Perlindungan Ulin Dicabut demi Tata Niaga Kayu? Ini Kata KLHK
Penulis : Redaksi Betahita
Biodiversitas
Selasa, 10 Maret 2020
Editor : Redaksi Betahita
Betahita.id – Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, belakangan menimbulkan polemik karena kontroversial.
Pencabutan status perlindungan ulin atau Eusideroxylon zwageri dan 9 tumbuhan lain itu dinilai kental dengan kepentingan bisnis tata niaga kayu atau kepentingan pengusaha kayu dan mengabaikan aspek konservasinya. Itu terlihat dari alasan KLHK yang menggunakan data-data berasal dari perusahaan sebagai pertimbangan ulin dan tumbuhan lain dikeluarkan dari daftar dilindungi.
Baca juga: Ini Penyebab Menteri Siti Seharusnya Melindungi Ulin
Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Hilman Nugroho, yang saat PermenLHK P.106 Tahun 2018 terbit masih aktif menjabat, menampik tudingan yang menyebut PemnenLHK P.106 tersebut terbit karena desakan dari pengusaha.
Namun Hilman mengatakan alasan pertimbangan dikeluarkannya ulin dan 9 tumbuhan lainnya dari daftar jenis tumbuhan yang dilindungi didasarkan atas data dan fakta dokumen laporan kayu 10 tahun terakhir.
“Tidak pernah ada desakan (dari perusahaan). Kebijakan berdasarkan data dan fakta ITSP, cruising, IHMB, RKT dan realisasi LHP selama 10 tahun terakhir,” kata Hilman Nugroho, Sabtu (7/3/2020).
Data dan fakta laporan kayu yang dimaksud Hilman itu adalah data inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP), data survei potensi kayu (cruising), inventarisasi hutan menyeluruh berkala (IHMB), rencana kerja tahunan (RKT) dan realisasi laporan hasil produksi (LHP). Data-data tersebut diketahui seluruhnya merupakan laporan-laporan yang disampaikan perusahaan-perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam (HA) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada KLHK.
Namun kenyataannya sejumlah tumbuhan sangat langka dan endemis juga ikut dikeluarkan dari daftar tumbuhan dilindungi. Seperti Dipterocarpus littoralis, Dipterocarpus cinereus dan Vatica bantamensis. Karena 3 spesies tersebut diduga kuat tidak berada di dalam wilayah pengusahaan perusahaan pemegang IUPHHK-HA atau HPH. Dengan kata lain data keberadaan 3 jenis tumbuhan itu tidak masuk dalam data ITSP, IHMB, cruising, RKT dan LHP perusahaan manapun.
Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, Ketua Forum Pohon Langka Indonesia (FPLI), menuturkan, pertimbangan data dan fakta ITSP, IHMB, cruising, RKT dan LHP yang digunakan KLHK untuk mencabut perlindungan ulin dan 9 tumbuhan lain itu, mungkin bisa berlaku untuk beberapa jenis tumbuhan. Namun tidak berlaku bagi Dipterocarpus littoralis, Dipterocarpus cinereus dan Vatica bantamensis. Karena 3 jenis tumbuhan itu tidak berada di dalam wilayah pengusahaan perusahaan kayu.
Dipterocarpus littoralis atau Palahlar nusakambangan diketahui hanya berada di Pulau Nusakambangan dan di pulau tersebut tidak terdapat wilayah pengusahaan perusahaan kayu. Hal yang sama juga berlaku bagi Dipterocarpus cinereus atau Palahlar mursala yang hanya ada di suatu pulau kecil bernama Mursala, Provinsi Sumatera Utara. Dipterocarpus cinereus ini di dunia hanya tersisa 3 batang pohon dewasa saja dan tidak berada di dalam wilayah pengusahaan perusahaan kayu.
“Sementara Vatica bantamensis atau Kokoloceran hanya ada di Taman Nasional Ujung Kulon. Masa iya di taman nasional ada HPH? Kalau untuk tumbuhan lain, mungkin alasan pertimbangan KHLK itu bisa digunakan, tapi tidak untuk 3 jenis tumbuhan ini,” kata Prof. Dr. Tukirin, Senin (9/3/2020).
Selain 3 jenis tumbuhan tersebut. ahli botani pensiunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini juga menyangsikan data dan fakta ITSP, IHMB, cruising, RKT dan LHP yang dilaporkan perusahaan bisa dijadikan patokan untuk mencabut status perlindungan terhadap ulin. Karena, perusahaan HPH umumnya tidak memasukkan data tegakan ulin di wilayah pengusahaan ke dalam domumen ITSP, IHMB, RKT, LHP dan dokumen lain yang wajib dilaporkan perusahaan kepada KLHK.
“Ulin memang ada di HPH. Tapi karena dulu dilindungi, ulin jadi tidak masuk dalam dokumen-dokumen ITSP, RKT dan sebagainya. Saya ragu alasan-alasan KLHK itu bisa digunakan untuk mengeluarkan ulin dari daftar dilindungi.”
Prof. Dr. Tukirin menambahkan, dalam membuat kebijakan penting terhadap nasib tumbuhan yang dilindungi itu, KHLK semestinya melakukan konsultasi publik terlebih dahulu. Dengan otoritas keilmuan, LIPI misalnya dan juga LSM (lembaga swadaya masyarakat).
“Harusnya dikonsultasikan dulu, minta pendapat LIPI dan LSM. Kira-kira bagaimana kalau tumbuhan-tumbuhan ini dikeluarkan dari daftar dilindungi? Kira-kira berbahaya tidak kalau dikeluarkan dan lain sebagainya.”
Terpisah, Muhammad Ichwan, Juru Kampanye Hutan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan keluarnya PermenLHK No. P.106 tahun 2018 itu, Sebab PermenLHK dikhawatirkan membuka ruang bagi para pemburu kayu-kayu eksotis bernilai ekonomi tinggi untuk memperdagangkannya secara masif yang pada akhirnya mengancam keanekaragaman hayati.
“Pemberlakuan PermenLHK No P.106 Tahun 2018 ini cenderung menguatkan kepentingan tata niaga kayu dan mengabaikan konservasi. KLHK membuat aturan tanpa keterbukaan informasi dan kajian komprehensif, ilmiah, serta tidak memperhatikan aspek perlindungan, pengawetan maupun pemanfaatan jenis-jenis satwa dan tumbuhan dilindungi,” ujar Ichwan, Senin (9/3/2020).
Pascaperaturan tersebut diberlakukan, imbuh Ichwan, JPIK melakukan penelusuran aliran kayu ulin yang berada pada konsesi HPH maupun pada kawasan hutan yang dilindungi. Khususnya di Pulau Kalimantan. Selain itu ada indikasi kegiatan illegal loging pada Kawasan hutan yang berada di Provinsi Kalimantan Barat dimana jenis kayunya adalah kayu ulin
“Sejak diberlakukannya PermenLHK P.106 Tahun 2018 tersebut, pemerintah dalam hal ini KLHK belum mengeluarkan data pasti jumlah stok kayu ulin dalam tegakan. Semestinya KLHK transparan dan membuka data atau informasi tersebut, agar publik secara luas bisa melihat dan mengetahui jumlah sebenarnya. Sementara itu, LIPI saja saat ini masih berpendapat lain.”