Anak Muda Semakin Sadar Bahaya Krisis Iklim

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Selasa, 29 September 2020

Editor :

BETAHITA.ID - Generasi muda semakin sadar dengan isu krisis iklim. Krisis tersebut dianggap memiliki dampak besar terhadap berbagai aspek penting kehidupan, mulai dari hilangnya sumber air bersih, krisis pangan akibat gagal panen, hingga munculnya penyakit atau wabah baru seperti Corona Virus Disease-19 (Covid-19). 

Hal itu terungkap lewat survei terbaru yang diadakan oleh Change Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah. Survei yang direspons 8.000 individu berusia 21-30 tahun ini mengungkap, 88 persen mengaku sangat khawatir akan dampak krisis iklim. Sementara itu hanya 0,6 persen responden menyatakan tidak khawatir dan 1 persen yang tidak tahu atau tidak percaya dengan krisis iklim.

“Ini angka yang menarik sebab dari angka tersebut, kita lihat yang khawatir dan sangat khawatir itu cukup tinggi,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Dhitri Adhityani, Jumat, 25 September 2020.

Anak muda, via survei itu, juga menganggap bahwa kemunculan penyakit atau pandemi terhubung dengan aktivitas manusia terhadap alam. Sebanyak 97 persen setuju bahwa dampak krisis iklim bisa lebih parah atau sama dengan dampak dari pandemi Covid-19. Sementara itu 3 dari 5 individu berpendapat bahwa krisis iklim terjadi akibat ulah manusia. Hal ini menunjukkan adanya pemahaman yang baik dari anak muda terhadap krisis iklim yang saat ini sedang terjadi di seluruh dunia.

Para pemuda pegiat lingkungan Greenpeace menuntut perlindungan iklim di Berlin. Dok. Jan Zappner melalui Greenpeace International.

Krisis sumber air bersih, gagal panen, dan munculnya penyakit atau wabah baru menjadi dampak yang dapat terjadi karena krisis iklim. Uniknya, fenomena cuaca ekstrem dan korelasinya dengan perubahan iklim tidak banyak disebut.

“Korelasinya masih rendah di benak anak muda. Padahal, banjir bandang, angin topan, dan badai justru semakin sering muncul di pesisir dan kepulauan,” kata Dhitri.

Untuk mengatasi berbagai masalah terkait krisis iklim itu, sebagian besar responden berpendapat solusinya terletak pada penghentian deforestasi dan pembakaran hutan dan lahan (28 persen). Mengakhiri ketergantungan energi dan memulai penggunaan energi baru terbarukan (26 persen) dan perilaku hidup ramah lingkungan (19 persen) juga disebut dapat membantu laju perubahan iklim. 

Solusi tersebut relevan dengan berbagai permasalah yang dialami Indonesia saat ini. Deforestasi, walau tahun ini angkanya menurun, masih terjadi dan kebakaran hutan dan lahan menjadi kejadian berulang setiap tahun sejak 1982.

Tahun 2015 menjadi salah satu bencana karhutla terparah yang menghanguskan hutan dan lahan seluas 2,6 juta hektare. Kebakaran pun kembali memuncak pada 2019, dengan luas kebakaran 1,6 juta hektare. Walau tidak seluas bencana karhutla 2015, kebakaran tersebut melepaskan sebanyak 709 juta ton karbondioksida ke atmosfer. Jumlah itu setara dengan emisi buangan tahunan Kanada. 

Rara Sekar, musisi sekaligus peneliti bidang sosial dan budaya, mengatakan solusi yang diinginkan responden merupakan perubahan sistemik yang menjadi kunci untuk menghadapi krisis iklim. Hal tersebut berbeda dengan narasi yang selama ini menitikberatkan solusi individual.

“Contohnya seperti kampanye penggunaan sedotan (stainless) atau totebag,” kata Rara. “Ini bentuk keterlibatan warga negara yang paling mudah, paling dekat, dan bisa dipahami."

"Namun itu tidak cukup. Perubahan sistemik itulah yang menjadi cukup. Ini cukup kompleks karena terkait dengan kebijakan seperti karhutla dan hutan. Persoalannya kan jauh lebih kompleks dan multidimensional, ada unsur sosial dan budaya juga," katanya. 

“Yang pasti, kita tahu bahwa ada semacam kehausan dari anak muda untuk terlibat dalam fenomena melawan atau merespons krisis lingkungan. Ini adalah semangat zaman ini,” pungkasnya.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, survei itu menjadi refleksi dan introspeksi mengenai langkah pemerintah dalam menangani dan memitigasi krisis iklim ke depannya.

Menurut Ruandha, pemerintah telah melibatkan pemuda dalam pengendalian krisis iklim lewat berbagai acara dan diskusi yang diselenggarakan oleh KLHK. “Anak muda memegang kepemimpinan di masa depan dan merekalah yang merasakan dampak (krisis iklim) di masa depan. Jadi kita libatkan sedini mungkin,” ujar Ruandha.

Menurut Ruandha ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemuda mulai dari bergaya hidup rendah emisi, aktif mengampanyekan perubahan iklim, dan bekerja di sektor rendah emisi. “Harus mulai dari diri kita sendiri untuk mengubah gaya hidup menjadi rendah emisi dan berketahanan iklim,” katanya.