Pakar UI: Hukum Perdata Harus Digunakan pada Perusak Lingkungan
Penulis : R. Ariyo Wicaksono
Hukum
Selasa, 07 Juli 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Sanksi hukum pidana dan denda yang dijatuhkan kepada para pelaku kejahatan lingkungan, termasuk perdagangan tumbuhan dan satwa liar (TSL) dirasa masih belum memberikan efek jera. Bahkan tidak mampu mengembalikan kerugian yang ditimbulkan. Penerapan hukum perdata berpeluang mengembalikan kerugian dan kerusakan yang dihasilkan oleh kejahatan lingkungan hidup.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Rosa Agustina mengatakan, hukum perdata bisa diterapkan dalam kasus lingkungan hidup, termasuk kasus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar (TSL). Bahkan tututan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan dari suatu kasus juga bisa diajukan.
Dalam gugatan perdata kerusakan lingkungan, pihak yang merusak lingkungan harus bertanggung jawab untuk memulihkan dampak dari kerusakan yang ditimbulkan. Prof. Rosa mengambil contoh kasus yang melibatkan spesies yang dipandang bernilai dan masuk dalam daftar spesies yang dilindungi atau terancam punah dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), bisa diterapkan hukum perdata.
"Katakanlah itu orangutan, dalil gugatannya, misalnya jual beli perdagangan ilegal orangutan. Jadi intinya adalah ganti rugi dalam perdata harus dirinci. Kalau yang kehilangan kesenangan adalah orangutan. Apakah kita bisa mengajukan gugatan? Bisa saja kita mengajukan klaim itu, tapi pembuktiannya agak sulit. Kalau sakit mungkin bisa dibuktikan," kata Prof. Rosa, dalam Bincang Hukum #2 bertajuk Wildlife in Indonesia, Loss, Damage, and Sanction yang digelar secara virtual, Selasa (30/6/2020) lalu.
Meskipun pembuktiannya akan sulit karena menyangkut nilai kerugian berhubungan dengan satwa, namun pihak manapun tetap memiliki peluang untuk mengajukan gugatan perdata. Karena si penggugat bukan dalam posisi mewakili satwa, tetapi mewakili kewajiban mendapatkan lingkungan hidup yang baik berdasarkan ketentuan yang diatur undang-undang.
Gugatan perdata menyangkut perdagangan satwa liar ini, menurut Prof. Rosa, tidak serumit gugatan perusakan atau pencemaran lingkungan. Untuk peluang gugatan perbuatan melawan hukum, hanya perlu merinci rumusan perbuatannya, hukumnya dan ganti ruginya.
Prof. Rosa bilang, sejauh ini tidak ada standar untuk nilai yang sama berkaitan dengan jumlah kerugian. Sehingga beda hakim bisa beda jumlah kerugian yang diputuskan. Valuasi kerugian haruslah dilihat dari kerugaian yang nyata dan prinsipnya secara umum ada dalam KUH Perdata.
"Harus ada pengetahuan mengenai sebetulnya berapa nilai dari binatang-binatang yang langka yang dilindungi itu. Memang di Indonesia belum ada standar, belum ada pedoman atau valuasi mengenai hitung-hitungan yang tepat mengenai kerugian. Jadi untuk satu perbuatan bisa berbeda-beda jumlah kerugiannya."
Perlu Pengadilan Khusus Lingkungan Hidup
Prof. Rosa juga menyampaikan, kasus pidana yang sudah diputuskan bersalah dapat juga dimintakan gugatan ganti rugi. Karena perbuatan melawan hukum atau pelanggaran pidana yang dilakukan sudah terbuktikan dan merugikan orang lain, negara ataupun lingkungan.
"Saya sebetulnya memimpikan ada pengadilan khusus lingkungan hidup. Dengan hakim-hakim yang pengetahuannya cukup mengenai lingkungan hidup, mengenai ketentuan-ketentuan lingkungan hidup, konvensi dan sebagainya."
Lebih jauh dirinya menguraikan, hanya ada dua jenis gugatan yang bisa diajukan ke pengadilan. Yakni gugatan wanprestasi atau inkar janji dan perbuatan melawan hukum. Para penggugat bisa perorangan atau badan hukum, organisasi lingkungan, masyarakat melalui gugatan perwakilan (class action), warga negara dan pemerintah.
Dijelaskannya, penggugat perorangan dapat meminta ganti rugi atau bisa juga dihentikannya suatu perbuatan. Sementara bagi penggugat organisasi lingkungan, hanya dapat menuntut dihentikannya atau dilakukannya suatu perbuatan dan dapat menuntut apabila terdapat biaya riil, namun tidak dapat menuntut ganti rugi.
"Masyarakat melalui gugatan perwakilan juga bisa mengajukan gugatan ganti rugi yang bisa didistribusikan kepada anggota kelompok, Kalau warganegara, tidak boleh ganti rugi tapi boleh menuntut dihentikannya suatu perbuatan. Kemudian pemerintah, bisa menuntut ganti rugi dan juga bisa dihentikannya perbuatan tertentu," kata Prof. Rosa.
Dirinya menegaskan, dalam kasus lingkungan hidup, penggugat harus memiliki kepentingan dengan lingkungan hidup, termasuk hubungannya dengan TSL. Sedangkan pihak tergugat haruslah pihak yang melakukan perusakan lingkungan atau pelaku kejahatan terhadap TSL atau terancam punah, pelaku yang diuntungkan dari suatu kejahatan dan secara finansial mampu membayar gantir rugi yang diajukan.
Untuk dalil gugatan, kata Prof. Rosa, adalah perbuatan melawan hukum seperti diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Yang berbunyi, tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
"Unsur-unsurnya di antaranya, perbuatan yang melawan hukum entah itu disengaja ataupun kelalaian, adanya kerugian, adanya kesalahan dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian atau kasualitas."
Prof. Rosa menguraikan, yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum adalah bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, bertentangan dengan hak subjektif orang lain, melanggar kaidah tata susila dan bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.
Tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum di antaranya ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan, ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula, pernyataan yang dilakukan adalah melawan hukum, melarang dilakukannya perbuatan tertentu, meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum.
"Peradilan di Indonesia pada umumnya mengenal kerugian nyata dan kerugian immateriil. Kerugian nyata yakni bentuk kerugian materi yang timbul dan dapat diperhitungkan secara langsung dan bisa dalam bentuk kehilangan keuntungan yang diharapkan atau yang akan didapat seandainya tidak terjadi perbuatan melawan hukum."
Sedangkan untuk kerugian immateriil, masih kata Prof. Rosa, merupakan kerugian moril atau idiil yang bisa berupa ketakutan, keterkejutan, sakit, kehilangan kesenangan hidup dan lain sebagainya. Dalam kerugian immateriil ini, hakim bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan dan kesenangan hidup yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmati.
Dampak Kerusakan dan Kerugian Besar
Di kesempatan yang sama, Jacob Phelps, salah seorang pengajar di Lancaster Environmental Center, Universtas Lancaster, Inggris memberikan pandangannya terkait penerapan hukum perdata pada kasus hukum sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Menurut Jacob, perdagangan satwa liar dapat menyebabkan banyak jenis kerusakan dan kerugian. Di antaranya mendatangkan kerugian individu satwa dan meningkatnya biaya rehabilitasi dan reintroduksi. Kemudian, perdagagan satwa juga mengakibatkan berkurangnya populasi lokal dan mempengaruhi kemampuan bertahan hidup spesies yang dilindungi.
"Dampak terhadap ekosistem, di dalam contoh ini trenggiling sangat penting. Trenggiling makan serangga," kata Jacob, Selasa (30/6/2020).
Dampak lainnya yakni kerugian nilai ilmiah, meningkatnya biaya pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu perdagangan satwa liar dilindungi juga merusak reputasi dan kepercayaan publik.
Jacob mengambil salah satu contoh kasus tindak pidana perdagangan satwa liar trenggiling yang terjadi di Medan. Dalam kasus No.1731/Pid.B/2015/PN Mdn itu terdakwa diketahui memiliki lemari pendingin dan gudang penyimpanan. Selain itu terdakwa juga mampu menggaji karyawan dengan memperdagangkan pangolin. Dalam penguasaannya ketiga ditangkap, terdapat 89 pangolin hidup yang kemudian dilepasliarkan di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit.
"Kasus di Medan 5 tahun lalu, ada banyak trenggiling yang diperdagangkan. Ada lebih dari 80 individu yang masih hidup. 5 ton daging beku dan 77 kg sisik trenggiling."
Namun dilihat dari putusannya, Jacob melanjutkan, tersangka kasus itu hanya diberi sanksi penjara selama 1 tahun 5 bulan dengan denda sebesar Rp 50 juta. Jacob menganggap sanksi hukum dan denda yang dikenakan kepada tersangka dalam kasus tersebut terlalu ringan.
"Apakah ini memberikan efek cegah yang efektif? Apakah ini dapat merefleksikan kerugian yang diakibatkan? Apakah gugatan perdata dapat menyediakan pemulihan lainnya?" tanya Jacob.
Penerapan Hukum Perdata dalam Kasus Lingkungan Hidup
Jacob memberikan contoh kasus lain, yang mana gugatan perdata terhadap tersangka atau perusak lingkungan pernah diterapkan. Yakni kasus tumpahan minyak Exxon Valdes di Alaska pada 1989. Dalam kasus itu, selain dikenakan pidana denda sebesar USD25 juta dan pidana lainnya sebesar USD100 juga, pelaku juga dikenakan sanksi perdata sebesar USD500 juta yang dibayarkan kepada nelayan.
Tak hanya itu dalam kasus tersebut pelaku juga dikenakan tanggung jawab untuk melakukan restorasi, biaya interim dan biaya untuk menilai kerugian yang totalnya sebesar USD900 juta.
Jacob menuturkan, gugatan perdata dapat menyediakan pemulihan. Hal itu dapat diterapkan dalam kasus perdagangan trenggiling di Medan. Menurut Jacob, gugatan perdata dapat menyediakan biaya pemeliharaan dan pelepasliaran trenggiling hidup yang disita, biaya untuk menaikkan populasi trenggiling liar, termasuk pemulihan terhadap kerugian reputasi, keilmuan dan budaya.
Dirinya berharap ahli lingkungan, lembaga masyarakat sipil, praktisi hukum, ekonom dan lain sebagainya, bisa membangun suatu kolaborasi. Hal ini terutama demi membangun karakteristik dan nilai kerusakan yang diakibatkan kejahatan TSL dan membangun pedoman gugatan perdata untuk kasus perdagangan ilegal TSL.