Peneliti Rangkong Gading Diganjar Whitley Awards 2020

Penulis : Gilang Helindro

Konservasi

Senin, 04 Mei 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Rangkong Indonesia diganjar penghargaan Whitley Awards 2020, atau yang dikenal juga sebagai “Green Oscar”. Penghargaan itu diberikan untuk program penelitian dan konservasi burung rangkong gading dan rangkong lainnya di Indonesia. 

Baca juga: Rangkong Gading, Burung Khas Kalimantan Barat di Ambang Kepunahan

Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa, salah satu pemenang tersebut adalah peneliti dan konservasionis asal Indonesia terpilih atas program Saving The Last Stronghold of The Helmeted Hornbill atau Penjaga Rangkong Gading.

Tahun 2017 Rangkong Indonesia mulai membangun kerjasama dengan masyarakat adat suku Iban di dusun Sungai Utik, Desa Batu Lintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa, Salah satu pemenang tersebut adalah peneliti dan konservasionis asal Indonesia terpilih atas program Saving The Last Stronghold of The Helmeted Hornbill atau Penjaga Rangkong Gading.

Kegiatan di Sungai Utik dimulai dengan mengajak beberapa pemuda untuk mengamati keberadaan burung rangkong gading dan beberapa jenis rangkong lainnya di hutan adat mereka yang luasnya sekitar 9.000 hektare.

Pemberdayaan masyarakat juga dilakukan dengan membekali keterampilan, pengetahuan serta mendorong pelestarian berbasis ekowisata yakni pengamatan rangkong dan habitat sarangnya, sehingga keberadaan rangkong gading justru dirasa lebih berharga ketika hidup daripada mati.

Kemudian sejak tahun 2018, dengan dukungan Yayasan KEHATI – TFCA Kalimantan Yoki bersama tim Rangkong Indonesia melakukan survey populasi dan okupansi serta merekam kondisi terkini rangkong gading di beberapa wilayah di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Untuk memperluas diseminasi informasi, tim Rangkong Indonesia juga melakukan kampanye edukasi kepada publik.

“Penghargaan ini sejatinya ditujukan kepada masyarakat yang tinggal berdampingan bersama rangkong gading dan rangkong lainnya di Kalimantan. Saya bersama Rangkong Indonesia hanya berfungsi sebagai medium untuk membantu perubahan kondisi rangkong gading di alam bersamaan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Sejatinya pelindung sejati rangkong gading adalah masyarakat,” kata Yoki.

Indonesia merupakan habitat dan populasi terbesar Rangkong gading di dunia, namun saat ini keberadaanya di alam sudah semakin langka, bahkan di beberapa tempat sudah punah.

Hilangnya hutan sebagai habitat utama dan perburuan yang masif merupakan perpaduan mematikan terhadap keterancaman rangkong gading di Indonesia.

Kehilangan rangkong gading dan 12 jenis rangkong lainnya di Indonesia menjadikan kesehatan hutan di Indonesia akan terganggu, mengingat fungsi ekologisnya sebagai pemencar biji paling efektif.

Hilangnya hutan sebagai habitat utama, minimnya upaya konservasi, dan maraknya perburuan adalah perpaduan mengerikan bagi masa depan Rangkong Gading. Berbagai jenis pohon beringin yang menyediakan makanan utama bagi Rangkong Gading dianggap tidak memiliki nilai ekonomis sehingga keberadaannya tidak pernah diharapkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 kelompok enggang dikategorikan sebagai satwa prioritas tinggi di antara kelompok burung, terutama rangkong gading (Rhinoplax vigil) yang merupakan spesies prioritas di antara kelompok enggang.

Mengingat tingginya ancaman perburuan dan perdagangan di masa lampau, konvensi internasional untuk perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar spesies terancam (CITES) sudah memasukkan rangkong gading ke dalam Appendix I semenjak tahun 1975.

Di Indonesia sendiri, mengingat fungsi ekologisnya yang sangat penting, semua jenis enggang dalam famili Bucerotidae dilindungi oleh UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1990.

Yoki menjelaskan, setiap tahunnya habitat rangkong gading di Indonesia yang berupa hutan tropis dataran rendah sampai perbukitan menghilang. Kondisi ini diperburuk dengan perburuan yang semakin meningkat dalam 5 tahun terakhir. Pada tahun 2012-2013 di Kalimantan Barat, 6000 rangkong gading dewasa mati dan diambil kepalanya.

Rute penjualan kepala Rangkong Gading ilegal

Temuan ini juga didukung dengan penyitaan 1291 paruh rangkong gading dalam rentang tahun 2012-2016 oleh pihak berwenang di Indonesia, di mana sebagian besar barang yang disita berasal dari Kalimantan Barat. Untuk burung yang memiliki perkembangbiakan yang lambat seperti rangkong gading, yang hanya menghasilkan satu anakan per tahun, perburuan dapat memberi dampak yang besar terhadap keberlangsungan populasinya di alam.

Dalam penelitiannya, Yoki mengungkapkan bahwa perburuan yang dilakukan umumnya oleh masyarakat setempat merupakan keterpaksaan ekonomi jangka pendek, padahal keindahan dan kemegahan rangkong gading bisa memberikan potensi ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat, melalui ekowisata dan pengamatan burung. “Rangkong gading lebih berharga hidup daripada mati”, katanya.