Referendum Swiss, Lampu Hijau Industri Sawit Indonesia di Eropa?
Penulis : Akhmad Kamaluddin
OPINI
Senin, 22 Maret 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Drama panjang hubungan dagang antara Indonesia dengan Swiss akhirnya berakhir. Negara yang terletak di benua biru tersebut akhirnya memutuskan untuk menerima ekspor kelapa sawit dan turunannya dari Indonesia. Keputusan ini diambil setelah Pemerintah Swiss melakukan pemungutan suara melalui referendum yang dilaksanakan pada 7 Maret 2021. Hasil voting tersebut menghasilkan 51,6 % dukungan warga Swiss terhadap perjanjian perdagangan dengan Indonesia.
Hubungan kerja sama tersebut dilakukan dengan skema ekonomi komprehensif melalui perjanjian Indonesia–European Free Trade Association Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia–EFTA CEPA atau IE–CEPA). Perlu diketahui, IE-CEPA adalah perjanjian kemitraan ekonomi antara negara-negara EFTA (European Free Trade Association) yang beranggotakan Swiss, Norwegia, Islandia dan Liechtenstein dengan Indonesia. Perjanjian IE–CEPA sendiri telah ditandatangani pada 16 Desember 2018 di Jakarta. Perjanjian tersebut membebaskan bea masuk atas ekspor minyak sawit/Crude Palm Oil (CPO) dari indonesia. Begitu pula ekspor dari Swiss seperti produk farmasi, keju, dan elektronik akan dibebaskan dari bea masuk ke Indonesia. Selain itu, dengan berlakunya perjanjian ini akan berpengaruh terhadap perdagangan produk-produk lain yang disepakati kedua negara tersebut.
IE-CEPA bertujuan untuk memperbaiki akses pasar dengan menghapuskan hambatan perdagangan di kedua pihak. Bentuknya antara lain berupa akses yang lebih baik ke pasar Indonesia sekaligus mempromosikan prinsip keberlanjutan di seluruh sektor. Sebelumnya Indonesia dan negara di Eropa Tengah itu sempat bersitegang dalam hubungan kerja sama dagangnya. Terutama pada sektor pertanian yaitu kelapa sawit. Minyak sawit Indonesia cukup banyak digunakan di industri makanan dan minuman di negara tersebut Kelapa sawit dan turunannya sempat mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok di negara tersebut. Penolakan mengenai produk kelapa sawit dituding sebagai penyebab laju deforestasi di negara yang memiliki hutan hujan tropis ini.
Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi melalui keterangan tertulis mengatakan, menyambut baik rencana kerja sama di bidang keberkelanjutan (sustainability) yang diatur dalam perjanjian tersebut. Indonesia menyatakan siap untuk bekerja sama dalam peningkatan perdagangan dan investasi di bawah payung IE–CEPA yang mengakui semangat kerja sama, saling menghargai, dan saling menguntungkan untuk produk andalan Indonesia, minyak sawit dan turunannya. Salah satunya lewat Indonesia–Swiss Economic Cooperation and Development Programme 2021-2024, dengan salah satu fokus kerja samanya yaitu terkait rantai nilai yang berkelanjutan (sustainable value chain).
Dari sisi ekspor nonmigas, pada 2020 ekspor Indonesia ke EFTA mencapai USD 2,45 miliar dan impor dari EFTA tercatat sebesar USD 830 juta. Kondisi tersebut menyumbang surplus bagi neraca perdagangan nonmigas Indonesia sebesar USD 1,62 miliar. Masih dari sisi nonmigas, sebesar 97,77 persen ekspor Indonesia ke EFTA diserap oleh Swiss. Di sisi lain, impor Indonesia dari EFTA datang dari Swiss sebesar 81,33 persen.
Guy Parlemin, Head of Federal Department of Economic Affairs, Education and Research Swiss, mengaku optimis bahwa hubungan dagang dengan Indonesia akan meningkat dengan adanya IE–CEPA. Selain itu, pelaku usaha dan investor Swiss juga menyambut baik Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan Indonesia. Guy menambahkan, bahwa Swiss akan selalu mendukung Indonesia dalam memproduksi minyak sawit berkelanjutan meskipun masih ada kelompok-kelompok yang kontra terhadap perjanjian tersebut. Pemerintah Swiss tetap mempertimbangkan masukan dari berbagai stakeholder seperti organisasi non-pemerintahan dalam mengambil keputusan.
Meskipun ekspor minyak sawit mendapat angin segar, bukan berarti kedepannya tidak ada tantangan. Masih ada sebanyak 48,4 % suara yang belum mendukung kesepakatan kerja sama tersebut. Mayoritas penolakan tersebut berasal dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di negara tersebut. Mereka masih belum sepenuhnya menaruh keyakinan terhadap pengelolaan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Mereka beranggapan bahwa perkebunan kelapa sawit dan produksi turunannya berdampak terhadap perusakan hutan hujan dan berimplikasi kepada pemanasan global. Sehingga dengan adanya perjanjian ini, produksi kelapa sawit di Indonesia harus benar-benar memerhatikan aspek pro terhadap lingkungan. Selain itu, ekspor CPO dari Indonesia harus memenuhi standar lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah Swiss.
Perjanjian tersebut memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia selaku salah satu produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Perlunya optimalisasi produk kelapa sawit dalam negeri dalam memperkuat daya saing di pasar global. Selain itu, diplomasi harus dikuatkan dalam upaya memberikan kesepahaman mengenai kelapa sawit dengan negara-negara di benua biru tersebut. Perlu diperhatikan pula, sebelum memperkuat diplomasi dengan negara-negara mitra dagang. Industri kelapa sawit Indonesia harus benar-benar memahi kaidah-kaidah keberlanjutan dalam melakukan usaha. Produk yang dijual harus benar-benar memenuhi standar sertifikasi yang ditetapkan.
Pelaku usaha harus memastikan seluruh produk minyak sawit (CPO) dan turunannya bebas isu lingkungan, hak asasi manusia, dan ketenagakerjaan melalui sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Karena sampai sekarang, dari total sekitar 16,8 juta hektar luas kebun sawit di Indonesia, hanya sekitar 10-15 persen saja yang memiliki sertifikat RSPO, sementara sertifikat ISPO hanya sekitar 25-30 persen. Oleh karena itu, selain mengedepankan peningkatan industrialisasi dan investasi atas perjanjian tersebut, produk yang dijual harus benar-benar berasal dari kelapa sawit yang berkelanjutan.
Penulis: Akhmad Kamaluddin
Peneliti Direktorat Perkebunan Yayasan Auriga Nusantara