Ragam Penyakit Akibat Perubahan Iklim Dalam Teropong Intelijen AS

Penulis : Sandy Indra Pratama

Perubahan Iklim

Selasa, 13 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Prediksi dan analisis soal bagaimana kehidupan manusia serta relasinya baik dengan sesama manusia maupun alam, tertuang dalam laporan telik sandi setebal 156 halaman yang diterbitkan oleh Dewan Intelijen Nasional -sebuah lembaga pengkaji dan prakiraan strategis Amerika Serikat (NIC), akhir Maret lalu.

Menurut NIC yang juga bertugas mengumpulkan informasi dari para agen intelijen AS dari seluruh dunia ini, menyatakan perubahan iklim merupakan hal yang menjadi sorotan utama intelijen AS untuk beberapa dekade ke depan, hingga 2040. Termasuk mempengaruhi persoalan kesehatan.

“Perubahan iklim menebarkan ancaman bagi kesehatan manusia,” seperti yang ditulis laporan intelijen “Global Trends” report yang dikeluarkan oleh Dewan Intelijen Nasional AS.

Kondisi ekstrem pada beberapa dekade ke depan jelang 2040, di mana kondisi air berkurang dipastikan berkurang, kualitas udara memburuk, minimnya bahan makanan akibat perubahan iklim, bakal menyebabkan timbulnya perubahan terhadap vektor penyakit dan patogen. “Kondisinya jadi jauh lebih mengancam manusia, bahkan akan meningkatkan tingkat kematian,” ujarnya.

Ilustrasi Deforestasi di Indonesia. (Dok. Auriga)

Ragam penyakit mematikan yang diprediksi timbul akibat perubahan iklim, seperti ditulis Global Report, antara lain penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor (West Nile, malaria, Dengue), ditularkan melalui air (kolera), ditularkan melalui udara (influenza, hantavirus), dan yang ditularkan melalui makanan (salmonella).

Posisi geografis, nantinya akan mempengaruhi penyebarannya. Jika dalam kondisi tak terkendali maka bukan mustahil wabah baru akan menyebar cepat di negara-negara miskin.

“Biasanya tertinggi di negara-negara berpenghasilan menengah di Asia Timur dan Selatan,”

Pada telaahan pertama dan kedua, NIC mengatakan pihak yang paling dirugikan dan bakal menerima akibat paling fatal memang negara-negara miskin dan berkembang di dunia. Rata-rata negara tersebut padahal merupakan negara dengan cadangan sumber daya alam yang kaya semacam Indonesia.

“Degradasi lingkungan akibat eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, lantas tidak siapnya negara dengan langkah antisipasi dari dampanya, bisa mengakibatkan krisis besar yang fatal,” seperti dituliskan dalam dokumen NIC.

Bencana kelaparan dan krisi air merupakan hal yang paling memungkinan.

Meningkatnya suhu juga rusaknya sumber daya dukung alam akibat eksploitasi manusia cenderung mengarah pada serangkaian risiko soal kerawanan bagi manusia. Sebuah studi pada 2018 menyatakan 36 persen kota secara global hari ini menghadapi tekanan lingkungan akut dari bencana yang bernama kekeringan, banjir, dan angin topan; ke depan perubahan iklim
akan menambah ini.

Tantangan ini akan bertambah satu sama lain di tahun-tahun mendatang; saat peristiwa ekstrem menjadi lebih intens dan lebih banyak sering, masyarakat mungkin berjuang untuk pulih dari satu peristiwa sebelum peristiwa berikutnya muncul, begitu menurut prakiraan Dewan Intelijen Amerika Serikat.

Berubahnya pola curah hujan, kenaikan suhu, peningkatan kejadian cuaca ekstrim, dan semakin jauhnya intrusi air asin ke dalam tanah terdampak sistemik dari kenaikan muka air laut juga kerapnya gelombang badai bakal memperburuj kerawanan pangan dan air di beberapa negara selama 20 tahun mendatang.

Beberapa wilayah di dunia, berdasarkan perhitungan telik sandi Amerika, pertaniannya bakal mengalami kerentanan akibat sistem tadah hujan. Mereka adalah wilayah Afrika Sub-Sahara, Amerika Tengah, beberapa wilayah Argentina dan Brasil, bagian dari kawasan Andes, Asia Selatan, dan Australia.

Sebaliknya, beberapa lintang lebih tinggi wilayah seperti Kanada, Eropa utara, dan Rusia bisa mendapatkan keuntungan dari pemanasan global dengan musim tanam yang lebih panjang.

Perbedaan dan pergeseran ini dipandang serius, seperti ditulis dokumen, sebab diprediksi menjadi penyebab konflik antar negara di masa depan. Akibat krisis air, pertanian jeblok, bahan makanan anjlok, kerawanan pangan membuat kompetisi antar negara menjadi nyata. Sebab kubu geopolitik tidak lagi akan berfungsi sebagai penstabil kondisi, tapi justru memprovokasi.


—Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari telaahan betahita.id terhadap laporan intelijen “Global Trends” report yang dikeluarkan oleh Dewan Intelijen Nasional -sebuah lembaga pengkaji dan prakiraan strategis Amerika Serikat (NIC), akhir Maret lalu.