KLHK: Tidak Semua Limbah Batu Bara Keluar dari Daftar Limbah B3

Penulis : Kennial Laia

Lingkungan

Sabtu, 13 Maret 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim, limbah dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) minim dan relatif stabil. Hal itu menjadi pertimbangan pemerintah mengeluarkan jenis limbah itu dari kategori limbah beracun dan berbahaya. 

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 KLHK Rosa Vivien Ratnawati, abu batu bara (flying ash and bottom ash atau FABA) telah melalui pembakaran dengan suhu tinggi sekitar 700-800 derajat celcius.

“Pembakaran batu bara pada kegiatan PLTU menggunakan suhu tinggi sehingga unburned carbon dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan,” kata Vivien kepada wartawan dalam diskusi virtual, Jumat, 12 Maret 2021. 

Menurut Vivien, pihaknya hanya mengeluarkan limbah B3 menjadi non-B3 dari PLTU yang menggunakan sistem pembakaran pulverized coal dan atau chain grate stoker. Sementara itu, abu batu bara dari kegiatan industri yang masih menggunakan fasilitas boiler atau tungku tetap masuk kategori limbah B3.

Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati. Foto: KLHK

Alasannya, teknologi boiler atau tungku industri itu belum memenuhi syarat karena melalui proses pembakaran bersuhu rendah sehingga bersifat tidak stabil saat disimpan.

Vivien mengatakan, fly ash and bottom ash dari PLTU dengan sistem pulverized coal dan chain grate stoker dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan untuk pengganti semen, bahan baku untuk pembuatan jalan, serta restorasi tambang.

“Kami mendorong walau sudah menjadi limbah non-B3, pengelolaannya tetap harus dilakukan,” jelas Vivien.

Pengelolaan itu, kata Vivien, aka nada dalam persetujuan dokumen lingkungan. Isinya persyaratan teknis, tata cara penimbunan FABA, serta standar pemanfaatannya. “Dikategorikan sebagai non-B3 bukan berarti bisa dibuang sembarangan,” katanya.

Penghapusan abu batu bara dari kategori limbah beracun dan berbahaya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan yang mulai berlaku sejak 2 Februari 2021. Beleid ini merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Omnbibus Law Cipta Kerja.

Aturan terbaru tersebut dikritik berbagai kelompok masyarakat sipil karena dikhawatirkan akan memperparah dampak lingkungan dan kesehatan masyarakat lokal akibat limbah batu bara PLTU.

Menurut Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesian Center for Environmental Law, Fajri Fadhillah, pengeluaran abu batu bara PLTU dari kategori limbah B3 berimplikasi pada hilangnya kewajiban pelaku usaha untuk memiliki sistem tanggap darurat pengelolaan FABA.

Selain itu, beleid terbaru juga melemahkan penegakkan hukum dan penerapan sanksi bagi pengusaha. Menurut Fajri, ada aturan pidana pengusaha yang gagal mengelola limbah B3 yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Aturan tersebut, kata Fajri, mengatur prinsip tanggung jawab mutlak bagi perusahaan yang melakukan pelanggaran. Namun, hal itu tak lagi berlaku karena Omnibus Law dan aturan turunannya ini.

“Karena abu batu bara tak lagi termasuk limbah B3, aturan tersebut tidak lagi berlaku. Pertanggungjawaban mutlak pun lebih longgar dan penghasil FABA dapat lepas dari jeratan hukum lingkungan,” kata Fajri.