Limbah Beracun dari Minyak Sawit Naik, KLHK: Ada Solusinya
Penulis : Kennial Laia
Lingkungan
Senin, 29 Juni 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Jumlah limbah berbahaya dan beracun khusus spent bleaching earth (SBE) terus meningkat. Limbah SBE merupakan limbah padat B3 hasil proses penyulingan minyak sawit pada industri minyak goreng atau oleochemical. Dalam jangka panjang, limbah ini dapat mempercepat proses degeneratif pada sel tubuh manusia.
Hasil penelitian dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengungkap, setiap 60 juta ton produksi minyak sawit menghasilkan 600 ribu ton limbah SBE. Pada 2019, terdapat 778.894 ton timbulan limbah SBE di Indonesia, meningkat drastis dibandingkan dengan tahun 2017 sebesar 184.162 ton.
Direktur Jenderal PSLB3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, peningkatan jumlah limbah SBE itu merupakan dampak dari naiknya jumlah industri minyak nabati di Indonesia. Hal itu akan menjadi masalah bila tidak ditangani dengan baik.
Pasalnya, jumlah timbulan limbah SBE tidak sebanding dengan jumlah perusahaan pengelola SBE berizin, yang saat ini ada 11 perusahaan dengan kapasitas 116 ribu ton per tahun, kata Vivien.
"Gap antara limbah yang dihasilkan dengan limbah yang dimanfaatkan menyebabkan banyak SBE dibuang ilegal antara lain secara open dumping sebagai media urug," ujar Vivien dalam webinar bertema Best Practise Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth (SBE), Jumat, 26 Juni 2020.
Namun, masalah itu dapat diatasi. Menurut Vivien, sebagai limbah B3 sumber spesifik khusus, SBE termasuk ke dalam empat limbah B3 tertentu, di antaranya SBE, fly ash, slag nikel, dan steel slag.
Keempat jenis limbah tersebut dikategorikan dalam limbah dengan prosedur pengajuan pengecualian limbah B3. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri LHK nomor 10 tahun 2020 tentang Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3 yang diundangkan Mei lalu.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 Ahmad Gunawan Wicaksono menjelaskan bahwa peraturan terbaru itu meliputi pengaturan tentang tim ahli limbah B3, uji karakteristik limbah B3 untuk pengecualian dan penetapan status limbah B3, penetapan limbah B3 sebagai produk samping serta pemantauan dan pelaporannya.
Menurut Guru Besar Bidang Pengelolaan Limbah Agroindustri Universitas Lampung, Prof. Udin Hasanudin, limbah SBE dapat dimanfaatkan dalam skala laboratorium. Misalnya, limbah deolied SBE dapat diubah menjadi produk bata merah dengan teknologi hexane extraction. Limbah tersebut juga dapat dimanfaatkan dalam pembuatan katalis Char-Clay Composite yang berguna untuk mempermudah proses ozonisasi air limbah yang mengandung bahan yang sulit didegradasi.
"Limbah gas dan cairan berpotensi untuk pemanfaatan lain yang perlu dikaji lebih lanjut," tutur Prof Udin.
Bukan hanya di laboratorium, dunia usaha telah memulai pemanfaatan SBE, seperti yang dilakukan perusahaan produsen minyak sawit asal Malaysia, EcoOils, yang menerapkan Zero Waste Concept dengan produk Spent Bleaching Earth Oil (SBEO) dan Eco-Processed Pozzolan (EPP). Sementara itu di Indonesia, Grup Wilmar melakukan penelitian terkait pemanfaatan lain dari limbah SBE.
"Kami melakukan implementasi pengelolaan limbah SBE dan upaya penelitian terkait pemanfaatan SBE sebagai media tanam," kata Representatif Grup Wilmar Ramdhani.
Direktur Penilaian Kinerja Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non-B3 KLHK Sinta Saptarina Soemiarno mengatakan, pemanfaatan SBE dapat memberi kontribusi positif melalui pendekatan model circular economy, baik bagi masyarakat, Planet Bumi, perusahaan, maupun lingkungan.
Menurut Sinta, pengelolaan limbah B3 tidak harus melulu insinerasi dan landfill. Limbah SBE seperti bleaching earth baru dapat dimanfaatkan secara ekonomis dengan potensi sebagai media tanam, katalis, briket, dan produksi biodiesel. Peluang pemanfaatan limbah SBE itu semakin besar dengan dikeluarkannya Permen LHK Nomor 10 Tahun 2020.
"Kolaborasi semua pihak baik dunia usaha, perguruan tinggi, pemerintah perlu terus dilakukan seiring dengan pesatnya pembangunan, bertambahnya jumlah penduduk serta perkembangan teknologi. Kajian ilmiah perlu terus dilakukan sebagai bagian dari upaya keselarasan pertumbuhan industri dengan pelestarian lingkungan," katanya.