Pembukaan Sawah di Lahan Gambut Rusak Lingkungan, Tabrak Aturan
Penulis : Betahita.id
Lingkungan
Rabu, 06 Mei 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Pencetakan sawah baru seluas 900 ribu hektare di lahan basah dan gambut di Kalimantan Tengah untuk menjaga ketersediaan pangan dinilai berpotensi menimbulkan masalah lingkungan hidup.
"Rencana pemerintah untuk mencetak sawah di lahan gambut akan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan hidup dan sosial budaya," kata Direktur Eksekutif Kemitraan Laode M Syarif dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu, 6 Mei 2020.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah akan membuka 900 ribu hektare sawah sebagai lahan baru persawahan. Adapun lahan gambut yang disiapkan sekitar 300 ribu hektare.
"Pemerintah perlu belajar dari berbagai proses alih fungsi lahan gambut seperti alih fungsi menjadi areal Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit yang telah menyebabkan pengeringan terhadap jutaan hektare lahan gambut," kata Laode.
Menurut mantan Komisioner KPK tersebut, pengeringan lahan gambut telah menimbulkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) setiap tahun, menyebabkan kerugian besar secara ekonomi, kesehatan, dan sosial. Kerugian dari kejadian Karhutla pada 2015 mencapai Rp221 triliun sementara kerugian Karhutla pada 2019 mencapai Rp73 triliun.
Kerugian tersebut di luar penghitungan kerugian sektor kesehatan, pendidikan, kehilangan plasma nutfah, emisi karbon dan lainnya.
Pencetakan sawah di lahan gambut menurut Laode juga tidak sesuai dengan sejumlah aturan yang sudah ditepakan antara lain Peraturan Pemerintah (PP) No 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Peraturan Presiden (Perpres) No 1 tahun2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut dalam rangka pemulihan ekosistem lahan gambut dan Instruksi Presiden No 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Selain tidak sinkron dengan kebijakan Pemerintah sendiri, pencetakan sawah di lahan gambut akan menghambat pencapaian komitmen internasional Indonesia terkait dengan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030 sebagai bagian dari "Paris Agreement" yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
"Jangan sampai rencana pencetakan sawah di lahan gambut menimbulkan permasalahan baru. Kita berkewajiban mengingatkan pemerintah, jangan sampai kegagalan pencetakan sawah di lahan gambut di masa lalu terulang kembali," tambah Laode.
Laode mengusulkan sejumlah hal untuk mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi COVID-19 dan musim kering.
"Pertama mengoptimalkan pemanfaatan lahan-lahan kritis (degraded land) untuk produksi pertanian pangan melalui program Reforma Agraria, pemerintah dapat mengidentifikasi lahan-lahan HGU yang terlantar atau tidak dimanfaatkan dan memanfaatkannnya sebagai lahan pertanian," kata Laode.
Lahan-lahan itu dapat didistribusikan kepada masyarakat dan diolah dengan penyediaan bantuan sarana produksi pertanian dan pendampingan teknis.
Kedua, pemerintah dapat mempercepat program Perhutanan Sosial (PS) dengan mendistribusikan izin pengelolaan kepada masyarakat.
Dari 12,7 juta hektare peta indikatif areal Perhutanan Sosial, pemerintah baru memberikan izin sekitar 3,2 juta hektare dan ada potensi lebih dari 9 juta hektare lainnya yang dapat direalisasikan padahal lahan-lahan hutan dapat dikelola masyarakat untuk menghasilkan berbagai bahan pangan seperti padi gogo, jagung, sorgum, ubi dan ketela dan lain-lain.
"Ketiga, pemerintah dapat mengintensifkan skema kemitraan antara perusahaan pemegang konsesi (hutan dan perkebunan), dimana perusahaan diwajibkan menyediakan sebesar 20 persen dari konsesinya untuk masyarakat sekitar," tambah Laode.
Pada lahan-lahan tersebut, perusahaan bisa memberikan bantuan asistensi teknis dan sarana produksi pertanian bagi masyarakat sehingga dapat dioptimalkan untuk menghasilkan bahan pangan.
Keempat, pemerintah harus menghentikan konversi lahan sawah di seluruh Indonesia dan menggalakkan kembali diversifikasi pangan, karena secara tradisional masyarakat Indonesia memiliki sejumlah alternatif makanan pokok, sehingga memaksakan seluruh rakyat Indonesia tergantung pada beras tidak sesuai dengan tradisi dan kearifan lokal Indonesia yang sangat majemuk.
"Ketahanan pangan nasional tidak dapat digantungkan hanya pada pencetakan sawah baru," kata Laode M Syarief.