Kajian KPK: Korupsi Hutan Dimulai Sejak Perencanaan

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Rabu, 10 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Korupsi di sektor sumber daya alam rawan terjadi. Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Gufron, rata-rata kasus korupsi telah terjadi sejak tahap perencanaan di sektor hutan.

Menurut data KPK, lebih dari 12 kasus di sektor daya alam ditangani dari 739 kasus yang ditangani sepanjang 2004-2020. Khusus sektor kehutanan, terdapat 688 kasus. Mayoritas adalah kasus suap (58%) sebanyak 396 kasus, pengadaan barang dan dan jasa (171 kasus), dan penyalahgunaan anggaran (46 kasus). Dari kasus tersebut, lebih 24 pejabat diproses.

“Potensi korupsi ada mulai dari tahap perencanaan karena hutan Indonesia tidak terkukuhkan 100 persen,” kata Gufron dalam diskusi virtual “Bincang Hukum: Korupsi, Deforestasi, dan Penegakan Hukum” yang diselenggarakan Yayasan Auriga Nusantara, Rabu lalu.

Gufron mencontohkan kasus yang menjerat mantan Gubernur Riau Annas Maamun yang menerima suap dari pengusaha bernama Gulat Manurung pada 2014. Kedua pesakitan tersebut divonis dalam kasus gratifikasi untuk pemulusan alih fungsi kawasan hutan di provinsi tersebut. 

Deforestasi di konsesi perkebunan PT Sawit Mandiri Lestari, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Foto: Betahita/Ario Tanoto

Sementara itu untuk perizinan usaha, ada kasus seperti kasus suap Amran Abdullah Batalipu, mantan bupati Buol, Sulawesi Tengah. Amran divonis bersalah karena menerima suap terkait penerbitan izin usaha perkebunan dan hak guna usaha. Kasus lainnya, mantan bupati Kampar Burhanudin Husin ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pengesahan rencana kerja tahunan 14 perusahaan kayu pada 2008. 

“Sekitar 30 persen hutan kita belum terinventarisasi sehingga ada celah melakukan upaya alih fungsi,” kata Gufron menjelaskan.

(Baca tulisan: Mendedah Angka Deforestasi di Papua)

Ahli hukum dan mantan juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, potensi korupsi dan penyuapan di sektor kehutanan dan perkebunan cukup tinggi. Menurutnya, hal itu terlihat dari skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dirilis Transparency International awal tahun ini.  

Dari penelitian tersebut, IPK Indonesia pada 2020 turun menjadi 37 poin dari tahun sebelumnya yakni 40 poin. Febri mengatakan, secara umum terjadi penurunan di seluruh indikator, termasuk penegakan hukum dan korupsi. 

“Secara umum ada banyak penurunan dari masing-masing indeks, terutama proses penegakan hukum dan fenomena korupsi lainnya yang paling rendah. Ada bagian tertentu yang masih beririsan dengan sektor kehutanan dan sumber daya alam,” jelasnya.

Menurut Febri, korupsi di sektor sumber daya alam juga sangat merugikan negara. Pada 2013, KPK melansir kerugian negara akibat pembalakan liar selama satu dekade mencapai Rp30 triliun. Laporan Indonesia Corruption Watch (2017) juga mengungkap tingginya potensi penerimaan negara hingga Rp499,5 triliun dari volume kayu yang mengalami deforestasi sebanyak 2,55 miliar meter kubik sepanjang 2006-2015.

“Masing-masing metode dari instansi tersebut bisa berbeda namun ini menunjukkan ada isu serius terkait potensi kerugian dan penerimaan negara yang harusnya didapatkan dari sektor sumber daya alam,” kata Febri.

(Perlu dibaca: Deforestasi Papua: Saatnya Adat Digusur Kota)

Untuk mencegah hal itu terjadi terus, dibutuhkan terobosan hukum terutama dalam penegakan hukum kejahatan sumber daya alam. Hal itu termasuk pemulihan masyarakat, biaya sosial, dan pemulihan lingkungan. 

Febri juga mendorong agar pemerintah mendorong mekanisme kewajiban bagi korporasi di sekotr sumber daya alam terkait sistem kepatuhan dan pencegahan korupsi. “Misalnya, ketika sebuah perusahaan ingin mengajukan atau memperpanjang izin, mereka harus membuktikan sistem pencegahan korupsinya ada dan berjalan baik,” kata Febri.

Gufron mengatakan, perbaikan dan sistem regulasi juga penting. Pemerintah dapat membangun sistem data dan informasi yang terintegrasi antara Kementerian Lingkungan dan Kehutanan dan Badan Pertanahan Nasional untuk memetakan hutan yang belum tercatat.

Untuk menutup celah korupsi di sektor sumber daya alam, pemerintah wajib mengawasi tingkat kepatuhan pelaku usaha. “Sebab di lapangan, banyak terjadi pelanggaran,” katanya.