Asal-Usul Covid-19, dari Kelelawar sampai Teori Konspirasi

Penulis : R. Ariyo Wicaksono

Covid-19

Selasa, 07 Juli 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Beragam spekulasi tentang asal-usul virus COVID-19 bermunculan. Tak sedikit yang menduga virus yang telah menyebar menjangkiti jutaan manusia dan menyebabkan ratusan ribu korban jiwa di seluruh Dunia ini berasal dari sebuah laboratorium di Wuhan, China.

Dugaan dan tudingan laboratorium Wuhan sebagai asal muasal COVID-19 ini di antaranya muncul dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) yang saat ini mengalami pandemi COVID-19 terparah. Namun beragam tudingan AS ini terkesan spekulatif dan hanyalah asumsi ataupun teori belaka, karena tidak ada bukti kuat yang mendasarinya.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo misalnya, mengklaim memiliki bukti meyakinkan bahwa COVID-19 lahir dari sebuah leboratorium di Wuhan. "Terdapat bukti besar bahwa (COVID-19) berasal dari sana," kata Mike Pompeo, dalam wawancara dengan ABC's "This Week" dikutip dari AFP Minggu (3/5/2020). Namun, ia tidak menyebut ataupun menunjukkan bukti itu.

Sama halnya dengan Mike Pompeo, Presiden AS, Donald Trump juga mengklaim memiliki bukti virus COVID-19 yang meneror banyak negara di Dunia ini berasal dari laboratorium di Wuhan. Berbicara dalam konferensi pers pada Jumat (1/5/2020), Trump yakin virus yang telah menjangkiti lebih dari 3 juta jiwa di seluruh dunia ini berasal dari Institut Virologi Wuhan.

Ilustrasi pekerja medis Covid-19

Saat menjawab pertanyaan wartawan, Trump bahkan mengaku telah melihat sesuatu yang memberinya keyakinan virus COVID-19 berasal dari Institut Virologi Wuhan. Namun sama halnya dengan Mike Pompeo, Trump juga tidak menunjukkan bukti atau memberikan penjelasan lebih dalam tentang alasan yang mendasari keyakinannya terhadap asal muasal virus tersebut.

"Saya tidak bisa memberi tahu anda. Saya tidak diizinkan memberitahu anda itu," kata Donald Trump, dikutip dari Sky News, Jumat (1/5/2020).

Tudingan AS soal asal virus tersebut tentu saja mendapat bantahan dari pihak Pemerintah China maupun Institut Virologi Wuhan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang mengatakan secara tegas bahwa asal virus merupakan masalah ilmiah yang kompleks dan hal itu harus dipelajari oleh ilmuwan dan profesional. Geng Shuang menyarankan agar AS sebaiknya memanfaatkan waktu mereka untuk mengendalikan pandemi COVID-19 di negaranya sendiri.

Senada dengan Geng Shuang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina lainnya, Hua Chuying, pada Rabu (6/5/2020) juga mengatakan, persoalan asal virus corona yang kini menyebar dan menjadi pandemi di seluruh Dunia ini harus diserahkan kepada ilmuwan dan profesional, bukan politisi yang berbohong demi tujuan politik domestik di negaranya.

"Pompeo berulang kali berbicara tetapi tidak bisa memberikan bukti. Bagaimana dia bisa? Karena dia tidak punya," kata Hua Chuying.

Beberapa pekan sebelumnya pihak Laboratorium Keamanan Hayati Nasional Wuhan juga mengeluarkan pernyataan. Dalam sebuah wawancara dengan media pemerintah China, CGTN, Yuan Zhiming, direktur laboratorium itu mengatakan, tidak mungkin virus corona itu menyebar dari Institut Virologi Wuhan.

"Saya tahu itu tidak mungkin. Sebagai orang yang melakukan studi viral, kami mengetahui dengan jelas penelitian apa yang tengah dilakukan di institut ini dan bagaimana institut ini mengelola berbagai virus dan sampel," kata Yuan, seperti dilansir AFP, Minggu (19/4/2020).

Yuan menambahkan, tidak satupun staf di laboratoriumnya yang terinfeksi corona, meski seluruh departemen di institut itu tengah melakukan berbagai penelitian terkait virus corona.

Februari lalu, tuduhan yang sama sempat muncul. Pihak laboratorium menegaskan telah berbagi informasi terkait virus corona dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) sejak Januari 2020.

Belakangan petinggi dari Institut Virologi Wuhan akhirnya angkat bicara soal tudingan AS itu. Berbeda dengan pernyataan Geng Shuang dan Yuan Zhiming, petinggi Institut Virologi Wuhan itu mengakui bahwa laboratorium tersebut memang memiliki virus Corona.

Direktur Institut Virologi Wuhan, Wang Yanyi mengaku laboratorium Institut Virologi Wuhan menyimpan tiga jenis virus corona yang berasal dari kelelawar. Akan tetapi pihaknya menegaskan tak satupun dari tiga virus itu yang menyebabkan pandemi penyakit virus corona 2019 atau Corona-19. Lebih lanjut Wang Yanyi menyebutkan, sejak 2004 laboratoriumnya telah memperoleh dan mengisolasi beberapa virus corona yang berasal dari kelelawar.

"Sekarang kami memiliki tiga jenis virus hidup. Tetapi yang memiliki kesamaan tertinggi dengan SARS-CoV-2 (virus corona baru penyebab COVID-19) hanya 78 persen. Itu perbedaan yang jelas," Ujar Wang dalam wawancara dengan AFP.

Wuhan memang disebut-sebut sebagai tempat asal COVID-19 muncul. Terlebih di sana ada pasar basah yang memang menjual berbagai binatang untuk dikonsumsi. Meski begitu Institut Virologi Wuhan tetap menjadi sorotan dan tudingan sebagai sumber penyebar virus korona. Konon muncul dugaan yang menyebutkan salah satu peneliti Institut Virologi Wuhan yang terjangkit SARS-CoV-2 setelah bertemu dengan pasangannya di pasar basah.

Penelitian yang dipublikasikan jurnal kesehatan The Lancet menemukan 27 dari 41 kasus pertama COVID-19 memiliki riwayat kontak langsung dengan pasar basah di Wuhan ini. Akan tetapi, penelitian yang sama juga menyebutkan pasien pertama COVID-19 tidak punya riwayat dengan pasar basah Wuhan itu.

Walaupun para ahli biologi telah mengonfirmasi virus corona bukan buatan manusia, tak sedikit kalangan yang tetap yakin pandemi COVID-19 berasal dari Institut Virologi Wuhan. Bahwa telah terjadi kecelakaan yang menyebabkan virus ini keluar dari laboratorium.

Namun seperti dijelaskan Wang Yanyi, tingkat kesamaan virus corona di Laboratorium Institut Virologi Wuhan dengan SARS-CoV-2 hanya 79,8 persen saja. Sedangkan jenis virus yang menjadi pandemi di seluruh dunia saat ini memiliki tingkat kesamaan 96,2 persen dengan SARS-CoV-2. Perbedaan persentase kesamaan dengan SARS-CoV-2 inilah yang menjadi alasan Cina menolak anggapan Institut Virologi Wuhan sebagai sumber COVID-19.

Wang Yanyi juga mengatakan, Institut Virologi Wuhan tak pernah menemukan, meneliti ataupun menyimpan SARS-CoV-2, setidaknya sampai 30 Desember 2019, setelah COVID-19 menyebar di Wuhan.

"Faktanya sebagaimana orang lain, kami bahkan tidak tahu virus itu ada. Bagaimana bisa bocor dari laboratorium kami ketika kami tidak pernah memilikinya?" katanya.

Pada Mei lalu Cina mengaku telah menghancurkan beberapa sampel virus corona di awal munculnya wabah. Hal ini diungkapkan oleh Liu Dengfeng seorang pengawas di divisi sains dan pendidikan Komisi Kesehatan Nasional Cina dalam konferensi pers pada Jumat (15/5/2020) di Beijing.

Menurut Liu Dengfeng, pada 3 Januari lalu Pemerintah Cina memerintahkan untuk membuang sampel virus corona jenis baru di fasilitas tertentu yang tidak memenuhi persyaratan. Karena penyakit ini menular dan sampelnya dibuang untuk mencegah risiko terhadap keamanan biologis laboratorium dan mencegah bencana sekunder yang disebabkan oleh patogen tidak dikenal.

Pemusnahan sampel virus corona ini dilakukan setelah virus corona jenis baru yang dikenal dengan nama resmi SARS-CoV-2, digolongkan sebagai kelas II berdasarkan penelitian dan rekomendasi para ahli.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengeluarkan pernyataan bahwa AS belum memberikan bukti yang bisa memberikan mendukung pernyataan Donald Trump yang menuding virus corona baru (COVID-19) berasal dari laboratorium Wuhan.

"Kami belum menerima data atau bukti spesifik dari pemerintah Amerika Serikat yang berkaitan dengan asal-usul virus. Jadi dari sudut pandang kami, ini tetap spekulatif," kata Direktur Gawat Darurat WHO, Michael Ryan dalam briefing virtual, Senin (4/5/2020).

Tak sampai di situ, Michael Ryan juga menekankan AS perlu memberikan bukti. Lantaran itu dapat menambah informasi kesehatan masyarakat untuk pengendalian wabah di masa depan.

"Seperti organisasi berbasis bukti, kami akan sangat bersedia menerima informasi apa pun yang dimaksudkan terkait asal virus itu," kata Ryan.

"Jika data dan bukti itu tersedia, maka pemerintah Amerika Serikat yang bisa memutuskan apakah dan kapan dapat membagikannya, tetapi sulit bagi WHO untuk beroperasi dalam kekosongan informasi dalam hal itu," katanya seperti dikutip dari AFP.