Terumbu Karang Tinggal 6 Persen, Terancam Destructive Fishing

Penulis : Redaksi Betahita

Kelautan

Senin, 23 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

BETAHITA.ID -  Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengatakan, kondisi terumbu karang Indonesia terus mengalami tekanan akibat kegiatan destruktif penangkapan ikan dan perubahan iklim. Hal itu diperoleh dari hasil monitoring yang dilakukan DFW Indonesia baru-baru ini.

“Kondisi terumbu karang Indonesia mengkhawatirkan, karena kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih marak terjadi,” kata Koordinator Nasional DFW Moh Abdi Suhufan melalui siaran pers, Kamis, 19 Maret 2020.

Menurut hasil pemantauan, perairan konservasi di wilayah timur banyak menjadi korban. Di antaranya, Laut Sawu Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Takabonerate Selayar, perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan, perairan Maluku serta di perairan Sulawesi Tenggara.

“Pada perairan Buton Utara di Sulawesi Tenggara, dalam tiga bulan ini terjadi 10 kali kejadian pengeboman ikan yang dilaporkan oleh masyarakat” tukas Abdi.

Dok.kkp.go.id

Baca Juga: Gakkum KLHK Perkuat Pengamanan Kawasan Konservasi TN Komodo

Abdi menambahkan, hingga saat ini belum ada sistem terpadu dari tingkat desa sampai pusat terkait pelaporan dan penegakan hukum terhadap pelaku destructive fishing. Akibatnya, pelaku leluasa bertindak. Padahal, menurut data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, kondisi terumbu karang Indonesia saat ini tinggal 6,56 % dalam kondisi baik. Sementara itu, 35,18& dalam kondisi jelek.

Namun, desa bisa melakukan pengawasan seperti diatur dalam Peraturan Menteri  Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa tahun 2020. Kata Abdi, peraturan tersebut membolehkan alokasi penggunaan dana desa untuk kegiatan pelestarian lingkungan hidup.

“Sesuai pasal 8 huruf Permendesa tersebut, pemerintah desa dapat melakukan kegiatan pengadaan, pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana lingkungan alam, termasuk pengawasan sumber daya terumbu karang yang ada di desa” kata Abdi.

Sementara itu, peneliti DFW-Indonesia, Laode Gunawan Giu, menyoroti efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut yang dikelola oleh pemerintah daerah.

“Dibandingkan dengan kawasan konservasi laut yang dikelola oleh pemerintah pusat, pengelolaan 10,82 juta hektare kawasan konservasi laut yang dikelola oleh daerah kondisinya sangat memprihatinkan” kata Gunawan.

Menurut Gunawan, hal itu terjadi sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 23/2014 yang mengatur pemusatan kewenangan pengelolaan ke tingkat provinsi. Sehingga, konservasi laut daerah yang awalnya diinisiasi oleh pemerintah kabupaten tidak kunjung mendapat perhatian.

“Banyak yang tidak terurus karena tidak mendapat alokasi anggaran pengelolaan dari pemerintah provinsi” kata Gunawan.

Oleh karena itu, Gunawan menyarankan agar pemerintah provinsi tidak meninggalkan dan perlu secara signifikan mengambil peran dalam pengelolaan kawasan konservasi laut.

Baca Juga: Indonesia Terbitkan Dokumen NDF Hiu Lanjaman dalam Upaya Konservasi

“Ada mandat SDGs dan pemerintah provinsi terlibat dan berkontribusi mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan ke-14 yaitu menjaga ekosistem laut” kata Gunawan.

Saat ini terdapat kawasan konservasi laut seluas 22,68 juta hektare yang tersebar di seluruh perairan Indonesia.