Gugatan Perdata Walhi Soal Satwa Jadi yang Pertama di Indonesia

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Biodiversitas

Selasa, 06 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - PT Nuansa Alam Nusantara (NAN), pemilik Kebun Binatang Mini yang ada di Kabupaten Padang Lawas Utara digugat, karena memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin. Gugatan tersebut diajukan oleh WAHLI Sumatera Utara (Sumut) dan LBH Medan di Pengadilan Negeri (PN) Padang Sidempuan, pada Rabu (31/3/2021) pekan lalu, dengan nomor perkara 9/Pdt.G/LH/2021/PN Psp. Berdasarkan catatan, gugatan perdata ini merupakan gugatan perdata terkait satwa pertama di Indonesia.

Kebun Binatang Mini itu diketahui telah dioperasikan secara ilegal tanpa izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Dengan memelihara sejumlah hewan paling langka dan ikonik di Indonesia. Termasuk orangutan sumatera, komodo dan banyak spesies burung yang dilindungi seperti cendrawasih, kakatua dan kasuari. Secara keseluruhan, ada setidaknya 43 hewan dari 18 spesies, yang semuanya dilindungi undang-undang dan diperdagangkan secara ilegal dari alam liar.

"Pada 2019, polisi menggerebek kebun binatang untuk menyita dan menyelamatkan satwa tersebut. Pemilik perusahaan dan orang-orang yang terlibat harus bertanggung jawab atas pelanggaran hukum. Selain itu, mereka juga harus dimintai pertanggungjawaban atas perbaikan kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan perusahaannya," ujar Direktur WALHI Sumut, Doni Latuparisa, Senin (5/4/2021).

Doni melanjutkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan, ketika seseorang secara ilegal menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan, Pengadilan dapat memerintahkan pihak yang bertanggung jawab untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkannya.

Seekor komodo sitaan dari PT NAN yang dititipkan di Kebun Hewan Siantar./Foto: Betahita.id

UU tersebut juga telah melarang perusahaan yang secara ilegal membakar lahan pertanian, dan diperintahkan untuk menghutankan kembali ekosistem yang mereka rusak. Proses hukum ini juga harus diterapkan kepada para pelaku perdagangan satwa liar ilegal yang serius, dengan meminta agar mereka memperbaiki kerusakan yang mereka timbulkan pada hewan individu, kelangsungan hidup spesies dan manusia.

"Dalam hal ini instansi pemerintah yang memiliki kewenangan harus melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara tegas oleh para pelaku perdagangan hewan ilegal. Apalagi dalam hal ini yang dipelihara adalah spesies kunci yang terancam terancam punah. Kepunahan Jika hewan-hewan ini akan punah maka bukan tidak mungkin hal ini akan berdampak pada manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, kami akan mengawal kasus ini ke pengadilan agar pelakunya harus bertanggung jawab atas kerugian yang mereka timbulkan," lanjut Doni.

Beberapa poin tuntutan kepada para pelaku di antaranya:

  • Memberikan kompensasi finansial untuk memungkinkan perawatan, rehabilitasi dan pelepasan orangutan yang diselamatkan dari PT Nuansa Alam Nusantara.
  • Membiayai patroli tambahan dan pemantauan ilmiah terhadap populasi orangutan di Sumatera Utara untuk membantu pemulihan populasi mereka dan menggantikan hewan yang diambil oleh kebun binatang.
  • Minta maaf kepada publik atas kerusakan yang ditimbulkan pada masyarakat
  • Memberikan kompensasi finansial untuk mengembangkan pameran pendidikan tentang perdagangan satwa liar ilegal dan dampaknya terhadap konservasi dan kesejahteraan manusia.

"Hukum Indonesia harusnya memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Kami telah menyiapkan kasus yang beralasan baik berdasarkan pendekatan berbasis sains yang jelas untuk dipertimbangkan oleh pengadilan. Ini akan menjadi kasus penting bagi seluruh rakyat Indonesia dan dunia untuk menunjukkan bahwa kami serius menggugat penyelundup hewan untuk meminta pertanggungjawaban mereka atas tindakan mereka," tambah Kuasa Hukum LBH Medan, Alinafiah Matondang.

Dalam gugatan perbuatan melawan hukum tersebut, terdapat dua pihak yang tergugat. Yakni terhadap PT NAN sebagai pihak Tergugat dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut, sebagai Turut Tergugat.

PT NAN sebagai Tergugat, sejak berdiri tahun 2017 hingga bulan juli tahun 2019 tidak memiliki izin sebagai Lembaga Konservasi dari menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sehingga secara hukum Tergugat tidak mempunyai hak untuk melakukan aktivitas terhadap tumbuhan dan satwa liar baik itu dalam bentuk Penguasaan maupun Pengusahaan.

Dengan tidak adanya Izin Lembaga Konservasi dari Menteri Kehutanan, maka dapat dikatakan jika Tergugat telah melakukan Perbuatan melawan hukum karena faktanya sejak tahun 2017 hingga bulan Juli tahun 2019 Tergugat telah beroperasi dengan bertindak sebagai lembaga konservasi dalam bentuk Kebun Binatang Mini (Mini Zoo).

Kemudian, Turut Tergugat merupakan organ pemerintah yang berwenang dalam melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup sehingga patut dan berdasarkan hukum yang benar jika biaya kerugian yang timbul akibat perbuatan melawan hukum Tergugat diserahkan kepada Turut Tergugat untuk melaksanakan pemulihan lingkungan.