Pakar IPB: Agroforestri untuk Ketahanan Pangan di Masa Pandemi
Penulis : Betahita.id
Hutan
Minggu, 23 Agustus 2020
Editor :
BETAHITA.ID - Agroforestri rasional perlu diterapkan di hutan Indonesia, apalagi di saat pandemi corona ini menyebabkan terjadinya krisis ekonomi. Usulan itu mengemuka dalam diskusi seputar potensi sektor kehutanan untuk mendukung ketahanan pangan dengan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Diskusi diselenggarakan Himpunan Profesi Tree Grower Community (TGC) Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB, 18 Agustus 2020.
Dosen Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Prof. Nurheni Wijayanto, mengatakan, kondisi saat ini, terdapat jutaan penduduk yang tergolong miskin tinggal di kawasan hutan, dengan potensi terjadinya konflik tenurial, hilangnya tutupan hutan, kebakaran hutan dan lahan, serta perdagangan tanaman dan satwa liar. Dengan kondisi yang demikian agroforestri rasional perlu diterapkan di hutan Indonesia.
“Tentu dengan adanya optimalisasi ruang hutan, tanaman kehutanan dapat dikombinasikan dengan tanaman buah-buahan, tanaman umbi-umbian, perikanan, dan peternakan. Sayangnya agropastura atau kombinasi antara tanaman kehutanan dengan peternakan di Indonesia belum banyak dikembangkan,” tutur Prof Nurheni.
Hal ini, lanjutnya, menyebabkan harga daging terus melonjak dan harus mengimpor dari luar negeri. Padahal peternakan merupakan sumber protein hewani yang sangat diperlukan oleh masyarakat.
Menurutnya, optimalisasi peran sistem agroforestri untuk ketahanan pangan nasional terdapat tiga aspek yaitu ekologi, ekonomi-bisnis, dan sosial budaya. Aspek ekologi dapat dilihat pada tempat tumbuh dan komposisi jenis yang bergam. Komposisi ini dapat dilakukan ketika tajuk masih terbuka maupun tajuk sudah rapat.
Ketika tajuk terbuka dapat ditanami tanaman yang membutuhkan cahaya penuh seperti tanaman pertanian dan ketika tajuk rapat dapat ditanami tanaman yang toleran terhadap naungan seperti porang.
Aspek ekonomi-bisnis yang perlu diperhatikan yaitu penggunaan input modal yang relatif rendah, memberikan jaminan keamanan bagi ekonomi rumah tangga, menghasilkan produk yang kontinu sesuai permintaan pasar.
Adapun aspek sosial budaya yang perlu diperhatikan yaitu sistem pewarisan kepada anak cucu yang dapat mendukung keberlanjutan sistem agroforestri, fasilitas pendampingan, kepastian jaminan hukum, dan organisasi yang kuat dan mandiri. Penerapan sequential system diharapkan mampu memberikan keuntungan ekologi, ekonomi-bisnis, dan social budaya.
Pengembangan sistem agroforestri harus diupayakan dapat mempertahankan keseimbangan dinamis, dalam arti pertumbuhan ekonomi-bisnis yang terjadi, harus diikuti oleh adanya peningkatan kelestarian ekologi dan kestabilan sosial-budaya.
Hariadi Propantoko dari Manajemen Program LSM Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan menyatakan pentingnya pengembangan pangan dari sumber daya hutan. "Hutan menyediakan pangan bagi manusia. Mulai dari buah-buahan seperti mangga, durian, kelengkeng, rambutan, nangka, kepel, dan kemang, sagu, bahkan rotan," katanya.
"Peluang pengembangan hasil hutan pangan sangat tinggi dimana kita ketahui bahwa hutan memiliki sumber potensi pangan yang berlimpah. Maka dari itu perlu didorong konsep pengembangan kawasan hutan untuk produksi pangan, " tuturnya.