Pembuangan Tailing ke Laut Dalam Ancam Masyarakat Pesisir

Penulis : Redaksi Betahita

Lingkungan

Jumat, 06 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Rencana pemerintah untuk membuang tailing atau bahan yang tertinggal setelah pemisahan fraksi bernilai bijih besi ke laut dalam dikhawatirkan akan membunuh masyarakat pesisir dan pulau kecil.

Pembuangan tailing lewat proyek pembuangan limbah nikel ke laut dalam (Deep Sea Tailing Placement) untuk pabrik proyek hidrometalurgi ini, dianggap bakal menambah laju perusakan ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil yang selama ini telah diporakporadakan oleh industri ekstraktif.

Sejauh ini terdapat empat perusahaan yang sudah dan tengah meminta rekomendasi pembuangan tailing kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Kementerian Koordinator Kematritiman dan Investasi, yakni PT Trimegah Bangun Persada di Pulau Obi Provinsi Maluku Utara, PT QMB New Energy Material, PT Sulawesi Cahaya Mineral dan PT Huanye Cobalt di Kabupaten Morowali,  Sulawesi Tengah.

Pengkampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mengatakan, dari 4 perusahaan tersebut, 2  di antaranya telah mendapat izin dari pemerintah daerah dan mendapat arahan pemanfaatan ruang laut dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Dalam diskusi media yang digelar Jatam dan KIARA di Bangi Kopi, Rabu 4 Maret 2020, muncul anggapan proyek pembuangan tailing ke laut dalam akan menghancurkan dan membunuh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil./Foto: Betahita.id

Dua perusahaan dimaksud, yang pertama PT Trimegah Bangun Persada anak usaha Harita Group yang telah mengantongi izin lokasi perairan dari Gubernur Maluku Tengah, dengan No. SK 502/01/DPMPTSP/VII/2019. Izin lokasi tersebut terbit 2 Juli 2019 lalu.

“Di Morowali, PT Sulawesi Cahaya Mineral, yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN), telah mendapatkan legitimasi untuk aktivitas pembuangan tailing bawah laut. Melalui Surat Direktorat Jenderal Pengelolaan Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) No. BN225/DJPRL/III/2019, pada 1 Maret 2019 perihal Arahan Pemanfaatan Ruang Laut,” kata Melky dalam Diskusi Media yang digelar di Bangi Kopi, Jakarta Selatan, Rabu (4/3/2020).

Penerbitan izin itu, menurut Melky, tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Karena hanya berdasarkan PP No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut. Penerbitan izin ini menabrak peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

“Padahal, terdapat aturan yang lebih tinggi. Yaitu, Undang-Undang No.27 tahun 2007. Khususnya Pasal 35, Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Serta Putusan Mahkamah Konstitusi No.3 Tahun 2010.”

Melky menjelaskan, Pulau Obi dengan luas hanya 254,2 hektare dan daratan pulau tersebut sudah habis dikaveling untuk pertambangan nikel. Tercatat terdapat 14 perusahaan yang mengeruk nikel, terutama di daerah sekitar pesisir pantai. Sementara, daratan Morowali telah lama diobrak-abrik oleh 61 perusahaan tambang yang beraktivitas di daratan dan pesisir.

“Proyek pembuangan tailing nikel ini jelas menambah kehancuran di dua wilayah itu. Mulai dari keberlangsungan ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang dan sumber daya perikanan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sebagai sumber pangan dan penghidupan.”

Dalam konteks ini, lanjut Melky, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembuangan Limbah ke Laut menyebutkan bahwa ekosistem mangrove, padang lamun, terumbu karang dan kawasan perikanan tangkap sebagai kawasan sensitif serta terlarang untuk dijadikan kawasan pembuangan limbah.

“Potensi ancaman yang besar berikutnya adalah kesehatan masyarakat, baik karena terpapar secara langsung akibat beraktivitas di laut, maupun terpapar secara tidak langsung akibat mengonsumsi pangan laut (seafood).”

Melky menjelaskan, proyek pembuangan limbah nikel ke laut dalam ini akan memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan di perairan setempat.

Setidaknya terdapat lebih dari 7.000 keluarga nelayan perikanan tangkap di Morowali yang akan terdampak proyek ini. Sementara itu, masa depan kehidupan 3.343 keluarga nelayan perikanan tangkap di Pulau Obi juga dipertaruhkan.

“Di Morowali, pihak yang paling diuntungkan dari proyek ‘Pembuangan Tailing ke Laut Dalam’ ini adalah PT QMB New Energy Material, PT Sulawesi Cahaya Mineral, PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali.”

Ketiga perusahaan ini diduga terhubung dengan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). IMIP yang berdiri sejak 2013 adalah proyek bisnis Indonesia-Cina yang merupakan usaha patungan antara Shanghai Decent Investment Co. Ltd., PT Bintang Delapan Investama, dan PT Sulawesi Mining Investment.

Di tempat sama, pengkampanye Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Parid Ridwanuddin menambahkan, keluarnya izin pembuangan tailing yang terjadi di Morowali dan Pulau Obi ini seperti mengkonfirmasi poin-poin penting yang dibicarakan dalam Forum Ekonomi Dunia yang digelar awal 2020 kemarin. Dalam Forum Ekonomi Dunia tersebut, terdapat beberapa ancaman yang harus dijadikan perhatian. Salah satunya tentang bencana lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.

“Ada ancaman perubahan iklim, bencana alam, cuaca ekstrim, krisis air, bencana lingkungan yang diakibatkan aktivitas manusia dan krisis makanan yang dibicarakan. Nah apa yang terjadi di Morowali dan Pulau Obi ini seperti mengkonfirmasi ancaman penting itu,” kata Parid, Rabu (4/3/2020).

Paradigma pembangunan yang dianut Indonesia, masih menganut dan mengutamakan upaya ekstraktif dan eksploitatif. Sementara Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang di dalamnya berisi mekanisme pemberian Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), dengan sangat telanjang memberi keleluasaan ruang bagi investor untuk menjalankan aktivitas ekstraktif dan eksploitatif tersebut.

“Kemudian, proyek pembuangan tailing, khususnya di Morowali, juga belum masuk dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 10 Tahun 2017 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi Sulawesi Tengah. Yang artinya tidak mengizinkan proyek itu masuk dalam zona perairan tangkap.”

Lebih lanjut, Parid mengatakan, Indonesia juga masih salah kaprah memahami makna investasi. Karena, kalau dipahami lebih dalam masyarakat pesisir sebenarnya juga berinvestasi. Yakni dengan merawat dan menjaga lingkungan.

“Itu luar biasa besar. Mereka berinvestasi untuk generasi mendatang. Tapi investasi penghancuran di Pulau Obi dan Morowali itu hanya akan menyisakan kehancuran saja.”

Sejauh ini pihaknya bersama dengan lembaga masyarakat sipil lainnya belum berencana untuk membuat gugatan atau upaya litigasi lainnya. Meskipin hal itu akan bisa menjadi opsi yang mungkin ditempuh ke depannya.

“Belum ditentukan akan adanya upaya litigasi atau tidak. Tapi terlepas dari itu, mitigasi dengan menggerakkan maysarakat sekitar kita lakukan. Negara harus memastikan masyarakat mendapatkan lingkungan yang sehat.”

Tapi untuk saat ini pihaknya menuntut kepada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Provinsi Maluku Utara, dan Pemerintah Provinsi Sulawesi, untuk menghentikan proyek pembuangan tailing di laut dalam ini.

“Tuntutan kita, baik kepada pemerintah pusat maupun Pemda, hentikan proyek tailing dan evaluasi izin tambang di pesisir dan pulau kecil. Karena ini hanya akan jadi bunuh diri ekologis. Kemudian, pemerintah mestinya mulai memulihkan kedua wilayah ini untuk menghentikan perluasan perusakan akibat industri ekstraktif.”

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) KKP, Aryo Hanggono mengatakan, Izin Lokasi yang diberikan Gubernur Maluku Utara untuk PT Trimegah Bangun Persada telah sesuai dengan kewenangan dan peraturan daerah tentang RZWP3K. Sedangkan untuk Arahan Pemanfaatan Ruang Laut yang dikeluarkan Dirjen PRL KKP, juga sudah sesuai dengan Perda Nomor 10 Tahun 2017 tentang RZWP3K.

“Semuanya diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan seluruh stakeholders nya. Ditjen PRL KKP hanya mengawal agar semua tahapan dilaksanakan dengan tertib. Jadi substansi RZWP3K sepenuhnya merupakan produk kesepakatan seluruh stakeholders di daerah,” kata Aryo, Rabu (4/3/2020).

Aryo menegaskan, perairan laut dalam yang bisa dimanfaatkan untuk pembuangan tailing nikel dapat berada di dalam wilayah 12 mil, maupun di luar 12 mil. Itu mengapa izin lokasi untuk pembuangan tailing nikel, bisa dikeluarkan oleh Gubernur maupun diberikan oleh KKP. Karena sesuai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, izin lokasi perairan untuk di dalam wilayah 12 mil akan jadi kewenangan pemerintah daerah. Sementara untuk di luar 12 mil jadi kewenangan KKP.

“Laut dalam ukurannya kedalaman. Bukan jarak nya dari pantai. Kewenangan gubernur 12 mil laut. Di zona 12 mil laut, mungkin saja terletak atau terdapat laut dalam. Ditjen PRL KKP hanya memiliki kewenangan memberikan ijin lokasi untuk kegiatan menetap di luar 12 mil laut dan di luar kewenangan gubernur.”

Aryo menuturkan, pembuangan tailing harus berada di bawah thermocline. Hal tersebut sudah dirinya sampaikan dalam Rapat Koordinasi Tindak Lanjut Penyelesaian Permasalahan PT Trimegah Bangun Persada, PT QMB New Energy Material dan PT Huayue Nickel Cobalt terkait perizinan penempatan tailing bawah laut untuk pabrik proyek hidrometalurgi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, dan Morowali, Sulawesi Tengah, bersama Kementerian Koodinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, 2 Maret 2020 kemarin.

“Dalam rapat saya sampaikan pembuangan tailing harus berada di bawah thermocline dan di bawah ruaya atau swimming layer ikan tuna. Berapa meter kedalaman tergantung kedalaman thermocline di lokasi tersebut. Jadi harus disurvei lokasi kedalaman thermoclinenya.”

Terkait kekhawatiran tentang pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh pembuangan tailing ke laut dalam. Aryo mengaku tidak dapat banyak berkomentar. Karena hal itu merupakan kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Terkait pencemaran lingkungan adalah ranahnya izin lingkungan yang dikeluarkan oleh KLHK. Silakan ditanyakan ke KLHK. Metode pembuangan tailing ke laut sudah merupakan kegiatan operasional dan menjadi kewenangan sektor terkait.”

Soal tudingan pembuangan tailing yang akan mengganggu kegiatan perikanan tangkap nelayan. Aryo menegaskan, hal tersebut perlu ditinjau dari dari hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Apabila dalam AMDAL disebutkan pembuangan tailing tersebut akan berpengaruh pada kegiatan perikanan tangkap, maka pembuangan tailing tidak boleh dilakukan di perairan tersebut.

“Sekali lagi, izin lingkungan merupakan ranah KLHK. Jadi pelaksanaan kegiatan, akan sangat tergantung dari hasil kajian AMDAL. Kalau ternyata hasil kajian AMDAL akan mengganggu perikanan tangkap, maka kegiatan DSTP (Deep Sea Tailing Placement) tidak dapat dilakukan.”

Sementara, mengenai adanya permohonan izin pembuangan tailing yang juga sedang diajukan oleh PT QMB New Energy Material dan PT Huayue Nickel Cobalt di Morowali. Aryo mengaku tidak ada pengajuan izin yang pihaknya atas nama perusahaan-perusahaan tersebut.

“Sepertinya kewenangan Gubernur. Saya tidak menerima surat pengajuan izin dari mereka (PT QMB New Energy Material dan PT Huayue Nickel Cobalt),” kata Aryo.