Massa Aksi: “Sawit bukan solusi dapur orang di Tanah Papua”

Penulis : Sandy Indra Pratama

Lingkungan

Rabu, 17 Maret 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Solidaritas Peduli Mayarakata Adat dan Buruh Sorong Raya mendesak semua pihak agar menghentikan eksploitasi wilayah kelola masyarakat adat dan memenuhi seluruh hak buruh industri di wilayah Sorong Raya, Papua Barat.

“Karena hak milik atas tanah adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia maka jangan biarkan kami menjadi asing di atas tanah Adat kami sendiri,” ujar Koordinator Aksi Falen Tinus Maas, dalam siaran pers yang diterima betahita, Rabu, 17 Februari 2021.

Menurut Falen, berdasar data ekspansi perkebunan sawit kini sudah mencapai lebih dari separuh luas wilayah Kabupaten Sorong Papua Barat. Itu berpotensi besar menjadi ancaman yang sangat serius bagi masyarakat Adat Suku Moi yang mendiami wilayah-wilayah yang dikuasai oleh perkebunan sawit.

“Mereka akan kehilangan Hutan yang di anggap sebagai mama atau ibu bagi masyarakat adat. Sementara hampir seluruh kehidupan mereka bergantung pada hutan,” ujarnya.

Pantauan dari udara kebakaran di konsesi kelapa sawit PT Dongin Prabhawa di kabupaten Mappi, Papua, pada 2013./Foto: Ardiles Rante/Greenpeace

Pemerintah telah menerbitkan kebijakan dan menetapkan tanah dan hutan di Kabupaten Sorong sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Artinya, kepentingan industri dan usaha ekonomi skala besar akan hadir berdampingan dengan masyarakat. Hal itu berpotensi mengancam dan merugikan hak-hak masyarakat adat Moi.

“Kami tegaskan nasib kami bukan ditentukan dari kelapa sawit tapi oleh Tuhan. Hutan dan alam telah mengajarkan dan membesarkan kami. Kelapa sawit bukan solusi dapur orang Papua khususnya orang Moi,” ujar Falen tegas.

Gerakan meminta hak menentukan nasibnya sendiri dihargai tanpa intervensi.

Putusan Mahkama Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, berbunyi hutan adat bukan lagi hutan milik Negara. Hutan adat harus dikembalikan kepada masyarakat adat Moi.

“Putusan berkebalikan kenyataan di lapangan. Itu hanya tertulis dalam kertas,” katanya.  (BACA: Deforestasi Papua: Saatnya Adat Digusur Kota)

Di lapangan, pemerintah atau dinas-dinas terkait menguasai hutan adat tersebut, dan Pemberian ijin-ijin pengolahan hutan pun dikeluarkan secara gegabah oleh pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat tanpa bersosialisasi dengan masyarakat adat suku Moi.

Oleh karenanya, Massa Aksi yang berencana menggelar demonstrasi hari ini menuntut: Sahkan RUU Masyarakat adat, Tolak perluaskan jalan kek di wilayah marga klagilit, Respon permintaan buruh buruh PT IKSJ, usut persoalan Perampasan lahan oleh PT IKS di marga klagilit ,kutumun, Stop membagi wilayah adat untuk kepentingan ekonomi nasional dan Tolak pemekaran Kabupaten Malamoi.

Mandat Otonomi Khusus Saja Belumlah Cukup

Selama beberapa tahun belakangan, Yayasan Pusaka melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat di beberapa daerah di Tanah Papua. Pendampingan dimaksud difokuskan dalam bentuk memberikan bantuan hukum, peningkatan kapasitas, misalnya soal pengetahuan tentang aturan-aturan, pemetaan partisipatif wilayah adat, memfasilitasi lobi dan diskusi dengan pengambil kebijakan, riset partisipatif dan kampanye.

Menurut Rassela, mandat otonomi khusus (otsus) sebenarnya adalah untuk melindungi, mengakui dan menghormati wilayah adat di Tanah Papua, bisa dilihat dari substansi pasal-pasalnya. Setiap investasi yang masuk harus mendapatkan persetujuan.

"Namun menurut kami itu belum cukup, pengakuan seperti itu setengah hati, masih abai terhadap konteks lokal di tingkat akar rumput. Masyarakat kadang tidak tahu menahu bahwa ada izin di atas tanah mereka misalnya, lalu perusahaan datang berkata bahwa mereka sudah dapat izin dan tinggal meminta persetujuan dari masyarakat untuk memulai aktivitas."

Hal tersebut, kata Rassela, mengandung logika terbalik. Pemilik sah tanah ulayat di Tanah Papua adalah masyarakat adat. Negara hadir justru baru belakangan, sehingga izin apapun itu yang dikeluarkan, harus pertama-tama bertanya dan meminta izin mereka, bukan menempatkan persetujuannya mereka di ujung proses. Sehingga ketidaktahuan itulah yang kadang membuat masyarakat adat sering berada pada situasi rumit perundingan atau proses mendapatkan persetujuan.

"Pengakuan itu harus sifatnya aktif, inventarisir wilayah adat dan keberadaan masyarakat adat. Dan dari sana dibuat komitmen jangan menerbitkan izin apapun sebelum berkonsultasi dengan masyarakat adat. Jangan tempatkan masyarakat hukum adat di ujung saja, tapi dari awal. Sebenarnya sudah ada perdasus, tapi syaratnya juga sangat rumit," tutup Rassela.