Ini Harapan SIEJ: Jurnalis Ikut Andil Kritisi Penyebab Banjir
Penulis : Redaksi Betahita
Lingkungan
Jumat, 03 Januari 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Hari pertama tahun 2020, informasi di lini massa diwarnai oleh banjir yang terjadi di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Banjir tak hanya melanda ibukota namun di beberapa wilayah di Sumatera seperti Bengkulu dan Labuhan Batu Sumatera Utara berdasarkan laporan media hingga saat ini.
Baca juga: Pantai di Bali Dibanjiri Sampah Plastik
Harapan akan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik dibandingkan tahun 2019 seakan-akan sulit diwujudkan dengan realitas yang ada. Namun demikian, bukan berarti kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuatu yang mustahil diwujudkan. Rochimawati, Ketua Umum The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) berharap, jurnalis dan media massa menjadi salah satu aktor yang bisa turut membantu mewujudkannya.
“Banjir yang terjadi hari ini di beberapa wilayah, seperti Bogor, Bekasi, DKI Jakarta, hingga ke ruas tol Cikampek-Palimanan bahkan di sejumlah daerah, tidak bisa dipandang sebagai satu kejadian tunggal,” sebut Rochimawati dalam keterangan resminya, Rabu 1 Desember 2019.
Yang terang, bencana alam adalah sebuah keniscayaan, manusia seharusnya bisa melakukan mitigasi dengan mengarusutamakan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Menurut dia, pemberitaan dan laporan soal bencana seharusnya ditarik lebih dalam ke faktor-faktor lain yang memengaruhinya. Mulai dari regulasi yang kurang mendorong kepedulian atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hingga ideologi dan rongrongan oligarki yang seolah-olah mendorong peningkatan indeks pembangunan manusia.
Masyarakat Jurnalis Lingkungan atau SIEJ mengajak seluruh jurnalis dan media massa untuk memberikan informasi yang jelas dan akurat terkait peristiwa bencana. Adalah fakta-fakta terkait alih fungsi lahan, persyaratan pembangunan yang seharusnya mengedepankan izin lingkungan, penegakan hukum, serta perubahan iklim sebaiknya dikemukakan dengan lugas dan bernas, alih-alih tak sekadar menyalahkan kepala daerah semata terkait kegagalan memitigasi bencana di wilayahnya.
“Kami memandang fenomena perubahan iklim masih kurang mendapatkan porsi di media massa karena memang tidak mudah untuk membumikannya. Banjir, bisa jadi salah satu titik masuk bagi jurnalis atau media massa guna menjelaskan dampak dari perubahan iklim terhadap masyarakat perkotaan,” kata Rochimawati.
Menurut SIEJ, curah hujan yang tinggi di sebuah wilayah tidak bisa dipandang sebagai sebuah fenomena alam semata. Perilaku setiap individu secara tidak langsung berdampak pada peningkatan suhu muka bumi yang memengaruhi pertumbuhan awan hingga hujan. Perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol, bisa jadi faktor penyebab larinya air ke berbagai wilayah hingga membanjiri pemukiman warga. Di sejumlah daerah, tingginya curah hujan biasanya selalu disusul oleh bencana longsor dan banjir bandang.
“Maka dari itu, kami berharap jurnalis dan media massa ikut mengambil peran memberi informasi yang tepat untuk semua pihak tanpa memandang latar belakangnya. Sehingga semua pihak, mulai dari masyarakat biasa sampai pembuat kebijakan sadar dan mau melakukan perubahan mulai dari diri sendiri demi lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat,” ajak Rochimawati.
Perubahan tersebut, misalnya bisa dimulai dari perilaku mengurangi penggunaan kendaraan pribadi daripada memanfaatkan layanan transportasi umum, mengurangi dan menghapuskan penggunaan energi berbasis fosil, mengurangi konsumsi yang cenderung menimbulkan sampah, hingga mengawasi rencana pembangunan pemerintah yang tidak pro atas penciptaan lingkungan hidup yang sehat dan baik.