Ulin Diizinkan Ditebang, Penggiat Lingkungan Buat Petisi
Penulis : Redaksi Betahita
Konservasi
Minggu, 08 Maret 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Dikeluarkannya ulin dari daftar tumbuhan yang dilindungi dalam Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.106 Tahun 2018 memicu reaksi dari para pemerhati tumbuhan dan lembaga masyarakat sipil atau Non Goverment Organization (NGO). Mereka membuat petisi yang isinya meminta agar ulin dan 9 jenis tumbuhan lain dikembalikan ke dalam daftar jenis tumbuhan yang dilindungi.
Baca juga: Dianggap Langka dan Terancam, Status Perlindungan Ulin dan 9 Jenis Tumbuhan Ini Malah Dicabut
Petisi melalui Change.org itu judulnya Revisi PermenLHK P.106/2018 Kembalikan Ulin & Tumbuhan Terancam Lain ke Daftar Dilindungi. Hingga Sabtu (7/3/2020) malam, petisi yang dibuat oleh pegiat dan pemerhati sumber daya alam (SDA) Ragil Satriyo bersama Yayasan Auriga Nusantara itu sudah berhasil mendulang dukungan yang jumlahnya sudah menyentuh angka 3.471 tanda tangan.
Disebutkan dalam petisi itu, seluruh tumbuhan kayu yang secara sadar pemerintah cabut perlindungannya itu memiliki tingkat keterancaman tinggi di alam. Para pembuat pertisi juga mempertanyakan, mana yang dianggap lebih penting antara kekayaan sumber daya alam hayati (yang nyaris punah) atau kepentingan ekonomi (yang masih bisa disubtitusi)?
Dijelaskan pula, ulin yang bernama latin Eusideroxylon zwageri, yang dalam International Union Conservation of Nature (IUCN) Redlist berstatus vulnerable atau rentan, ternyata sudah dimasukkan dalam Rancangan Strategi Rencana Aksi Konservasi (RSRAK) Flora yang disusun Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan beberapa lembaga lain, yang rencananya akan diterbitkan oleh Kementerian LHK.
RSRAK sebenarnya mengakomodasi perlindungan tumbuhan kayu langka dan terancam punah. Di dalam RSRAK, ulin masuk dalam prioritas 3. Eusideroxylon zwageri atau ulin, Dipterocarpus cinereus, Dipterocarpus littolaris atau Pahlahlar Nusakambangan dan Vatica bantamensis atau Kokoleceran yang juga merupakan flora identitas Provinsi Banten, menjadi korban pencabutan status perlindungan PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018, bersama enam tumbuhan kayu lainnya.
Petisi itu juga menyebut sejumlah tumbuhan yang dihilangkan status perlindungannya itu juga merupakan tumbuhan endemik yang hanya dapat ditemukan di lokasi tertentu atau penyebarannya sempit. Kesepuluh jenis tersebut juga merupakan tumbuhan kayu dengan nilai ekonomis tinggi dan termasuk jenis kayu perdagangan yang diminati perusahaan-perusahaan kehutanan serta cukong-cukong kayu.
Dengan hilangnya status perlindungan dan pengusahaan hutan yang tidak terkendali, bukan tidak mungkin dalam beberapa waktu ke depan tumbuhan-tumbuhan itu tinggal menjadi bagian dari katalog museum atau herbarium.
“Apakah Kementerian LHK yang diharapkan menjadi tonggak terbesar pelestarian kehutanan di Indonesia, sudah mempertimbangkan rekomendasi otoritas keilmuan dalam menyusun peraturan pemerintah tersebut?” kata Ragil Satriyo dalam petisi yang dibuatnya.
Terpisah, Direktur Media dan Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra mengungkapkan, alasan utama Auriga ambil peran dalam membuat petisi ini adalah untuk mendorong pemerintah, khususnya KLHK, agar mengembalikan status perlindungan ulin dan tumbuhan-tumbuhan lain yang terhitung langka dan terancam. Seperti yang diatur dalam PermenLHK sebelumnya.
“Kita ingin Menteri KLHK mencabut PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2016. Kemudian mengembalikan ulin dan tumbuhan lainnya itu ke dalam daftar jenis tumbuhan yang dilindungi,” kata Syahrul Fitra, Sabtu (7/3/2020).
Syahrul bilang, Auriga sudah sejak lama memantau peredaran kayu yang ditebang dari hutan alam, termasuk terhadap ulin. Penebangan ulin di hutan alam selama ini terbilang tinggi. Hal itu semestinya jadi alasan bagi KLHK untuk lebih memperketat aturan eksploitasi ulin, bukan sebaliknya.
“Yang terjadi malah status perlindungan terhadap ulin dicabut. PermenLHK ini memuluskan para pengusaha untuk menebang ulin. Apalagi ulin ini nilai ekonominya tinggi sekali.”
Lebih jauh Syahrul mengatakan, sejak awal 2019, tak lama setelah PermenLHK Nomor P.106 Tahun 2018 terbit, Auriga melakukan pemantauan penebangan ulin yang dilakukan oleh perusahaan secara lebih mendalam. Hasilnya penebangan ulin terjadi secara sporadis di berbagai daerah di kalimantan.
“Hasil pantauan kita, banyak perusahaan yang menebang ulin. Khususnya di kalimantan. Saat ulin dilindungi saja banyak yang melakukan pembalakan, apalagi sekarang tidak lagi dilindungi.”