mengambil beberapa langkah. Yakni menyusun policy brief RUU Masyarakat Adat, melakukan pendalaman substasi RUU Masyarakat Adat dan menyusun DIM versi masyarakat sipil,” kata Rakhma.

Selain itu, koalisi juga sudah melakukan audiensi dengan Badan Legislatif DPR RI, Kantor Staf Presiden (KSP), anggota DPD RI, KPPRI dan Sekretaris Negara, serta melakukan aksi Women March Jakarta dan aksi-aksi lain.

“Banyak perampasan lahan yang terjadi tanpa masyarakat adat ketahui. Sampai saat ini tidak ada DIM yang sudah keluar dari pemerintah untuk diserahkan pada dpr. Kami hampir putus asa dan dipingpong kementerian.”

UU Masyarakat Adat menjadi penting karena  sepanjang 2019 terdapat  43 orang masyarakat adat dari berbagai daerah yang dikriminalisasi. Sebanyak 13 orang di antaranya dikriminalisasi menggunakan pasal 108 juncto pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta juga menggunakan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Raden Ariyo Wicaksono

Beberapa warga masyarakat adat menyuarakan hak-hak masyarakat adat dan berbagai desakan kepada pemerintah agar segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Aksi ini dilakukan dalam unjuk rasa yang digelar beberapa komunitas masyarakat adat yang digelar di depan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Senin (9/12/2019)./Foto: Dokumentasi AMAN Kotawaringin Barat.

Selain itu, lanjut Rakhma, kriminalisasi terhadap peladang dan masyarakat adat juga dilakukan menggunakan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, KUHP dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

“Koalisi melihat, pemerintah itu sepertinya keberatan membagi kewenangan dengan masyarakat adat. Bahwa ketiadaan mekanisme memicu kriminalisasi dan perampasan wilayah adat. Tidak ada alasan bagi pemerintah menunda-nunda. Kita juga sudah menyiapkan DIM. Hentikan segala bentuk kriminalisasi dan perampasan hak atas lingkungan hidup masyarakat adat.”

Dalam kesempatan sama, guru besar hukum agraria Universitas Gadjah Mada, Prof.  Maria SW Sumardjono  berpendapat, pengakuan masyarakat adat bukanlah syarat untuk menentukan eksistensi masyarakat adat beserta ulayatnya. Karena pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat adat itu bersifat declaratoir.

Artinya, lanjut Prof. Maria, menyatakan sesuatu yang sudah ada. Upaya untuk menuntaskan pengajuan tersebut dapat dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri dan atau inisiatif pemerintah daerah.

“Dengan kata lain, tidak diterbitkan sertifikat atas hak ulayat yang kewenangannya beraspek publik sekaligus privat. Juga terhadap hak ulayat yang kewenangannya beraspek privat semata. Tidak diperlukan suatu penetapan. Penuntasan administrasi pengakuannya dalam bentuk sertifikat tanah milik bersama,” kata Prof. Maria.

Prof. Maria mengatakan, kelambanan dalam penerbitan UU Masyarakat Adat menandakan negara belum sepenuhnya hadir untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat. Belum diakuinya keberadaan masyarakat adat itu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan konflik agraria muncul dan tak mudah diselesaikan karena kompleksitas permasalahannya.

Anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem  Sulaeman L Hamzah mengatakan, Partai Nasdem sangat berkomitmen untuk terus mengawal dan memperjuangkan terbentuknya UU Masyarakat Adat sesegera mungkin. Yang mana, RUU Masyarakat Adat telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2020.

“Secara umum di DPR RI, RUU Masyarakat Adat tidak ada masalah. Pada dasarnya seluruh fraksi di DPR RI setuju dengan RUU Masyarakat Adat, hanya saja tidak secara resmi menyampaikan. Pada Prolegnas 2020 Fraksi Nasdem bersama fraksi PKB dan PDI Perjuangan sebagai pengusul dari RUU Masyarakat Adat,” kata Sulaeman.

Dalam konferensi pers tersebut, Wakil Ketua KomnasHAM Sandra Moniaga juga mengatakan, apabila merujuk pada UU yang sudah ada, masyarakat hukum adat dinyatakan ada dan diakui keberadaannya. Namun begitu, UU masyarakat adat tetap diperlukan untuk memastikan perintah UU harus dilakukan.

Sandra mengingatkan, Indonesia merupakan salah satu anggota Dewan HAM PBB dan RUU Masyarakat Adat berisi hak-hak yang diakui internasional. Hal tersebut demi menyingkronisasikan peraturan perundang-undang yang ada. RUU tersebut menerjemahkan hak masyarakat adat yang ada dalam instrumen hukum internasional.

“Pemerintah selalu tidak konsisten terhadap peraturan perundang-undangannya. Yang mana hak itu mengikuti subjeknya. RUU (masyarakat adat) harusnya ada yang menjadi penyelaras. Waktunya kita lakukan koreksi, pengakuan soal ini disampaikan, baik oleh SBY dan Jokowi. MPR pada 2001 juga menyatakan hal yang sama. Saatnya melakukan hal konkret,” kata Sandra.