Vonis Bongku, Preseden Buruk Penerapan UU P3H
Penulis : Roni Saputra
Kolom
Selasa, 09 Juni 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Senin, 18 Mei 2020 hari yang menentukan bagi Bongku sejak ia ditangkap pada November 2019. Harapan Bongku hanya satu, bisa kembali berkumpul bersama keluarga. Namun, harapan itu sirna, karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis menyatakan Bungku bersalah dan harus mendekam di penjara selama 1 (satu) tahun serta membayar denda ke negara sebesar Rp. 200 juta rupiah, bila tidak dibayar, maka kurungannya ditambah 1 (satu) bulan lagi.
Vonis tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim karena Bongku, yang merupakan anggota masyarakat adat Sakai di Suluk Bongkal, dinyatakan bersalah menebang pohon pada areal konsesi PT Arara Abadi. Hal ini membuat rasa keadilan terusik, karena bagi Bongku, areal yang sama sebenarnya adalah ulayat adatnya dan dia berhak untuk menanam ubi di tanah itu. Terlebih lagi, sudah banyak preseden yang seharusnya menyebabkan peristiwa seperti Bongku tidak dikriminalisasi. Di antaranya kasus yang dialami oleh Satumin di Banyuwangi dan Jamadi di Watansoppeng.
Majelis hakim yang menyidangkan perkara Satumin dan Jamadi menyatakan “orang perseorangan yang dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang juga disematkan pada dakwaan Bongku sebagai orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia. Terorganisasi dimaknai sebagai kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Baik Satumin maupun Jamadi terbukti tidak melakukan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum secara terorganisasi, mereka melakukan sendiri-sendiri, dan mereka pun tinggal dekat dengan kawasan. Pertimbangan yang sama juga seharusnya dilekatkan pada kasus Bongku, karena selama persidangan terbukti bahwa ia tidak terorganisir dan tidak memiliki tujuan untuk melakukan perusakan hutan. Bongku hanya ingin menghidupi keluarganya dengan membuka lahan untuk bertanam ubi di kawasan ulayat.
Hukum di Indonesia memang mensyaratkan hakim harus independen dalam menjatuhkan putusan. Keyakinan Hakim hanya dapat dipengaruhi oleh minimal 2 (dua) alat bukti, namun demikian tidak ada pula larangan bagi hakim untuk merujuk pada putusan-putusan hakim terdahulu.
Kalaulah hukum di Indonesia mensyaratkan Hakim hanya sebagai corong undang-undang, maka ketika UU yang menjerat Bongku dibaca secara lengkap dan menyeluruh, dapatlah dipahami jika UU No. 18 Tahun 2013 itu sejatinya memberikan ruang bagi masyakarat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan untuk melakukan perladangan secara tradisional untuk keperluan sendiri dan bukan untuk tujuan komersial.
Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi pun dalam Putusan Perkara No. 95/PUU-XII/2014 memberikan pengecualian terhadap perlakuan tindak pidana sektor kehutanan kepada masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentunya sebagai penegas jaminan perlidungan masyarakat adat yang diatur dalam Pasal 18 UUD 1945.
Sejatinya, aturan hukum di ataslah yang dipakai hakim saat menjalankan peran sebagai corong undang-undang (bouche de la loi). Sehingga apa yang disampaikan oleh Gustav Radbruch, cendikia hukum dari Jerman tentang tujuan hukum akan tercapai dengan sempurna.
Sayang seribu sayang, Majelis Hakim yang menyidangkan Bongku berkata lain, Bongku tetap bersalah dengan mendalilkan Pasal 11 ayat (4) UU No. 18 Tahun 2013 sebagai alasan penguat menjerat Bongku. Pasal itu mengatakan “Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Penggunaan Pasal ini sebagai pertimbangan dalam putusan Bongku dapat dinilai sebagai satu kekeliruan, karena tidak ada kaitan antara tindakan yang didakwakan kepada Bongku dengan norma yang diatur dalam pasal tersebut.
Bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No. 95/PUU-XII/2014 juga menganulir frasa tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial. Frasa yang sama yang dipakai oleh Majelis Hakim dalam pertimbangan Putusan Bongku. Putusan Bongku, memperjelas kekhawatiran publik luas bahwasanya UU ini akan dipakai sebagai instrumen untuk mengkriminalisasi masyarakat.
Walau norma dalam UU P3H boleh disebut agak lebih baik dibanding undang-undang sektoral lain di sumber daya alam dalam hal menjerat korporasi sebagai pelaku perusak hutan, inkonsistensi antar norma dalam UU P3H dan waktu penyidikan yang terlalu singkat, menyiratkan bahwa pemidanaan terhadap korporasi yang diatur oleh UU P3H sekedar basa basi ke dunia internasional bahwa Indonesia telah menerapkan pidana korporasi di sektor kehutanan. Padahal kenyataannya belum tampak batang hitung korporasi yang dijerat dengan UU ini di Pengadilan.
Kini, Bongku telah mengajukan banding atas putusan PN Bengkalis. Harapan Bongku tentu kembali terbuka untuk mendapatkan keadilan. Pengadilan Tinggi Riau menjadi harapan baru Bongku untuk ditegakkannya keadilan. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Riau harapannya mampu melihat dan mempertimbangkan UU No. 18 Tahun 2013 secara utuh termasuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta melihat kasus Bongku secara jernih dan independen.
Sebagai catatan pendukung, PT Arara Abadi adalah perusahaan hutan tanaman industri yang menguasai ratusan hektar hutan di Riau. Sebagian besar wilayahnya masuk klaim masyarakat adat suku Sakai. Areal izin perusahaan ini hampir tiap tahun terbakar, seperti yang terjadi tahun lalu.
Jika dibandingkan kasus Bongku, mengusut perusahaan yang diduga tak mampu menjaga konsesinya dari kebakaran jauh lebih mendatangkan kemanfaatan. Bongku adalah gambaran pahitnya perjuangan masyarakat untuk melawan ketimpangan ekonomi dan ketimpangan atas akses lahan.
Roni Saputra
Direktur Hukum Yayasan Auriga