Drama Tangkap Lepas Tokoh-Tokoh Dayak Modang Long Wai

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Senin, 08 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Dalam perjalanan pulang, tepatnya saat berada di dua bukit, sebelum simpang empat Mendom, mobil yang ditumpangi Daud Lewing, Benediktus Beng Lui dan Elisason mendapat penghadangan oleh 8 mobil berisikan sekitar 32 personel kepolisian. Personel kepolisian tersebut di antaranya terlihat menggunakan seragam lengkap serta membawa senjata api, seperti pistol, dan senapan laras panjang.

"Begitu pulang mobil kami macet. Teman-teman lain sampai kampung sudah. Baru kami telepon teman untuk datang bantu. Datanglah mereka dari kampung ini bantu sampai mobil kami nyala jalan. Belum ada 10 menit mungkin, dari tempat macetnya mobil kami itu, tiba-tiba ada mobil polisi. Posisi mobil kami sangat berbahaya ditanjakan, langsung mereka malang mobil. Baru kami dihimpit beberapa mobil lain," kata Daud Lewing, Jumat (5/3/2021).

Tak lama kemudian pasukan kepolisian ini meminta Daud Lewing, Beng Lui dan Elisason untuk turun dari kendaraan. Namun tiga tokoh ini tidak bersedia turun, karena mobil yang ditumpangi sedang berada di tanjakan bukit, tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraan. Tiga tokoh ini meminta untuk mencari tempat yang permukaan tanahnya rata, agar bisa berbicara dengan nyaman, polisi pun mempersilahkan.

Setelah sampai di atas bukit dengan permukaan yang rata, sejumlah anggota kepolisian langsung mengelilingi mobil yang ditumpangi Daud Lewing, Beng Lui dan Elisason dan meminta ketiganya keluar dari mobil. Setelah tiga tokoh itu keluar dari kendaraan, seorang polisi menunjukan surat panggilan ketiga yang dibawa sebagai dasar penjemputan paksa.

Aksi pembatasan akses mobilisasi angkutan CPO, oleh masyarakat adat Dayak Modang Long Wai, 30 Januari-10 Februari 2021./Foto: Istimewa

Sempat terjadi adu mulut antara ketiga tokoh adat dan pihak kepolisian, sebelum akhirnya ketiganya bersedia ikut ke Polres Kutai Timur di Sangatta. Namun sebelumnya, tiga tokoh ini juga sempat meminta kepada para anggota kepolisian untuk mengambil pakaian ke kampung. Namun permitaan tersebut tidak dipenuhi, ketiganya langsung dimasukkan ke mobil masing-masing untuk dibawa ke Sangatta.

"Saya ngomong begini, pak kami kan dari hutan ini. Pakaian kita kotor, apa-apa kita enggak ada. Rumah saya juga tidak ada yang urus itu, ditutup pintu jendela rumah saya. Permisi, beberapa orang polisi ikut saya ke kampung, saya bilang. Nggak bisa, enggak mau dia. Langsung digiring saja, bawa ke Sanggata. Sekitar pukul 16.00 WIB itu kejadiannya," terang Daud Lewing.

Uraian di atas adalah kronologi penangkapan tiga tokoh adat dayak oleh segerombol pasukan kepolisian, Sabtu (27/2/2021) kemarin, yang dibuat oleh Koalisi Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai. Daud Lewing (Ketua Adat), Benediktus Beng Lui (Sekretaris Adat) dan Elisason (Dewan Adat Daerah Kalimantan Timur) ditangkap paksa dalam perjalanan pulang usai melakukan pendataan aset di wilayah adat Dayak Modang Long Wai, di Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur (Kaltim). Sehari setelahnya, ketiganya kemudian dilepaskan.

Belakangan diketahui, drama tangkap lepas tiga tokoh dayak ini ada hubungannya dengan aksi demonstrasi damai pembatasan akses mobilisasi angkutan Crude Palm Oil (CPO) PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA), yang dilakukan ratusan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai, 30 Januari-10 Februari 2021 lalu. Ketiganya ditangkap paksa karena dianggap mangkir dari 2 kali panggilan kepolisian, sebagai saksi atas aksi pembatasan akses jalan itu.

"3 orang pejuang masyarakat adat sudah bebas. Hari Minggu (28/2/2021), Pak Lewing, Pak Beng Lui dan Pak Elisason dibebaskan. Sebelumnya dipanggil paksa terkait statusnya sebagai saksi dalam tindakan atas penyetopan kendaraan miliki PT SAWA. Status 3 orang tersebut masih jadi saksi. Tapi tidak menutup kemungkinan bisa dijadikan tersangka," kata Bernard Marbun, Kuasa Hukum Masyarakat Adat Dayak Modang Long Wai, Kamis (4/3/2021).

Dalam pemeriksaaan Daud Lewing, Benediktus Beng Lui dan Elisason sebagai saksi kasus tindak pidana pemortalan jalan ini, penyidik menitikberatkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai siapa saja yang terlibat dalam membuat portal jalan, siapa aktor intelektual dan siapa saja penyandang dana kegiatan.

Karena logika penyidik menyatakan aksi penutupan portal jalan adalah gerakan yang tersistematis, maka penyidik meyakini bahwa ada aktor intelektual, ada penyandang dana atau sponsor dan lain sebagainya. Sehingga fokus penyidik adalah mencari nama yang diduga menjadi aktor intelektual, penyandang dana dalam aksi damai ini.

Secara umum tiga tokoh yang diperiksa itu menjawab, bahwa tidak ada tokoh intelektual dan penyandang dana dalam kegiatan aksi damai pembatasan akses jalan. Karena pemortalan jalan itu berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat, untuk menuntut hak yang sudah 13 tahun dirampas dan ditanami sawit oleh perusahaan yang tidak pernah ditanggapi oleh perusahaan.

Terkait konsumsi selama aksi damai berlangsung, tiga tokoh adat menyebut, bahwa konsumsi bersumber dari gerakan spontanitas masyarakat adat yang memberikan apa yang mereka punya. Seperti beras, sayur, gula, kopi dan kebutuhan lainnya.

Selain 3 orang tersebut, terdapat 5 orang lainnya yang juga dipanggil oleh pihak kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Kelimanya juga sudah memenuhi panggilan kepolisian, pada 1-2 Maret 2021 kemarin. Salah satunya adalah Pastor Paroki Santo Paulus Long Bentuq, Herry Kiswoyo Sitohang, SVD.

Dalam pemeriksaannya sebagai saksi, Pastor Herry juga mendapat sejumlah pertanyaan yang hampir sama dengan yang ditanyakan kepada Daud Lewing dan 2 tokoh adat lain sebelumnya. Jawaban yang diberikan Pastor Herry juga kurang lebih juga sama seperti yang diberikan oleh ketiga tokoh adat yang diperiksa sebelumnya.

Namun ada pertanyaan lain yang disampaikan oleh pihak penyidik. Yakni, tentang foto dan video Daud Lewing dan Beng Lui, yang menjadi pembicara dalam suatu rapat yang membahas rencana aksi damai pembatasan jalan. Pastor Herry menjawab bahwa keduanya menjadi pembicara karena desakan masyarakat adat.

Kemudian, penyidik juga mempertanyakan soal surat yang Pastor Herry kirim kepada Presiden. Yang bersangkutan menjawab, inti dari surat tersebut adalah berisi permohonan kepada Presiden dan jajaran terkait untuk terlibat dalam mengungkap kebenaran yang obyektif terkait persoalan masyarakat adat dayak Modang Long wai di desa Long Bentuq.

Surat yang dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo dimaksud adalah Surat dengan Nomor 015/PP-PSPLB/II/2021 perihal Permohonan Penyelesaian Konflik Tenurial dan Menghentikan Upaya Kriminalisasi Tokoh Agama, tertanggal 25 Februari 2021. Dalam surat tersebut Pastor Herry menyebut, pemanggilan dirinya oleh pihak kepolisian ini diduga merupakan bagian dari upaya kriminalisasi oleh oknum tertentu kepada tokoh agama.

"Kami menduga adanya surat panggilan Polisi ini sebagai upaya oknum tertentu untuk mengkriminalisasi kami sebagai tokoh agama yang dengan hati nurani ikut membantu dan mendampingi umat kami dalam perjuangan mereka terkait hak-hak mereka sebagai masyarakat adat lokal dan tertua di daerah ini," kata Pastor Herry dalam suratnya.

Lebih jauh Pastor Herry mengungkapkan, aksi damai membatasi akses mobilisasi kendaraan perusahaan yang dilakukan ratusan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai itu tidak dilakukan begitu saja. Sebelum melakukan aksi, Lembaga Adat Dayak Modang Long Wai di Long Bentuq terlebih dahulu menyampaikan surat Nomor 010/AD-LB/BSG/1/2021, perihal Pemberitahuan Aksi Damai, kepada pihak Polsek Muara Ancalong, Kutai Timur.

Jalan yang diportal oleh masyarakat adat Dayak Modang itu konon merupakan jalan penghubung antardesa yang selama ini digunakan oleh pihak perusahaan untuk melakukan aktivitas pengangkutan CPO dan buah sawit. Namun aksi penutupan jalan itu tidak diterapkan untuk seluruh jenis kendaraan. Melainkan ditutup hanya untuk kendaraan pengangkut CPO saja, dan dilakukan di dalam wilayah Desa Long Bentuq.

"Hanya kendaraan pengangkut CPO saja yang tidak boleh lewat. Kalau buah sawit perusahaan, sawit warga dan masyarakat umum bisa lewat bebas. Sebenarnya itu adalah jalan antardesa saja dan masyarakat melalukan pemortalan itu di dalam wilayah desa mereka," ujar Icnasius Hanyang, pegiat Perkumpulan Nurani Perempuan, yang terlibat dalam Koalisi Masyarakat Adat Dayak Long Wai, Kamis (4/3/2021).

Aksi damai penutupan jalan melibatkan sekitar 124 warga yang dilakukan di KM 16 Desa Long Bentuq ini merupakan wujud kekecewaan masyarakat Dayak Modang Long Wai, atas perjuangannya yang selama 13 tahun belakangan tidak mendapatkan tanggapan baik dari pihak perusahaan. Selama belasan tahun tersebut masyarakat adat Modang Long Wai menuntut hak ulayat atas lahan seluas kurang lebih 4 ribu hektare yang telah digusur dan ditanami sawit oleh PT SAWA, tanpa persetujuan masyarakat adat.

Sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Adat Modang Long Wai meminta agar upaya kriminalisasi terhadap 3 tokoh masyarakat adat dan 5 warga Desa Long Bentuq dihentikan. Selain itu Koalisi juga mendesak agar pemerintah melakukan evaluasi dan mencabut perizinan PT SAWA yang beroperasi di wilayah adat Dayak Modang Long Wai.