PBB Akui Masyarakat Adat Merupakan Penjaga Terbaik Hutan Alam
Penulis : Kennial Laia
Hutan
Rabu, 07 April 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkap, masyarakat adat merupakan penjaga terbaik hutan alam. Hal ini ditunjukkan oleh wilayah hutan adat di Amerika Latin, yang memiliki laju deforestasi di atas 50 persen lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di dunia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, yang menerbitkan laporan itu, mengatakan, masyarakat adat yang tinggal di dalam teritori hutan memiliki peran penting dalam melawan kemiskinan, kelaparan, dan malnutrisi. Selain itu, praktik pelestarian hutan oleh masyarakat adat juga krusial dalam aksi iklim global dan regional.
“Wilayah mereka terdiri dari sepertiga dari seluruh karbon yang tersimpan di hutan-hutan Amerika Latin dan Karibia serta 14 persen dari karbon yang tersimpan di hutan tropis dunia,” kata Perwakilan Regional FAO Julio Berdegué dalam keterangan tertulis.
Laporan itu menyebut, hasil terbaik terlihat di wilayah adat yang telah diakui hak kolektifnya oleh pemerintah. Ini terjadi di Bolivia, Brazil, dan Kolombia yang hutannya terentang sepanjang Lembah Amazon. Dari 404 juta hektare yang ditempati oleh masyarakat adat, pemerintah telah secara resmi mengakui kepemilikan kolektif atau hak guna seluas lebih dari 269 juta hektare. Untuk mengurus hak atas, hanya diperlukan US$ 6 di Kolombia dan US$ 45 di Bolivia.
Antara 2000 dan 2012, laju deforestasi di wilayah adat tiga negara tersebut disebut hanya setengah hingga sepertiga dari hutan lainnya dengan karakteristik serupa.
Laju deforestasi di wilayah adat telah dipastikan 2,8 kali lebih rendah dibandingkan area non-adat di Bolivia; 2,5 kali lebih rendah di Brazil; dan dua kali lebih rendah di Kolombia. Jika digabungkan, wilayah adat di tiga negara tersebut menghindari antara 42,8 dan 59,7 juta metrik ton emisi karbon dioksida setiap tahunnya. Emisi gabungan ini setara dengan mengeluarkan antara 9 dan 12,6 juta kendaraan dari sirkulasi selama setahun.
Laporan itu mengungkap, desakan pengakuan terhadap hak masyarakat adat meningkat beberapa tahun terakhir. Namun, hal itu terjadi dengan meningkatnya kasus persekusi, rasisme, dan pembunuhan terhadap masyarakat adat. Dukungan terhadap masyarakat adat saat ini menjadi sangat penting dengan adanya peringatan para ilmuwan bahwa hutan Amazon berada di ambang perubahan lanskahp dari hutan hujan tropis ke savanna, yang dapat menyebabkan pelepasan miliaran ton karbon ke atmosfir.
Laporan itu ditulis oleh FAO bersama the Fund for the Development of Indigenous Peoples of Latin America and the Caribbean (Filac) berdasarkan review terhadap lebih dari 300 kajian.
Direktur FILAC Myrna Cunningham mengatakan, 45 persen dari hutan yang masih bertahan di Basin Amazon berada di wilayah adat. Antara 2000 dan 2016, tutupan hutan yang hilang di area ini 4,9 persen. Sedangkan wilayah non-adat turun hingga 11,2 persen.
“Ini membuktikan mengapa suara dan visi mereka harus dipertimbangkan dalam semua inisiatif dan kerangka kerja global yang berkaitan dengan isu seperti perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan kehutanan,” kata Cunningham.
Saat ini, di Lembah Amazon, masyarakat adatnya telah terlibat dalam sistem pemerintahan komunal antara 320 dan 380 juta hektare, yang menyimpan sekitar 34.000 juta metrik ton karbon, lebih dari semua hutan di Indonesia atau Republik Demoktatik Kongo.
Sementara itu, wilayah adat Lembah Amazon kehilangan kurang dari 0,3 persen karbon di hutan mereka antara 2003 dan 2016; kawasan lindung non-adat kehilangan 0,6 persen; dan kawasan lain yang bukan merupakan wilayah adat atau kawasan lindung kehilangan 3,6 persen. Akibatnya, walau wilayah adat mencakup 28 persen dari hutan Amazon, mereka hanya menghasilkan 2,6 persen dari emisi karbon bruto dari seluruh hutan tersebut.