Mengurangi Sampah Makanan Selama Pandemi
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Selasa, 09 Juni 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Naiknya sampah makanan selama pandemi virus corona menjadi salah satu masalah. Pasalnya, limbah makanan dapat melepas karbondioksida dan memperburuk kesehatan lingkungan hidup di sekitar kita.
Menurut CEO dan Founder Garda Pangan Eva Bachtiar, Indonesia merupakan salah satu negara pembuang makanan terbesar di dunia. Laporan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian pada Januari 2020 mengungkap, Indonesia masuk dalam daftar negara yang menyia-nyiakan banyak makanan.
Data menunjukkan, satu orang dapat membuat 300 kilogram makanan per tahun. Jika ditotal, orang Indonesia membuang sampah makanan sebanyak 1,3 juta ton dalam setahun. Padahal, makanan yang menumpuk di TPA dapat mengeluarkan gas metana. Jenis gas ini adalah emisi gas rumah kaca yang 21 kali lebih berbahaya dibandingkan karbondioksida.
"Ini tentu berkontribusi pada perubahan iklim. Apalagi selama pandemi, sampah makanan rumah tangga meningkat secara tajam," kata Eva dalam diskusi Zigzag, sebuah inisiasi perempuan dan sumber daya alam, yang digelar Auriga, pekan lalu.
Eva mengatakan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan selama di rumah saja. Contohnya, mengurangi sampah makanan dengan makan secukupnya.
"Terapkan mindful buying dibandingkan panic buying. Upayakan agar disiplin dalam belanja sesuai dengan catatan kebutuhan saat itu," ujarnya.
Selain itu, mendaur ulang makanan juga dapat menjadi solusi mengurangi sampah makanan. Menurut Eva, banyak sampah makanan yang bisa diubah menjadi pupuk. Misalnya, cangkang telur.
“Kulit telur bisa dikumpulkan, lalu dihancurkan, dijemur dan bisa langsung dijadikan pupuk,” katanya.
Cara lainnya adalah regrow atau menanam kembali sisa makanan di rumah. Menurut Eva, kebanyakan orang langsung membuang akar daun bawang dan hanya menggunakan batangnya. Padahal, bagian akar itu bisa digunakan kembali dengan cara ditanam.
“Caranya siapkan tanah pada lahan di taman depan atau belakang rumah. Kalau tidak ada, bisa ditanam di pot. Kalau akarnya lebih dari satu, menanamnya bisa dijarak sekitar sembilan sentimeter supaya tumbuh lebih optimal,” katanya. Hal yang sama pun bisa diterapkan pada wortel dan selada.
“Cara ini dapat meminimalisir sampah makanan rumah tangga,” katanya.
Rara Sekar, musisi sekaligus pegiat perkebunan urban, menyatakan hal yang sama. Menurutnya, menanam makanan sendiri dapat menjadikan seseorang lebih apresiatif terhadap proses pengolahan makanan dari bahan mentah menjadi makanan.
“Berkebun melatih kita untuk hidup berkesadaran dan tidak konsumtif,” ujarnya.
Rara mulai berkebun sejak 2016. Aktivitas itu tak hanya menjamin ketersediaan bahan makanan, namun juga mendekatkan dirinya dengan tetangga. Menurut Rara, berkebun menjadi medium untuk berinteraksi bagi masyarakat kota yang selama ini dikenal individualistis.
“Karena kebun ada di depan rumah, jadi siapapun boleh mengambil hasilnya. Saya juga jadi sering berbagi hasil kebun dengan tetangga,” katanya.
Lewat bercocok tanam, Rara mengakui belajar menyadari tentang banyak hal. Salah satunya adalah dampak perubahan iklim. Beberapa waktu lalu, tanaman jagung di kebunnya rusak karena diterjang badai di kawasan Bogor. "Padahal, harusnya sekarang sudah masuk musim kering,” tuturnya.
Lewat pengalaman itu, Rara pun jadi memahami hubungan alam dengan manusia. Dia dapat langsung mengalami dampak dari krisis iklim yang sedang terjadi.
“Berkebun itu krusial untuk membaca hubungan alam dan manusia. Karena kita dapat mengalami krisis iklim dan lingkungan di sekitar kita,” katanya.