Benarkah FABA PLTU Batu Bara Aman?

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lingkungan

Selasa, 16 Maret 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Pemerintah menganggap Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) hasil pembakaran batu bara pada Pembangkit Listrik Tenaga Listrik (PLTU) aman, tidak mengandung bahan beracun berbahaya. Setidaknya itu salah satu alasan FABA PLTU batu bara dikeluarkan dari daftar Limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Tapi benarkah FABA PLTU itu aman?

Dalam media breafing yang digelar secara virtual oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kemarin, Direktur Jenderal Pengolahaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati bilang, tidak semua FABA batu bara dikeluarkan dari daftar Limbah B3.

Yang dikeluarkan dari daftar Limbah B3 hanyalah FABA yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada fasilitas PLTU. FABA ini memiliki kode limbah N106 untuk Fly Ash dan N107 untuk Bottom Ash.

Alasannya karena proses pembakaran batu bara pada PLTU menggunakan sistem pembakaran pulverized coal (PC) atau chain grate stoker. Pada sistem itu temperatur yang digunakan tinggi, di atas 800 derajat celcius, sehingga menghasilkan pembakaran yang sempurna. Yang mana kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minim dan lebih stabil saat disimpan. Selain itu PLTU juga menggunakan batu bara dengan kalori tinggi.

Tempat penyimpanan FABA di PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Kanopi Bengkulu.

Beda halnya dengan FABA yang dihasilkan dari pembakaran batu bara pada fasilitas stoker boiler atau tungku industri. FABA dari stoker boiler masih menghasilkan Limbah B3, karena temperatur yang digunakan masih di bawah 600 derajat celcius, sehingga pembakarannya belum sempurna. FABA ini masih dikategorikan dalam Limbah B3, dengan kode limbah B409 (Fly Ash) dan B410 (Bottom Ash).

"PLTU dia pembakarannya temperaturnya tinggi sehingga unburnt karbonnya minim sekali dan sudah dites di laboratorium. Semuanya tidak memenuhi kriteria Limbah B3. Yang memakai bakaran industri (stoker boiler), pembakarannya rendah dan masih menghasilkan Limbah B3," kata Vivien.

Namun, menurut Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, pembakaran batu bara atau material lainnya dalam temperatur berapapun hanya akan mengubah bentuknya, dari padat menjadi bentuk lain saja. Dalam konteks batu bara, pembakaran mengubah konten pencemaran batu bara menjadi bentuk partikel kecil atau gas.

"Partikel kecil yang menjadi Fly Ash (abu terbang) atau Bottom Ash (abu padat). Saya meragukan boiler PLTU yang ada di Indonesia sekarang bisa menghilangkan 100 persen kandungan logam berat dari batu bara," kata Fajri, Senin (15/3/2021).

Fajri mengungkapkan, sebagian besar PLTU di Indonesia masih menghasilkan emisi merkuri dalam proses pembakaran batu bara untuk aktivitas produksinya. PLTU Cirebon 1 misalnya, yang beroperasi sejak 2011 dan diperkirakan hingga 2041, akan menghasilkan emisi merkuri sebanyak 4.700 kg sepanjang umur operasinya.

"Nah, batu bara ini selain berkaitan dengan teknologi pembakaran, temperatur dan lain-lain, juga berkaitan dengan alat pengendali pencemaran udaranya. PLTU-PLTU di Indonesia wajib kendalikan emisi merkuri per 2019."

Berdasarkan kewajiban tersebut, partikel-partikel yang mengandung merkuri yang keluar dari cerobong asap PLTU akan ditangkap menggunakan alat pengendali pencemaran udara. Alat tersebut bernama Electrostatic Precipitator dan Flue Gas Desulphurization.

Mayoritas PLTU di Indonesia, lanjut Fajri, sudah menggunakan Electrostatic Precipitator untuk menangkap partikel, tapi untuk penggunaan Flue Gas Desulphurization (FGD), masih jarang. Namun begitu, meski tertangkap Electrostatic Precipitator merkuri-merkuri tersebut tidak lantas hilang, melainkan jatuh menjadi abu batu bara dalam berbagai bentuk.

"Jadi ok nih merkuri yang keluar dari cerobong bisa diminimalisasi dengan alat pengendali pencemaran udara tadi. Tapi merkurinya bukan berarti hilang, dia ditangkap alat pengendali pencemaran udara itu dan jatuh menjadi abu batu bara dalam berbagai bentuk."

Berdasarkan data FABA yang dihasilkan PLTU Suralaya 9 dan 10 Tahun, Fajri melanjutkan, batu bara yang dibakar untuk operasi produksi 2 unit turbin PLTU berkapasitas 2 x 1.000 MW itu mencapai 26.588 ton per hari. Kadar abu yang dihasilkan adalah sekitar 39.882 ton per bulan atau sama dengan 478.584 meter kubik per tahun.

"Yang terdiri dari 20 persen Bottom Ash yaitu 7.975,4 ton per bulan, 80 persen Fly Ash yaitu sebesar 31.905,6 ton per bulan, ampas (slag) sebesar 3,4 ton per bulan dan pyrite sebesar 40 ton per bulan."

Fajri berpendapat, pemerintah sebaiknya menggunakan pendekatan yang lebih hati-hati dalam menentukan status FABA ini. Daripada melakukan generalisasi semua FABA dari PLTU dengan teknologi selain stocker boiler adalah Limbah Non B3, akan lebih baik penentuannya dibuat berdasarkan kasus per kasus, melalui uji yang representatif dan juga terbuka pada publik.

"Mendorong pemanfaatan abu batu bara tidak perlu juga dengan melepas statusnya dari daftar Limbah B3."

Pendapat sama juga disampaikan Dwi Sawung, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional. Sawung menganggap pembakaran sempurna batu bara yang dihasilkan PLTU, tidak bisa diartikan bahwa zat beracunnya dipastikan hilang. Logam berat tidak berubah menjadi material lain, sehingga tetap beracun.

"PC (pulverized coal) ini tidak di semua PLTU dan tidak semua PLTU sama juga jenis batu baranya dan sistem air pollution controlnya," ujar Sawung, Senin (15/3/2021).

Dari hasil uji laboratorium terhadap sampel FABA PLTU Suralaya, angka Lethal Concentration 50% (LC50) - konsentrasi suatu zat yang dapat mengakibatkan kematian pada 50% hewan percobaan - Fly Ash dan Bottom Ash tercatat masih tinggi. Pada Fly Ash seberat 15.480 mg/kg dan pada Bottom Ash 5 mg/kg.

Selain LC50, angka Lethal Dose 50% (LD50) - dosis zat tertentu yang dapat mengakibatkan 50% respon kematian pada populasi hewan uji dalam jangka waktu tertentu - Fly Ash dan Bottom Ash yang dihasilkan dari pembakaran batu bara PLTU Suralaya juga tinggi. LD50 pada Fly Ash PLTU Suralaya seberat 33 mg/kg, sedangkan Bottom Ash 2.000 mg/kg.

"Ini kalau dari uji yang lebih independen oleh lembaga pemerintah lainnya, LC50 dan LD50 masih tinggi. Sebenarnya ketika dalam daftar Limbah B3 bukan berarti tidak bisa dikelola atau dimanfaatkan, tapi perlu dites terlebih dahulu. Ketika keluar dari daftar Limbah B3, maka pemanfaatannya akan lebih bebas."