Menteri Sri: Perubahan Iklim Tantangan Ekonomi Setelah Pandemi

Penulis : Tim Betahita

Perubahan Iklim

Rabu, 31 Maret 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan negara-negara di seluruh dunia masih akan menghadapi tantangan sosial dan ekonomi setelah pandemi Covid-19 mereda. Tantangan tersebut merupakan perubahan iklim yang dapat menimbulkan berbagai fenomena, seperti anomali cuaca dan bencana alam.

“Ada tantangan di level global, yaitu di bidang perubahan iklim, yang sama dengan Covid-19 dan akan mengancam seluruh dunia. Adanya kenaikan permukaan laut bisa menyebabkan perubahan iklim dan musim yang semakin sulit ditebak,” ujar Sri Mulyani dalam acara dialog publik Badan Kebijakan Fiskal, Selasa, 30 Maret 2021.

Sri Mulyani menerangkan, perubahan iklim akan mendorong perubahan cuaca secara ekstrem sehingga dapat menimbulkan korban harta benda dan korban jiwa. Selain itu, perubahan iklim memiliki potensi menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor.

Menyitir studi United Nations Emergency Force atau UNEF, Sri Mulyani mengatakan telah terjadi peningkatan suhu permukaan global sebesar 1,1 persen dari suhu prainudstrialisasi. Bahkan studi baru menunjukkan bahwa pada 2030, kenaikan suhu diprediksi bisa mencapai 3,2 derajat Celcius.

Ilustrasi perubahan iklim. (flickr.com)

Potensi kenaikan suhu yang ekstrem bahkan tetap terjadi meski negara-negara telah menunjukkan komitmen nasionalnya mencegah perubahan iklim melalui Perjanjian Paris atau Paris Agreement. Kenaikan ini pun jauh melebihi batas ambang atau treshold sebesar 1,1 persen yang dianggap sudah mengancam dunia.

Sebagai negara dengan populasi yang besar, Sri Mulyani mengatakan Indonesia harus ikut aktif dalam mencegah menjaga iklim dunia melalui program-program mitigasi dan adaptasi. Sebab, akibat dari memburuknya iklim akan mengancam perekonomian.

Saat ini, Indonesia tengah melaksanakan program Nationally Determined Contributions (NDC) untuk mengurangi emisi CO2 sebanyak 29 persen pada 2030 melalui peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT) dengan target 23 persen. Penurunan emisi bisa lebih besar hingga 41 persen seumpama Indonesia memperoleh dukungan dunia.

“Untuk mencapai energi mix 23 persen, dibutuhkan strategi yang jauh detail dan mendalam, terutama dari aspek konsekuensi pendanaan,” ujar Sri Mulyani.

Dari sisi pendanaan, Sri Mulyani mengatakan Indonesia mewakili negara berkembang dan Finlandia terpilih menjadi co-chairs dalam Koalisi Menteri Keuangan untuk melaksanakan aksi perubahan iklim sejak April 2021 hingga April 2023. Indonesia menggantikan posisi Chili.

Koalisi ini dibangun saat Indonesia menjadi tuan rumah sidang tahunan IMF di Bali pada 2018. Sri Mulyani mengatakan koalisi ini bertujuan mendorong menteri-menteri keuangan menggunakan kebijakan fiskal, mengelola keuangan publik, dan memobilisasi pendanaan untuk mendanai program-program yang berhubungan dengan penanganan perubahan iklim, baik di level domestik maupun global.

“Terpilihnya Indonesia sebagai co-chairs menunjukkan bahwa kita diperhitungkan di dunia termasuk dalam mengatasi climate changes. Posisi Indonesia yang strategis sebagai anggota G20 akan menentukan capaian untuk mengatasi tantangan ini,” kata Sri Mulyani.


TEMPO |