Kontroversi Jurassic Park di Pulau Komodo

Penulis : Betahita.id

Konservasi

Minggu, 20 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo akan membangun taman ala Jurassic Park di Pulau Rinca yang merupakan habitat komodo. Rencana pembangunan tersebut dikecam pegiat konservasi Manggarai Barat. 

Baca juga: Taman Nasional Tetap Dibuka, Gubernur Cemas Komodo Makin Kurus

Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Shana Fatina mengklaim pembangunan ala Jurassic Park akan dilakukan di zona pemanfaatan. “Pembangunan dilakukan di zona pemanfaatan, termasuk untuk akses alat berat dan lain-lainnya,” kata Shana kepada Tempo, Rabu, 16 September 2020.

Shana menjelaskan, rencana pembangunan Pulau Rinca telah melalui proses panjang karena harus mendapat izin lingkungan dan environmental impact assesment. Ia juga menjelaskan bahwa proses ini dikawal oleh UNESCO serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Seekor komodo di Taman Nasional Komodo, Pulau Rinca, Nusa Tenggara Timur. Foto: Berita Satu/Uthan A Rachim

Adapun pembangunan Pulau Rinca meliputi pengembangan dermaga dan bangunan elevated deck seluas 7.400 meter persegi. Lahan pemanfaatan tersebut termasuk digunakan untuk berdirinya gedung pusat informasi turis seluas 4.000 meter persegi dan atap dek.

Menurut Shana, pembangunan Pulau Rinca dilakukan untuk meningkatkan daya tampung wisatawan. Musababnya, dalam rencana pembangunan Taman Nasional Komodo, Pulau Rinca alias Loh Buaya merupakan pulau yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Sedangkan wilayah lainnya akan dikhususkan bagi turis yang membayar keanggotaan (membership).

Ia juga mengklaim pembangunan ini bertujuan meningkatkan keamanan wisatawan. Sebab, dengan elevated deck, wisatawan tak akan langsung bersinggungan dengan komodo.

Forum Masyarakat Peduli dan Penyelamat Pariwisata (Formapp) Manggarai Barat menentang pembangunan di Pulau Rinca, Labuan Bajo. Pembangunan tersebut dikhawatirkan bakal mengancam habitat komodo.

“Kami yang tergabung dari berbagai elemen pelaku wisata dan pegiat konservasi menolak tegas pembangunan geopark di kawasan Loh Buaya (Pulau Rinca),” tutur anggota Formapp, Venan Haryanto, saat dihubungi Tempo, Senin, 14 September 2020.

Venan mengatakan, pembangunan infrastruktur yang ditengarai bakal berbasis beton bertentangan dengan habitat Komodo yang ditetapkan sebagai area konservasi nasional. Musababnya, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 306 Tahun 1992 tentang pembentukan Taman Nasional Komodo, kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan alami.

Ia menilai pembangunan itu akan menghancurkan bentang alam kawasan Pulau Rinca. Hal ini pun diyakini tak sesuai dengan klausul pembangunan kawasan konservasi seperti yang diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutuanan.

Venan mengatakan, pembangunan sumor bor sebagai bagian dari sarana dan prasarana Pulau Rinca akan memberikan dampak buruk bagi lingkungan. Dia khawatir keberadaan sumur bor justru akan mematikan sumber-sumber air di kawasan Pulau Rinca, yang selama ini menjadi tempat hidup satwa liar.

“Pembangunan seperti itu sangat mencederai desain besar pembangunan pariwisata serta sangat merugikan kami sebagai para pelaku wisata dan masyarakat Manggarai Barat,” tuturnya. Seumpama benar-benar terealisasi, Venan mengatakan pembangunan Pulau Rinca akan berpotensi mengancam sektor pariwisata berbasis alam sebagai produk utama Labuan Bajo. Lebih lanjut, pembangunan Pulau Rinca diduga hanya melayani kepentingan investor.

Ketua Formapp Aloysius Suhartim Karya mengatakan kelompoknya menuntut pemerintah segera menghentikan rencana pembangunan sarana dan prasarana di kawasan Pulau Rinca. “Kami juga menuntut pemerintah untuk membuka informasi seluas-luasnya terkait dengan pembangunan dan segera melakukan konsultasi publik terlebih dulu,”  ucapnya.

Formapp juga mengutuk upaya mengalihfungsikan Taman Nasional Komodo menjadi kawasan investasi. Kelompok masyarakat itu meminta pemerintah untuk meningkatkan upaya pelestarian di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan Flores sebagai bentuk pemeliharaan aset jangka panjang.

Sejauh ini, Formapp tiga kali melayangkan protes, namun tak memperoleh respons dari pemerintah. Protes pertama berupa unjuk rasa di kantor DPRD Manggarai Barat. Kemudian, Formapp telah mengirimkan surat ke Komisi Komisi IV, V , dan X DPR. Terakhir, kelompok itu melayangkan surat ke UNSECO dan UNEP pada 9 September 2020.

Baca juga: Proyek Jurassic Park Pulau Rinca Ditolak Forum Masyarakat Pariwisata, Sebabnya?

TEMPO.CO | TERAS.ID