Patokan Harga Batubara untuk Tariff Adjustment, Siapa Menang?
Penulis : Hendrik Siregar
Kolom
Senin, 08 Juni 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Harga minyak turun, harga batu bara turun. Tapi tarif dasar listrik tak ikut turun, mskipun kedua komoditas itu telah menjadi komponen perhitungan menetapkan penyesuaian tarif (tariff adjusment) tenaga listrik. Per Oktober 2019, harga patokan batu bara ditambahkan sebagai faktor penghitung tarif tenaga listrik melalui Peraturan Menteri (Permen) 19 tahun 2019. Sebelumnya, inflasi, nilai tukar mata uang (dollar) dan ICP (Indonesiaan Crude Price) sebagai faktor penghitung.
Bulan Mei 2020, seharusnya sudah ada penyesuaian tarif, seperti tertuang dalam Permen 19/2019. Tapi sampai dengan bulan Juni 2020, belum ada tanda-tanda penyesuaian. Padahal, harga acuan batu bara Indonesia dan harga batu di pasar Internasional terus mengalami penurunan sejak Pebruari. Begitu pun dengan harga minyak internasional, terjun bebas saat wabah corona meluas. Setidaknya ada penurunan tarif karena sumber bahan energi menjadi murah.
Tentu kita akan bertanya-tanya, mengapa tidak ada penyesuaian tarif. Sama seperti pertanyaan atas harga BBM yang tak juga turun, tatkala harga minyak dunia anjlok. Meski 2 faktor penghitungnya mengalami penurunan harga. Apakah pemerintah saat ini sangat fokus menangani wabah Covid-19? Sehingga lupa dengan urusan lain seperti tagihan listrik, padahal rakyat juga yang diurus. Dan listrik pun saat ini telah menjelma menjadi kebutuhan mendasar bagi rakyat. Listrik pun dijadikan sebagai patokan untuk kenaikan harga-harga bahan pokok, selain harga BBM.
Atau pemerintah dan PLN sengaja tidak melakukan penyesuain tarif, menunggu harga batu bara dan minyak kembali di atas harga acuan yang ditetapkan. Tentu, bila opsi itu yang akan dilakukan, pemerintah menampakkan wajah sesungguhnya yang lebih mengedepankan keuntungan ketimbang memastikan kebutuhan rakyat terpenuhi. Dalam situasi pandemi, rakyat golongan kecil sedang kencang-kencang ikat pinggang. Jika penyesuaian tarif dapat meringankan biaya tagihan, maka bisa disebut pemerintah berada diposisi rakyat. Meskipun, pemerintah menggratiskan pelanggan listrik bersubsidi, 400 VA. Itu layaknya obat-obat penenang lainnya, seperti BLT.
Kini telah sampai di pertengahan tahun 2020, belum terlihat ada tanda-tanda penyesuaian tarif. Sementara harga batu bara dan minyak mulai kembali merangkak naik. Amat disayangkan jika pemerintah kemudian melakukan penyesuaian setelah harga batu bara dan minyak telah diatas HAM dan ICP, barang tentu penyesuaiannya akan lebih mengarah kepada kenaikan ketimbang turun. Semua pelanggan tak kecuali golongan industri tercekik di saat krisis kesehatan dan ekonomi yang melanda dunia saat ini. Seharusnya, pemerintah mempertimbangkan untuk semua golongan pelanggan mendapat keringanan dengan melakukan penyesuaian tarif.
Kemenangan Pengusaha Batu Bara
Data menunjukkan bahwa sekitar 49 persen pembangkit listrik terpasang adalah pembangkit listrik batu bara (PLTU). Oleh karenanya, pemerintah memasukkan harga patokan batu bara sebagai faktor penghitung tarif tenaga listrik untuk melakukan penyesuaian. Sementara posisi kedua pembangkit listrik adalah pembangkit listrik tenaga gas, sekitar 30 persen, tetapi harga acuan gas tidak masuk sebagai faktor penghitung. Malahan minyak tetap dipertahankan, faktanya pembangkit yang menggunakan BBM saat ini tinggal 7 persenan.
Tidak bermaksud untuk mendorong harga acuan gas ditambahkan atau mengantikan harga minyak, lebih mempertanyakan batu bara. Batu bara bukanlah sumber energi listrik masa depan, itu tak bisa dibantah meskipun pendukung batu bara, terus menerus berkampanye soal green coal dan lain-lain. Semestinya, faktor-faktor penghitung dari sumber energi bersih dan terbarukan telah ditambahkan sebagai proses transisi dan menuju going renewable.
Masuknya harga patokan batu bara menimbulkan kesan bahwa pemerintah menggelar karpet merah bagi pengusaha batu bara - pertambangan maupun pembangkit - memberikan rasa aman bagi pengusaha, bahwa batu bara akan terus digunakan sebagai penyedia listrik nasional. Ada beberapa perusahaan besar yang melebarkan sayap usahanya tak hanya di hulu, juga ke hilir. Jadi tak hanya menggali batu bara, tapi juga membangun pembangkit listrik. Perusahaan yang melebarkan usahanya itu adalah top produsen batu bara di Indonesia, seperti Adaro dan Berau. Misalnya, Berau dengan induk perusahaannya SinarMas, membangun PLTU di Kalteng dan Jambi. Atau Adaro membangun PLTU di Cirebon.
Memang terkesan memaksakan bahwa ada hubungannya dengan kemauan perusahaan tambang batu bara. Tapi, dengan situasi dunia saat ini sedang mendorong peralihan sumber energi, tentu pengusaha tambang butuh kepastian konsumen yang akan membeli batu baranya. Setidaknya selama sisa tahun produksinya, dan selama PLTU beroperasi mereka tetap men-supply, meski tidak ekspor.
Di periode ke-2 Presiden Joko Widodo, muncul stereotip bahwa pemerintahannya sangat dekat dan mengikuti keinginan pengusaha batu bara. Masuknya harga patokan batu bara, skor pertama kemenangan pengusaha tambang batu bara. Kalau bicara jangka panjang, semestinya patokan harga energi terbarukan yang telah dimasukkan dalam Permen.
Skor menjadi 2-0, dengan disyahkannya RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba). Setelah mendapat insentif atas patokan harga, mereka juga mendapat kepastian hukum untuk status kontrak. Ada 8 perusahaan besar (PKP2B) akan berakhir kontraknya, dan mereka juga adalah produsen terbesar batu bara. Juga sebagai pemasok terbesar untuk kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation). Dua hal itu, menampakkan wajah sesungguhnya pemerintahan hari ini. Bahwa tidak ada kesungguhan untuk segera beralih ke energi terbarukan. Dan tunduk mengikuti keinginan pengusaha batu bara.
Hendrik Siregar
Deputi Program Yayasan Auriga Nusantara