12 Alasan Masyarakat Sipil Tolak Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Penulis : Redaksi Betahita

Lingkungan

Senin, 03 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id - Empat puluh organisasi yang tergabung dalam koalisi Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menolak pembahasan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Koalisi ini menyebut aturan itu “tidak demokratis” karena “berjiwa kolonial” dan “hanya melibatkan pengusaha”.

FRI menyorot beberapa isu, salah satunya, pengembalian politik pertanahan nasional ke zaman kolonial yang disebut Agrarische Wet 1870. Aturan akhir abad ke-19 ini menghukum berat pekerja bila melanggar aturan, sementara pengusaha hanya diberi sanksi ringan.

Baca Juga: Warga Cirebon dan Indramayu Desak KPK Usut Dugaan Korupsi PLTU Batu Bara

Menurut FRI, baik hukum kolonial dan RUU Cipta Lapangan Kerja sama-sama mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal.

Demontrasi menolak RUU Ciptakan Lapangan Kerja di Gedung DPR. Foto: Istimewa

Koalisi ini juga mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang meminta penegak hukum seperti aparat kepolisian dan Badan Intelijen Negara untuk mendekati dan mengantisipasi kelompok masyarakat yang menolak aturan tersebut.  “Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat seperti itu,” demikian , FRI dalam siaran pers, Kamis, 30 Januari 2020.

RUU Omnibus Law itu juga akan memperluas eksploitasi sumber daya alam dan merusak lingkungan. “Karena pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi asing sehingga investor potensial yang hadir justru adalah investor yang buruk dan paling ekstraktif.”

Koalisi itu memberi 12 alasan mengapa rakyat Indonesia harus menolak RUU Cipta Lapangan Kerja:

  1. Aturan itu melegitimasi investasi ekstraktif yang merusak lingkungan. Pemerintah juga mengabaikan investasi yang sudah ada, yakni masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan.
  2. Penyusunan aturan itu cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup tanpa keterlibatan masyarakat sipil, serta mendaur ulang pasal inkonstitusional.
  3. Aturan bersifat elitis dan tidak mengakomodasi kepentingan rakyat yang terdampak aturan itu.
  4. Aturan itu hanya akan fokus pada kewenangan pemerintah pusat, yang kontras dengan semangat reformasi.
  5. Ancaman korupsi yang semakin tinggi akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
  6. Aturan itu akan merampas dan menghancurkan ruang hidup rakyat.
  7. Aturan itu akan memperparah krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis buatan manusia, dan kerusakan lingkungan.
  8. Aturan itu akan menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja serupa legalisasi upah di bawah standar minimum, upah per jam, dan perluasan kerja kontrak-outsourcing. 
  9. Aturan itu akan menciptakan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan memburuknya kondisi kerja.
  10. Aturan itu akan membuat orientasi sistem pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah.
  11. Aturan itu akan memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
  12. Aturan itu akan meningkatkan kriminalisasi, represi, dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha.

Baca Juga: Energi Listrik PLTU Batu Bara Lebih Murah Dibanding Energi Terbarukan?

Saat ini Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan RUU Cipta Lapangan Kerja. Jika aturan itu disetujui, maka aturan itu akan menyapu lebih dari 1,000 pasal dalam berbagai undang-undang yang sudah ada, termasuk UU Ketenagakerjaan, yang selama ini dianggap menghambat investasi di dalam negeri.

Presiden Jokowi menyebut rancangan undang-undang itu bertujuan untuk memudahkan bisnis di Tanah Air, menarik lebih banyak investasi asing, dan menciptakan lapangan kerja.