Peneliti: Plahlar Terancam Punah, Siti Harus Revisi Permen

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Jumat, 18 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Peneliti kembali mengkritisi peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang membatalkan status lindung tumbuhan endemis. Salah satunya adalah plahlar (Dipterrocarpus littoralis), spesies terancam punah yang hanya tumbuh di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah.

Peneliti Yayasan Nusa Segara Indonesia Helmi Mukti Yulia mengatakan, saat ini populasi plahlar hanya berkisar 700-800 individu saja di alam liar berdasarkan survey 2009-2014. Sebagian besar, yakni 676 individu, berhabitat di Cagar Alam Nusakambangan Barat. Sedangkan 167 individu berada di luar area konservasi, demikian hasil survey independen oleh Nusa Segara Indonesia pada 2018.

“Populasi plahlar yang sangat sedikit ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk kembali menengok peraturan menteri itu,” kata Helmi dalam diskusi virtual Obrolan Kamis Sore, Kamis, 17 September 2020.

Pada 2018, KLHK mengeluarkan peraturan yang menjamin status lindung plahlar. Namun, tak lama berselang, KLHK mencabut status lindung itu dengan menerbitkan revisi yang disebut Peraturan Menteri Nomor 106/2018 (P.106). Hal ini mengundang kritik dari kalangan akademisi maupun pegiat konservasi. Dalam surat penjelasannya kepada media, KLHK berargumen bahwa populasi masih sangat banyak.

Salah satu survey terhadap plahlar nusakambangan pada 2013. Hingga saat ini, informasi dan data mengenai jumlah spesies endemis ini di alam liar masih terbatas. Foto: Wina Kirana/Blog Cerita Pelosok Indonesia

“Yang jadi pertanyaan, jumlah yang banyak itu dari mana referensinya? Sementara di lapangan, penelitian mengenai plahlar ini masih sedikit,” tutur Helmi.  

Menurut Helmi, spesies plahlar Nusakambangan membutuhkan waktu lama untuk regenerasi, dus, populasinya terbatas. Selain itu, International Union for Conservation of Nature juga memasukkan plahlar Nusakambangan ke dalam daftar merah dengan status terancam punah.

Plahlar memiliki ciri khas dengan daun melengkung di batang daun. Batangnya berwarna cokelat dan berkulit abu-abu. Jika terkelupas akan menghasilkan resin. “Siklus berbunga atau berbuah itu empat tahun sekali, itu pun tidak selalu terjadi,” kata Helmi.

Helmi khawatir, jika plahlar tidak dilindungi, tanaman ini rentan ditebang dan diincar pelaku perdagangan kayu ilegal, terutama pohon yang tumbuh di luar area cagar alam. Menurutnya, upaya lain dapat dilakukan, misalnya dengan edukasi masyarakat sekitar agar tidak menebang. Mediasi dengan pihak lain seperti pemerintah daerah dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia selaku salah satu pengelola Pulau Nusakambangan juga terus dilakukan. 

Arief Hamidi dari Forum Pohon Langka Indonesia mengatakan konservasi plahlar Nusambangan sangat urgen agar tidak punah. Menurutnya, upaya yang dilakukan adalah perlindungan (patroli) serta penambahan populasi melalui pembibitan dan penanaman. "Tapi ini juga menjadi tantangan khusus karena membibitkan plahlar itu tidak mudah," kata Arief kepada Betahita, Jumat, 17 September 2020. 

Upaya lainnya adalah memperluas area konservasi ke area yang ditumbuhi plahlar. “Setidaknya satu blok lagi di mana plahlar ini tumbuh. Tapi kan ini urusannya panjang, karena ada berbagai pihak yang mengatur dan mengelola pulau itu," kata Helmi.

"Tapi harapan kami adalah agar pemerintah dapat kembali mengevaluasi kebijakan itu (Permen LHK 106)," ujarnya. 

Arief mengatakan, bila Permen LHK 106/2018 itu tidak direvisi, cara lain yang dapat dilakukan salah satunya adalah  mendorong adanya regulasi untuk mendukung konservasi jenis plahlar dan pohon langka lainnya, melalui Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK). 

"Setidaknya ini dapat didorong agar pohon-pohon terancam punah itu dinyatakan sebagai jenis prioritas konservasi," pungkas Arief.