Hukuman pada Dilik Dkk karena Garap Lahan Dinilai Tak Adil
Penulis : Gilang Helindro
Hukum
Sabtu, 30 Mei 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Vonis pengadilan terhadap tiga warga masyarakat adat asal Desa Penyang dan Desa Bangkal, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, karena menggarap lahan mereka, dinilai tidak adil dan sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan.
Baca juga: (Divonis Bersalah karena Garap Tanah Ulayat, Bongku Ajukan Banding)
Hal diungkapkan Rozieqin Fen dari Koalisi Keadilan untuk Pejuang Agraria Desa Penyang, sebuah koalisi yang terdiri dari organisasi masyarakat sipil dan pembela HAM di Kalimantan Tengah dan nasional mendukung perjuangan masyarakat di Desa Penyang untuk mendapatkan hak-haknya.
Ketiga warga masyarakat adat itu adalah Dilik, 27 tahun, almarhum Hermannus, 35 tahun, dan James Watt, 47 tahun. Ketiganya ditangkap atas dasar tuduhan dan dikenakan pasal tentang pencurian buah sawit. Bahkan James Watt dikenai pasal berlapis karena dituduh menyuruh Dilik dan Hermanus mencuri buah sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) yang lokasinya diyakini berada di lahan milik masyarakat. Ketiganya ditahan sejak awal Maret 2020.
Dilik, James Watt dan Hermanus (almarhum) yang menanggung akibat sengketa ini. Pada persidangan awal Mei 2020 lalu, Dilik dan James Watt dikenai pidana selama 1 tahun penjara dan denda 5 ribu rupiah.
Dalam petisi yang dibuat F Rozieqin Fen, berjudul Hentikan Kriminalisasi Pejuang Lingkungan dan Agraria, sampai 29 Mei 2020 pukul 23.30 WIB ditandatanggani 125 penandatangan.
Dalam keterangan resmi Polda Kalteng lewat laman Facebook menyatakan bahwa kasus ini merupakan murni pencurian ataupun tindakan kriminalitas dan tidak ada kaitanya dengan konflik sengketa lahan antara masyarakat dan PT. HMBP.
Hermanus, Dilik dan James Watt adalah tahanan titipan Kejaksaan Negri Kotawaringin Timur. Karena pandemi #covid19 mereka dititipkan ke Polres Kotim yang sudah melebihi kapasitas.
Pada sidang pertama, kondisi kesehatan salah satu tersangka, Hermanus, memburuk hingga harus menggunakan kursi roda. Hermanus memang sudah sakit-sakitan sejak awal. Ia tak bisa mendapatkan pengobatan medis selama ditahan dan kondisinya memburuk. Pada 26 April 2020, akhirnya Hermanus menghembuskan nafas terakhir di dalam bui.
Hermanus meninggalkan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil dan seorang isteri. Sepeninggal Hermanus, isteri dan orang tuanya mengalami kesulitan, karena selama ini istrinya tak bekerja dan Hermanus lah yang menjadi tulang punggung keluarga.
Kasus sengketa lahan antara warga dan PT HMBP ini sebenarnya sudah lama berlangsung, sejak tahun 2006. Warga desa sudah melakukan berbagai upaya untuk menuntut kembali tanah mereka dari PT HMBP.
"Kami melihat ada kejanggalan dalam kasus ini, mulai dari penangkapan hingga proses peradilan. Pasalnya ketiganya ditangkap dengan tuduhan pencurian buah kelapa sawit milik perusahaan, namun kebun sawit tempat kejadian perkara tersebut justru berada di luar Kawasan Hak Guna Usaha dan ijin perusahaan," kata Rozieqin Fen.
PT. HMBP mengantongi izin lokasi seluas 8.200 hektar. Tapi mereka diduga menanam di luar lokasi dimana izin HGU diberikan. Dari lahan seluas 1.865,8 hektar yang ditanami, 117 hektar merupakan lahan warga Desa Penyang, 22,8 hektar milik Dinas Perkebunan Kotim, 1.726 hektar kawasan hutan (HP dan HPK)
"Data di atas menunjukkan bahwa PT HMBP beroperasi di lahan yang bukan miliknya dan jelas di luar kawasan yang izinnya ia kantongi. Ini adalah pelanggaran hukum," katanya.
"Menurut kami, sengketa perdata seperti sengketa lahan ini seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sehingga proses pidana bisa dilakukan."
"Kami hanya meminta sedikit keadilan untuk almarhum Hermanus, juga untuk Dilik dan James Watt atas perjuangannya membela dan mencari keadilan atas hak tanah adatnya selama ini. Dukung petisi ini, mari kita sama-sama meminta agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah."
Roni Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara mengatakan, kasus ini menarik karena sebenarnya sawit yang dipanen itu di luar kawasan HGU. Kawasan ini masih bermasalah, tapi pemerintah daerah sudah mengeluarkan rekomendasi kalau itu tidak masuk HGU.
"Jadi seharusnya perusahaan tidak berhak menyatakan itu sebagai hak miliknya," katanya saat dihubungi, Jumat 29 Mei 2020.
Roni menjelaskan, bahwa polisi dan kejaksaan pun seharusnya sebelum melanjutkan proses hukum, melihat dan menganalisis terkait dengan kepemilikan lahan tersebut.
Roni menegaskan, jika perusahaan tidak mampu menunjukkan kepemilikan, seharusnya kasus ini tidak lanjut dan disarankan untuk diselesaikan dengan perdata dulu perihal kepemilikan.
"Karena syarat dalam penggunaan pasal pencurian dan UU Perkebunan ya harus didasari hak kepemilikan terlebih dahulu," ungkapnya.