Gangguan Habitat Diduga Jadi Penyebab Perilaku Agresif Harimau di Sumsel
Penulis : Redaksi Betahita
Konservasi
Kamis, 12 Desember 2019
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Baru-baru ini konflik harimau dan manusia marak terjadi di sejumlah daerah di Sumatera Selatan (Sumsel). Terbaru terjadi di Kota Pagar Alam. Agresifitas perilaku harimau-harimau ini diduga kuat terjadi akibat pengaruh perubahan lingkungan dan gangguan terhadap habitatinya. Masyarakat diminta untuk tidak memasuki dan merusak habitat harimau liar yang ada.
Baca juga: Komplotan Pemburu Harimau Dibekuk, Disita 4 Janin
Direktur Ekslusif Daerah Walhi Sumsel, Hairul Sobri mengatakan, perubahan perilaku satwa liar dan konflik satwa liar, khususnya harimau, dengan manusia yang terjadi beberapa waktu belakangan, besar kemungkinan diakibatkan oleh terjadinya perubahan kondisi lingkungan.
Hal itu tak lepas dari kebijakan pemerintah yang mengakibatkan sebagian besar lahan di Sumsel dikuasai oleh korporasi industri ekstraktif. Ini mengakibatkan lahan usaha untuk masyarakat menjadi kecil. Begitu juga habitat dan ruang hidup satwa liar yang menjadi sempit.
Berdasarkan data yang ada, dari total 8 juta hektare luas wilayah Sumsel, 1,5 juta hektare di antaranya sudah dikuasai oleh perusahaan hutan tanaman industri (HTI), 1,5 juta hektare dikuasai oleh konsesi tambang dan 2,5 juta hektare dikuasai perkebunan besar swasta
“2,5 juta hektare saja yang tersisa untuk masyarakat. Sisanya kawasan-kawasan hutan yang dikuasai Negara. Masyarakat tidak bisa disalahkan. Kemudian soal adanya perkebunan teh yang masuk dalam hutan lindung, sekitar 600 hektare itu. Sudah sejak lama dilaporkan tapi sampai sekarang ditangani,” kata Sobri, Rabu (11/12/2019).
Evaluasi Perizinan Usaha di Sekitar Habitat Harimau
Sobri juga meminta agar pemerintah dapat menangani persoalan ini dengan cermat. Salah satunya melakukan evaluasi terhadap perizinan-perizinan yang dikeluarkan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan. Terutama perizinan industri ekstraktif yang sangat berpengaruh pada kondisi alam dan lingkungan.
“Karena jangan sampai kejadian ini malah memunculkan kebijakan baru yang merugikan masyarakat. Misalnya seperti pelarangan warga untuk berkebun dan lain sebagainya. Yang harusnya dievaluasi itu industri ekstraktif. Khususnya tambang.”
Karena, lanjut Sobri, besar kemungkinan perilaku harimau yang belakangan agresif tersebut dikarenakan adanya gangguan terhadap habitat alaminya. Dikarenakan pembukaan lahan, eksploitasi tambang maupun aktivitas pembangkit listrik yang ada di sekitar bentang Bukit Barisan Selatan.
“Atau karena makanannya hilang, yang juga diakibatkan oleh perubahan lingkungan dan habitat yang rusak. Selain itu juga bisa diakibatkan oleh perubahan suhu lingkungan, yang juga diakibatkan kerusakan lingkungan oleh industri ekstraktif.”
Sobri mengatakan, aktivitas industri ekstraktif di beberapa tempat, seperti tambang batu bara di Kabupaten Lahat, tambang di Provinsi Bengkulu dan pembukaan perkebunan di sekitar bentang Bukit Barisan Selatan, beberapa tahun belakangan mulai terasa pengaruhnya.
“Kalau dulu, sekitar 2010, suhu di daerah Pagar Alam itu dingin kita harus pakai jaket. Tapi sekarang jadi panas, bahkan kadang harus buka baju, itu setelah aktivitas industri ekstraktif mulai banyak di daerah-daerah itu.”
Kondisi Alam Berubah
Perubahan kondisi lingkungan bisa juga jadi penyebab banyak satwa liar yang tinggal atau berada di bentang Bukit Barisan Selatan dan sekitarnya menjadi terganggu. Karena di beberapa tempat belakangan juga dilaporkan adanya satwa liar selain harimau, seperti buaya dan beruang, yang berkeliaran atau muncul di lingkungan sekitar pemukiman warga.
Sobri mengungkapkan, perilaku dan agresifitas harimau ini sudah mulai terjadi sejak sekurangnya 3 bulan belakangan. Sejauh ini tercatat sudah ada 17 korban, termasuk di antaranya korban jiwa, yang diakibatkan serangan harimau. Beberapa kasus diketahui terjadi di Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat dan Kabupaten Oku Selatan.
Sobri berharap Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan tidak hanya melakukan penanganan pascakejadian serangan harimau. Namun juga harus bisa melakukan langkah antispasi.
Antisipasi dimaksud salah satunya dilakukan dengan cara membuat kajian mendalam terhadap penyebab agresifitas perilaku harimau yang belakangan menyerang warga di beberapa daerah di Sumatera Selatan. Termasuk soal dari mana harimau-harimau itu berasal. Selain itu penggunaan kamera trap juga diperlukan untuk mengetahui perilaku harimau.
“BKSDA ini tidak pernah menyenggol faktor utama. Apakah BKSDA tidak punya kemampuan atau tidak punya kajian, kita tidak tahu. Seharusnya dari jejak-jejak harimau yang ditemukan bisa diperkirakan berapa umur harimau. Kemudian, dari mana asal harimau. Juga perlu memasang kamera trap. Umumnya, harimau itu kalau sekali lewat dan lewat lagi, berarti harimau itu tersesat.”
BKSDA Belum Punya Kajian
Terpisah, Kepala BKSDA Sumese, Genman Suhefti Hasibuan mengakui, sejauh ini pihaknya belum memiliki kajian yang mendalam mengenai penyebab perubahan perilaku satwa liar, khususnya harimau, yang terjadi beberapa bulan belakangan. Suhefti Hasibuan juga belum berani memastikan hubungan antara agresifitas perilaku harimau dengan kondisi lingkungan dan habitat alami satwa yang dinilai oleh beberapa pihak telah mengalami perubahan dan kerusakan.
“Belum ada, (kajian) penyebab perilaku yang mendalam. Kami belum sampai sejauh itu (mendalami hubungan dengan perubahan lingkungan dan habitat) melakukannya. Usul saya bisa ditanyakan ke ahlinya saja. Khawatir salah jawab,” kata Genman, Rabu (11/12/2019)
Untuk penanganan di lapangan, lanjut Genman, pihaknya telah melakukan beberapa tindakan antisipasi. Salah satunya melakukan pengendalian habitat satwa di dalam kawasan konservasi dengan melakukan perlindungan dan pengamanan hutan. Tak hanya itu, untuk memonitoring perilaku harimau, pihaknya juga sudah memasang sejumlah kamera trap di beberapa titik.
“Selain itu juga telah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat agar tidak merusak dan memasuki habitat satwa liar yang ada. Di samping itu BKSDA juga mendorong agar habitat satwa liar yang berlokasi di luar kawasan konservasi ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Sudah dipasang (kamera trap). Hanya saja belum dapat gambar.”
Konflik Muncul Diduga Karena Harimau Terganggu Aktivitas Manusia
Genman melanjutkan, konflik harimau dan manusia yang terjadi belakangan ini diduga terjadi dikarenakan harimau terganggu oleh aktivitas manusia. Salah satunya seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di daerah Gunung Dempo, Kota Pagar Alam. Salah seorang petani kopi di Pagar Alam tewas akibat diterkam harimau di dalam hutan lindung yang merupakan habitat satwa liar, termasuk harimau.
“Sejauh ini sebagian besar konflik yang terjadi karena masyarakat memasuki habitat harimau. Harimau bukan satwa yang aktif menyerang selama dia tidak terganggu dan tertekan. (di Pagar Alam) Diterkamnya bukan di perkebunan teh tetapi di dalam kawasan hutan lindung. Memang habitatnya. Masyarakat juga tahu itu habitat harimau.”
Genman menuturkan, sejauh ini belum ada laporan mengenai harimau yang masuk ke pemukiman warga. Apabila hal itu terjadi, BKSDA akan segera melakukan evakuasi terhadap harimau.
“Bila harimau masuk pemukiman, pasti kita melakukan evakuasi. Kejadian konflik yang selama ini terjadi adalah di dalam kawasan hutan yang merupakan rumah harimau. Sehingga yang dilakukan adalah meminta masyarakat keluar dari habitat harimau.”
Konflik Manusia dan Satwa
Berdasarkan data populasi, lanjut Genman, harimau di Sumatera Selatan jumlahnya hanya sekitar 15 ekor saja. Harimau-harimau tersebut tersebar di beberapa kantong habitat di sejumlah kabupaten dan kota di Sumsel.
“Yaitu di Kabupaten Lahat, Pagar Alam, Banyuasin, Muba (Musi Banyuasin), Muratara (Musi Rawas Utara), Muara Enim, OKU (Ogan Komerin Ulu) dan OKU Selatan. Semua kantong tersebut berada di dalam kawasan hutan.”
Genman menjelaskan, sepanjang Januari 2019 hingga saat ini, terdapat kurang lebih 26 kasus konflik manusia dan satwa yang tercatat di BKSDA Sumsel. Dengan rincian, 4 konflik dengan Gajah Sumatera, 4 konflik dengan Buaya Muara, 10 konflik dengan Harimau Sumatera, 6 konflik dengan Beruang Madu dan 2 konflik dengan Babi Hutan.
Konflik-konflik manusia dan satwa-satwa ini umumnya terjadi di areal penggunaan lain (APL), beberapa lainnya di kawasan konservasi dan Hutan Lindung. Dari konflik-konflik manusia dan satwa tersebut, 7 warga diketahui tewas. Sedangkan korban luka-luka sebanyak 2 orang.
Empat Warga Jadi Korban
Sebelumnya, beberapa pekan belakangan, sejumlah konflik antar manusia dan harimau dilaporkan terjadi di beberapa daerah di Sumsel. Terbaru wisatawan dan beberapa petani kopi di Kota Pagar Alam dan Kabupaten Lahat, diketahui jadi korban keganasan harimau liar.
Pada 5 Desember 2019, petani kopi di Dusun Tebat Benawa, Kelurahan Penjalang, Kecamatan Dempo Selatan, bernama Yudiansah Harianto diketahui tewas mengenaskan, karena ditemukan hanya tersisa tinggal tulang belulang saja, akibat serangan harimau.
Beberapa hari sebelum Yudiansyah ditemukan tewas, petani kopi lainnya bernama Marta Rolani, warga Kecamatan Dempo Selatan, juga dilaporkan mendapat serangan harimau. Akan tetapi Marta berhasil selamat dan mengalami luka-luka yang cukup parah di beberapa bagian tubuh, pada 2 Desember 2019 lalu.
Selain dua korban tersebut. Beberapa pekan sebelumnya, Irfan salah seorang wisatawan Taman Wisata Gunung Dempo, asal Sekayu, Kabupaten Musi Banyuasin, juga menderita luka-luka akibat serangan harimau, saat berkemah bersama rekan-rekannya di kawasan taman wisata tersebut pada 16 November 2019.
Tak hanya terjadi di Kota Pagar Alam saja. Serangan harimau juga dilaporkan terjadi di Kabupaten Lahat. Petani kopi Desa Pulau Panas Kabupaten Lahat, bernama Kuswanto, tewas akibat serangan harimau pada 17 November 2019 lalu.