Warga Banyuwangi Dirikan Tenda Lawan Tambang di Gunung Salakan
Penulis : Redaksi Betahita
Agraria
Selasa, 04 Februari 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Pertambangan emas di Gunung Salakan, Gunung Lompongan, Gunung Gendruwo dan sekitarnya di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, menuai penolakan dari warga sekitar. Puluhan warga yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan tersebut sejak beberapa waktu terakhir melakukan penolakan dan perlawanan dalam bentuk pendirian tenda di sekitar Gunung Salakan.
Utsman A. Halimi dari Forum Rakyat Banyuwangi mengatakan, aksi penolakan pertambangan di Gunung Salakan, Lompongan dan Gendruwo ini dilakukan oleh warga dari Kecamatan Pesanggaran.
Perlawanan warga lewat pendirian tenda tersebut dimulai sejak 5 Januari 2020. Sesuai izin dari pihak kepolisian, aksi warga ini rencananya digelar dalam waktu 45 hari. Warga yang terlibat dalam penolakan tersebut mencapai ratusan. Namun jumlahnya fluktuatif tiap harinya.
“Untuk perencanaannya 45 hari sesuai surat tugas pengamanan kepolisian dari Polda Jatim. Ada sekitar 50-an (warga yang bertahan mendirikan tenda). Mereka hanya menjaga dan meramaikan tenda dan lainnya melanjutkan aktivitas bekerja. Tapi kalau ada pekerja perusahaan yang mau masuk Gunung Salakan baru ngumpul semua,” kata Utsman, Senin (3/2/2020).
Utsman menjelaskan, terdapat 4 bentang pegunungan yang melindungi warga dari angin dan bahaya tsunami serta menjadi pusat mata pencaharian warga, baik bertani maupun membuat gula aren. Yakni Gunung Pletes, Salakan, Lompongan dan Gendruwo. Di kaki gunung antara ke-4 gunung tersebut warga mendirikan tenda-tenda dimaksud.
Puluhan warga mendirikan tenda-tenda di sekitar kaki Gunung Salakan, sebagai bentuk perlawanan warga terhadap rencana aktivitas pertambangan di gunung itu./Foto: Dokumentasi Forum Rakyat Banyuwangi
Manfaat Ekologis Penting bagi Warga
Utsman menjelaskan dalam aspek ekologis, Gunung Salakan dan sekitarnya adalah penyedia sumber air. Baik untuk konsumsi maupun kebutuhan harian lainnya bagi warga. Kemudian gunung-gunung yang kini tengah diteliti untuk diekspansi tersebut juga merupakan tempat berlindung dari bahaya tsunami.
Selain itu gunung-gunung tersebut adalah penyedia mata pencaharian warga. Mengingat banyak warga yang bercocok tanam atau bertani di sekitar lereng gunung.
“Ada juga ingatan kolektif, bahwa warga lahir di wilayah sekitar lereng tersebut memiliki kenangan yang tak bisa ditukar dengan uang. Selain itu kekhawatiran kehilangan tempat tinggal dan asal muasal nenek moyang juga.”
Utsman mengatakan, wilayah konsesi tambang PT BSI bukan hanya di Gunung Pletes, Salakan, Lompongan dan Gendruwo saja tetapi juga termasuk pemukiman penduduk. Warga tak ingin daerah tempat tinggalnya menjadi rusak, seperti yang terjadi di Gunung Tumpang Pitu, yang lebih dulu telah dieksploitasi.
“Gunung yang jaraknya tak jauh dari 4 gunung di sekitarnya menjadi tetenger (petanda) bagi nelayan, penyedia tanaman obat herbal dan lain-lain, hancur serta menyisakan konflik sosial. Baik antarwarga, tetangga dengan tetangga, dan saudara dengan saudara.”
Belum lagi, pada 1994 kawasan pantai selatan tersebut pernah terjadi tsunami dan telah ditetapkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai kawasan rawan bencana. Utsman mengatakan, jika kawasan rawan bencana yang seharusnya dilindungi itu malah ditambang, maka itu akan semakin menambah kerawanan atau semakin merapuhkan kawasan itu sendiri.
Puluhan warga mendirikan tenda-tenda di sekitar kaki Gunung Salakan, sebagai bentuk perlawanan warga terhadap rencana aktivitas pertambangan di gunung itu./Foto: Dokumentasi Forum Rakyat Banyuwangi
Perlawanan Berlangsung Lama
Utsman menguraikan, penolakan warga terhadap aktivitas pertambangan di Banyuwangi, sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Dimulai sejak adanya aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu.
“Aksi warga Tumpang Pitu mulai tahun 2000 dan eskalasinya semakin tinggi. Terjadi aksi besar pada tahun 2009, sewaktu pemilik izin konsesinya PT. Indo Multi Niaga (IMN).”
Pada 2012 pemegang izin usaha pertambangan (IUP) emas di Tumpang Pitu dan sekitarnya berganti dan selanjutnya dipegang oleh PT Bumi Suksesindo (BSI). Meski begitu warga tetap melakukan penolakan.
“Di tahun 2015 puncak penolakan warga, telah terjadi pembakaran kantor PT BSI dan akhirnya terjadi kriminalisasi warga, sebanyak 4 orang. Serta PT BSI menjadi objek vital nasional di hari yang sama.”
Utsman melanjutkan, pada akhir 2016 terjadi banjir yang mengakibatkan Pantai Pulau Merah penuh dengan lumpur. Kejadian ini memicu terjadinya demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat.
“Kemudian pada 2017 perusahaan menanam kabel untuk kebutuhan enargi pembangkit juga telah terjadi penolakan warga. Hingga terjadinya kriminalisasi 4 orang dengan tuduhan perusakan.”
Perlawanan warga terhadap aktivitas pertambangan oleh perusahaan tersebut berlangsung sampai sekarang. Berbagai cara telah dilakukan oleh warga. Secara politis warga juga telah mengadu ke Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian, Pemerintah Provinsi Jatim, hingga pemerintah daerah, yang rutin dilakukan tiap Selasa Kliwon atau 40 hari sekali.
“Mulai 5 Januari 2020, perusahaan melakukan penelitian di Gunung Lompongan, Salakan dan lain-lain yang berdekatan dengan Gunung Tumpang Pitu dan di tengah pemukiman warga Dusun Pancer Desa Pesanggaran. Warga kembali menolak dengan mendirikan tenda perlawanan.”
Puluhan warga mendirikan tenda-tenda di sekitar kaki Gunung Salakan, sebagai bentuk perlawanan warga terhadap rencana aktivitas pertambangan di gunung itu./Foto: Dokumentasi Forum Rakyat Banyuwangi
Penolakan atau perlawanan warga terhadap ekspansi pertambangan emas di Gunung Salakan dan sekitarnya ini belakangan menimbulkan bentrok antara warga dan pihak perusahaan
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jatim, Rere Christianto mengatakan, praktek kriminalisasi seperti yang dialami warga ini harus dilihat sebagai upaya menghambat kerja-kerja para pegiat lingkungan hidup dan menyengsarakan individu atau masyarakat korban yang kehilangan hak atas lingkungan hidupnya.
“Warga penolak tambang adalah orang-orang yang memperjuangkan hak-hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rere, Senin (3/2/2020).
Mereka, kata Rere, adalah Pembela HAM sebagaimana didefinisikan dalam rumusan-rumusan Pembela HAM yang dijelaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tentang Pembela HAM, Konstitusi Indonesia (UUD 1945), maupun Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Secara spesifik, mereka biasanya diistilahkan dengan Pembela HAM Lingkungan Hidup atau Environmental Human Rights Defender/E-HRD.”
Rere melanjutkan, kriminalisasi terhadap warga penolak tambang di Gunung Salakan dan sekitarnya ini bertolak belakang dengan janji komitmen pemerintah. Yang mana komitmen Presiden Jokowi, dalam nawacita 2014 dan ditegaskan pula dalam pidatonya pada Hari HAM Dunia 2015, menolak dan menentang adanya kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan hak-haknya sekaligus menghentikan praktek kriminalisasi yang sedang berlangsung di lapangan.
“Menurut Presiden Jokowi, sengketa agraria harus diselesaikan dengan cara pembenahan tumpang tindih hak atas tanah tanpa melakukan kriminalisasi. Komitmen politik ini seharusnya dapat memperkuat keberadaan Pasal 66 UU PPLH Nomor 32 Tahun 2009. Sehingga praktek kriminalisasi terhadap para pejuang lingkungan hidup menjadi berkurang dan bukan sebaliknya.”
PT BSI merupakan salah satu anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk, dengan kepemilikan saham sebesar 99,89 persen. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/547/KEP/429.011/2012 tanggal 9 Juli 2012, PT BSI memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) seluas 4.998 hektare.
IUP OP tersebut berlaku selama 20 tahun, terletak di Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Kegiatan utama PT BSI saat ini terfokus pada unit bisnis produksi emas dan tembaga di Tujuh Bukit Operation atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tumpang Pitu.
Sementara itu, juru bicara PT BSI Teuku Mufizar Mahmud menilai wajar ada kelompok warga menolak. Namun, BSI telah sosialisasi kepada semua lapisan masyarakat di sekitar Pancer dan wilayah sekitar pada November 2019.
Sosialisasi menjelaskan, bakal ada kegiatan survei geolistrik sebagai survei awal mendeteksi kandungan mineral di Lompongan dan Gondoruwo. "Bukan di Gunung Salakan, harus diluruskan," katanya.
"Belum ada eksplorasi apalagi eksploitasi. Kekhawatiran akan penambangan tak benar," katanya seperti dikutip laman Mongabay, 26 Januari 2020.