Karhutla: Peladang Dihukum Tanpa Ampun, Perusahaan Dibebaskan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Karhutla
Senin, 01 Maret 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun seolah memberikan wajah bersahabatnya ketika memberikan putusan bebas terhadap PT Kumai Sentosa (KS), dalam kasus pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Terutama kalau dibandingkan dengan hukuman yang diberikan PN Pangkalan Bun kepada para peladang tradisional pada kasus serupa.
Pada 2019 lalu, PN Pangkalan Bun diketahui tanpa ampun menghukum sejumlah masyarakat peladang tradisional dalam kasus pidana karhutla yang disidangkan di insitusi peradilan di Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) itu. Dua di antaranya seperti Gusti Maulidin dan Sarwani, dari Komunitas Adat Rungun, yang pada Desember 2019 lalu dijatuhi hukuman pidana penjara, karena dianggap sebagai pelaku karhutla.
Hukuman pidana penjara yang dijatuhkan kepada Gusti Maulidin dan Sarwani itu bahkan diberikan oleh hakim-hakim yang sama dengan yang memberikan putusan bebas (vrijspraak) kepada PT KS. Yakni Heru Karyono sebagai Hakim Ketua, Muhammad Ikhsan dan Iqbal Albanna, sebagai Hakim Anggota.
Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kobar, Mardani memberi catatan negatif pada putusan Majelis Hakim PN Pangkalan Bun yang membebaskan PT KS dari semua dakwaan Penuntut Umum. Putusan bebas PT KS itu menunjukkan bahwa penegakan hukum kasus karhutla hanya tajam kepada masyarakat saja, sedangkan terhadap korporasi tumpul tak bertuah.
Karena putusan bebas PT KS ini sangat kontras dengan putusan pidana penjara yang diberikan kepada para peladang tradisional. Terlebih karena hakim-hakim yang memberikan putusan bebas kepada PT KS adalah orang-orang yang sama dengan yang menghukum para peladang tradisional, khususnya terhadap Gusti Maulidin dan Sarwani.
"Seharusnya (majelis hakim) punya nurani dan melihat kasus sebelumnya yang dilakukan terhadap peladang. Peladang lalai, ditangkap. Perusahaan lalai, malah dibebaskan. Terlalu buruk di tengah wajah hukum yang sudah buruk sekali ini," kata Mardani, yang pada 2019 lalu gencar menggalang dukungan dan melakukan advokasi terhadap para peladang tradisional yang ditangkapi, Rabu (24/2/2021).
Pada kasus PT KS ini, lanjut Mardani, berdasarkan hasil putusannya, PT KS dianggap tidak dapat dimintai tanggung jawab atas kebakaran yang terjadi di dalam areal perkebunannya, dan malah justru dianggap sebagai korban. Namun Mardani berpendapat, kelalaian dan ketidakmampuan pihak PT KS melakukan pencegahan karhutla di areal perkebunannya, hingga ikut menyumbang bencana asap, harus dipertanggungjawabkan.
"Kalau PT KS dibebaskan, sekarang siapa yang bertanggung jawab? Sedangkan peladang mudah ditangkap. Ada pelaku lekas disidang dan selama menjalani proses persidangan pun dipenjara. Seharusnya kelalaian pihak di tempat terjadinya kebakaran sampai ribuan hektare dalam kasus tersebut harus dipertanggungjawabkan."
Masih berdasarkan berkas putusan, disebutkan bahwa api yang membakar lahan di areal PT KS berasal dari kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. Bila memang benar begitu, lanjut Mardani, semestinya PT KS berani menuntut Negara sebagai pengelola taman nasional, dalam rangka meminta keadilan.
"Kalau PT KS malah disebut sebagai korban, karena katanya api berasal dari taman nasional. Ya sudah tuntaskan saja sekalian. Tuntut saja Negara, biar terbuka semuanya. Negara sekalipun wajib tunduk pada hukum," ujar Mardani.
Sebelumnya, putusan bebas PT KS dari Majelis Hakim PN Pangkalan Bun ini juga mendapat perhatian dari Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bambang Hero menilai, ada yang salah dalam pemahaman kerugian akibat kebakaran yang digunakan Majelis Hakim dalam memberikan putusan bebas kepada PT KS.
Bambang Hero menjelaskan, dalam memutus kasus PT KS, Majelis Hakim malah mengadopsi kerugian akibat kebakaran sebagai kerugian negara dan bukan kerugian lingkungan hidup, seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2009 dan KKMA No. 36 Tahun 2013. Sehingga yang berhak menghitung kerugian tersebut adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan bukan pihak yang ditunjuk oleh Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sesuai PermenLH No.7 Tahun 2014.
"Padahal semua itu sudah diatur dalam KKMA No. 36 Tahun 2013. Apalagi salah seorang anggota majelis hakimnya telah bersertifikat lingkungan hidup, setelah lulus melalui pelatihan sertifikasi Hakim LH (lingkungan hidup) MA (Mahkamah Agung). Seharusnya Yang Mulia itu tahu persis isi KKMA tersebut. Apalagi dengan jargon IndoBio Pro Natura," kata Bambang Hero, Selasa (23/2/2021).