Paripurna: Terwujudnya Cita-cita Oligarki SDA di Omnibus Law

Penulis : Refki Saputra 

Opini

Selasa, 13 Oktober 2020

Editor :

BETAHITA.ID -  Gelombang demonstrasi buruh dan sejumlah elemen masyarakat sipil meluas di berbagai daerah. Musabab, pemerintah dan DPR bersepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi undang-undang. Undang-undang “sapu jagat” tersebut melengkapi 3 (tiga) undang-undang kontroversi lainnya yang lebih dulu disahkan dalam suasana ketergesaan serupa: UU KPK, UU Minerba dan UU MK.

Menyimak dinamika yang terjadi, sulit dipungkiri, bahwa sejumlah produk politik pemerintah bersama DPR tersebut sangat bertemali dengan suatu agenda tersembunyi di belakangnya. Jika melihat “ruh” dari UU Minerba dan UU Cipta Kerja yang berpusat pada urusan investasi, revisi UU KPK yang terbukti melemahkan, mengindikasikan ada pihak-pihak yang mendulang rente dari proses bisnis yang kurang akuntabel.

Agar memastikan agenda “besar” itu tidak ada ganjalan hingga akhir, MK sebagai pihak yang juga menentukan dalam setiap keputusan politik dalam undang-undang melalui mekanisme judicial review juga perlu di-“entertain”. Revisi UU MK yang datang tiba-tiba, “menghadiahkan” para hakimnya masa kerja lebih lama.

KPK hilang, MK terbilang

Sejumlah buruh mengikuti aksi unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law di Depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 30 Januari 2020. Aksi tersebut menolak pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sebab isinya dinilai akan merugikan kepentingan kaum buruh dengan mudahnya buruh di PHK serta pemberlakuan upah hanya bedasarkan jam kerja. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

Fenomena pembiayaan hajatan politik di Indonesia, baik eksekutif dan legislatif jamak diketahui bersumber dari hasil eksploitasi sumber daya alam (SDA). Tak terbilang jumlah kepala daerah dan politisi di lembaga legislatif pusat maupun daerah terseret korupsi akibat transaksi ilegal terkait perizinan komoditas sektor SDA. Operasi tangkap tangan menjadi senjata pamungkas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membongkar kongkalikong proses obral ijin tersebut.

Selain penindakan, semenjak tahun 2009, KPK sebenarnya telah aktif menyasar akar korupsi yang bersumber dari carut-marutnya tata kelola SDA. Selama ini, problem kuasa oligarki atas birokrasi negara (state capture) menggerogoti bisnis proses tata kelola SDA. Kekuatan “psudo-legal” (di luar negara) mampu memaksa negara untuk melayani kepentingan pribadi, kelompok dan golongan sehingga makin menyuburkan gurita tindak korupsi di negeri ini. Negara menjadi tak berdaya karena begitu banyak konflik kepentingan antara politisi dan pebisnis SDA dan lemahnya fungsi otoritas kelembagaan negara (Kertas Kebijakan Evaluasi GNP-SDA, 2018).

Setelah membuka satu-persatu kontak pandora, pada tahun 2015, KPK melalui Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) merumuskan dan menjalankan rencana aksi bersama sejumlah badan publik terkait (K/L dan Pemda) untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja pemerintah sektor SDA. Alhasil, dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, sejumlah penerimaan negara dari sektor SDA mengalami peningkatan.

PNBP SDA (minerba, dan perikanan) naik dari Rp 21,90 triliun pada 2015 menjadi Rp 28,35 triliun pada 2017. PNBP minerba, dari Rp 17,68 triliun menjadi Rp 24,76 triliun. Pada periode yang sama, pendapatan dari iuran produksi/royalti naik dari Rp 16,73 triliun menjadi Rp 23,24 triliun. Tunggakan PNBP sektor minerba yang tadinya mencapai Rp 25,5 triliun pada 2015, di bulan Juli 2018 tersisa tinggal Rp 4,5 triliun (KPK, 2018)

Sepak terjang KPK tampaknya mengganggu tatanan oligarkis bisnis SDA. Maka, pilihan untuk menggembosi KPK menjadi satu-satunya jalan bagi mereka untuk tetap bertahan dan berkembang. Melalui pihak terafiliasi, baik di pemerintah dan parlemen, UU KPK dipreteli. Dalih ingin memperkuat pemberantasan korupsi, sejumlah kewenangan utama KPK diamputasi.  Salah satunya, dengan menempatkan KPK sebagai rumpun eksekutif, membuat kewenangan penuntutan KPK berada diujung tanduk.

Secara aturan (PP No. 11 Tahun 2017 jo PP No. 35 Tahun 2018), jaksa selaku PNS hanya dapat diberi tugas khusus dalam melaksanakan tugas jabatan secara khusus di luar instansi pemerintah. Dengan pemberlakukan revisi UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019), keberadaan jaksa di KPK tidak lagi relevan. Maka kedepannya, KPK tidak lagi dapat melakukan penuntutan kasus tindak pidana korupsi (Manthovani, 2019).

Keinginan DPR melemahkan KPK selain melalui revisi juga terbaca dalam penunjukan Irjen (Pol) Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Rekam jejak yang buruk, dan keengganan mundur dari institusi Polri akan berimplikasi pada kredibilitas KPK. Mengingat, secara garis organisasi, Firli masih dianggap “anak buah” Kapolri. Selepas menjabat Ketua KPK, yang bersangkutan tentu akan kembali ke institusi asal dengan harapan dapat memangku jabatan yang lebih tinggi dari yang ia tinggalkan sebelum dilantik sebagai Ketua KPK.

Setelah urusan KPK selesai, Mahkamah Konstitusi menjadi target berikutnya untuk melengkapi upaya pengamanan paket kebijakan oligarkis. Revisi UU MK masuk menjadi prolegnas atas inisiatif DPR tahun 2020. Lembaga Riset Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) menilai, perubahan norma di RUU MK tidak substantif dan relevan dengan penguatan MK.

Sejumlah ketentuan di dalamnya malah sarat akan konflik kepentingan (Kompas.com, 01/09/2020). Hakim yang masih menjabat saat ini “dihadiahkan” masa jabatan lebih panjang dari sebelumnya dibatasi 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya dihapuskan dalam ketentuan UU MK hasil revisi tersebut. Dengan demikian, 9 (sembilan) orang hakim MK yang menjabat saat ini baru akan diberhentikan pada saat memasuki usia pensiun, yakni dalam usia 70 tahun.

Di bawah naungan oligarki SDA

Dalam sebuah dokumenter tentang jejaring pebisnis tambang batu bara di belakang pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019 bertajuk “Sexy Killers” (Laksono dan Suparta, 2019), terlihat jelas bahwa kedua pasangan calon (Jokowi-Makruf Amin dan Prabowo -Sandi) didukung oleh kekuatan capital yang bersumber pada bisnis “emas hitam” tersebut. Tidaklah mengherankan jika dalam acara debat capres, nyaris tidak ada perbedaan pendapat di antara Jokowi dan Prabowo terkait dengan masalah reklamasi tambang batu bara yang mengemuka dalam salah satu sesi debat. “Kalau tidak ada perbedaan, mengapa kita ribut terus”, ucap Prabowo kepada Jokowi yang diikuti gelak tawa.

Terbukti, belum genap 1 (satu) tahun umur kabinet Indonesia Maju, di bawah kepemimpinan Jokowi yang terlebih dahulu sudah membonsai KPK, revisi UU Minerba disahkan. Tak bisa dipugkiri, revisi Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) sama sekali tidak mendasarkan pada upaya perbaikan tata kelola pertambangan secara menyeluruh. Hasrat mengubah UU Minerba yang lama muncul hanya untuk menyelamatkan pebisnis kakap di industri mineral dan batubara. Khsususnya pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya (KK) yang masa berlakunya akan segera habis (Kompas.com, 13/05/2020). 

Selain terkait jaminan perpanjangan pemilik KK dan PKP2B menjadi IUPK tanpa persyaratan yang ketat, yang mana secara otomatis dilakukan tanpa lelang ulang (Pasal 169A), revisi UU Minerba juga menghapus ketentuan Pasal 43 dan 45 dalam aturan sebelumnya yang mewajibkan pelaporan mineral yang ikut tergali pada saat dilakukannya eksplorasi. Selain terbebas dari iuran produksi/royalti, dihapuskannya ketentuan tersebut, akan sulit membuktikan pengakuan pengusaha yang masih dalam tahap eksplorasi, akan tetap pada kenyataannya sudah sudah eksploitasi (Lupiyanto, 2020).

Cengkraman oligarki SDA semakin nyata dalam UU Cipta Kerja. Dalam beberapa versi naskah UU Cipta Kerja yang beredar (versi akhir belum ada pada saat disahkan 5/10/2020), terdapat ketentuan terkait dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) selama 90 tahun dan konsep Bank Tanah. Adanya keinginan pelaku usaha untuk mendapatkan jangka waktu HGU selama 90 tahun, jelas-jelas telah bertentangan dengan Putusan MK No. No 21-22/PPU/V/2007 terkait pengujian jangka waktu HGU 95 tahun dalam Pasal 22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dimana, seharusnya setiap perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah tak terjadi secara otomatis, tetapi diberikan dengan surat keputusan pejabat berwenang setelah semua syarat dipenuhi (Sumardjono, 2020).

Kemudian, UU Cipta Kerja secara paradigmatik telah keliru menempatkan keberadaan Bank Tanah sebagai jalan menuju reforma agraria. Pemerintah dan DPR mengkerdilkan maksud daripada reforma agraria, hanya sebagai operasi pengadaan tanah melalui kelembagaan Bank Tanah. Pada praktiknya nanti, konsep ini sudah pasti akan mengarah pada operasi penyelamatan bagai para penelantar tanah atau pemilik HGU, HGB dan hak pakai yang habis jangka waktunya. Padahal, reforma agraria lebih tinggi lagi tingkatannya, yakni operasi koreksi atas ketimpangan struktur pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah.

Dari titik ini, dapatlah ditakar bahwasannya istilah reforma agraria dalam UU Cipta Kerja hanyalah pemanis semata. Melalui Bank Tanah tersebut, pemerintah akan lebih mudah menyediakan tanah untuk kepentingan proyek-proyek bisnis atas nama pembangunan untuk kepentingan umum dan proyek strategis nasional melalui UU sektoral terkait yang sudah lebih dulu eksis dan acap kali meminggirkan hak rakyat atas tanah (Nurdin, 2020).

Maka sudah sangat jelas, politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja tersebut (termasuk UU Minerba) hanya berorientasi pada kebutuhan pasar. Secara kasat mata, dapat dibaca bahwasannya “ruh” UU Cipta Kerja hendak menyuburkan iklim kemudahan berusaha dengan mengorbankan buruh dan lingkungan, serta penguatan kewenangan pemerintah pusat (Susanti, 2020). Sesuatu yang harusnya dapat ditarik garis keseimbangan (equilibrium) antara pertumbuhan ekonomi dan hak-hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan.

REFKI SAPUTRA
Staf Direktorat Hukum Yayasan Auriga Nusantara