Seram Wajah Ancaman bagi Pembela Lingkungan

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hukum

Jumat, 16 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Dalam dua tahun terakhir ada banyak halangan dan rintangan yang dihadapi para aktivis pembela lingkungan dan HAM. Menurut Komnas Hak Asasi Manusia, meski perlindungan HAM sudah diakui dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundangan, namun sistem perlindungan HAM berbasis keamanan korban belum tersedia secara memadai.

Kendala-kendala yang dihadapi para aktivis atau warga pembela lingkungan dan HAM, menurut Komnas HAm itu bisa dibagi dalam dua kategori. Kategori pertama, ancaman dan serangan kekerasan yang meningkat.

Dalam catatan Komnas HAM dari tahun 2015 hingga 2019, kepolisian merupakan pihak yang paling banyak diadukan, disusul korporasi, pemerintah daerah, TNI, lembaga peradilan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Meningkatnya kasus kekerasan terhadap pembela Lingkungan dan HAM ini tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya, peristiwa kekerasan, atau bahkan pembunuhan, cenderung melibatkan banyak aktor. Yayasan Auriga Nusantara merekam dan merangkum banyak kejadian malang yang menimpa para aktivis juga warga pembela lingkungan dan HAM.

Pembela lingkungan dari Meksiko, Isidro Baldenegro López, yang meraih penghargaan prestisius Goldman Environmenral Prize, ditembak mati pada 2017 karena aktivitasnya menentang eksploitasi tanah leluhur di Sierra Madre/Goldman Environmental Prize

Menurut Roni Saputra, Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, dari data yang dihimpunnya ancaman terhadap pembela lingkungan tersebar di seluruh pulau besar Indonesia sejak 2014. Dari total 51 kasus yang terdokumentasi, terbanyak terjadi di Jawa-Bali dengan jumlah 16 kasus). Disusul Sumatera (11 kasus), Kalimantan (10 kasus), Sulawesi (8 kasus), Nusa Tenggara (4 kasus), dan Papua (1 kasus).

Secara wilayah administratif ancaman terhadap pembela lingkungan terjadi di 22 provinsi di Indonesia. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Tengah, masing-masing 5 kasus; menyusul Sumatera Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, masing-masing 4 kasus; kemudian Jambi, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat masing-masing 3 kasus.

Ancaman terhadap pembela lingkungan meningkat drastis dan mengalami puncaknya pada 2016 (14 kasus). Meski menurun pada 2018 (4 kasus), ancaman terhadap pembela lingkungan secara konstan meningkat pada tahun-tahun setelahnya.

“Grafiknya terus meningkat,” ujar Roni kepada betahita. “Banyak kasus di lapangan yang kemudian juga menguap jika bersentuhan dengan aktor-aktor pelaku kekerasan.”

Pembela Lingkungan Dianggap Penghambat Investasi

Dikutip dari The Conversation, Opini dari Herlambang P Wiratraman, pengajar hukum dari Universitas Airlangga mengatakan Paradigma Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan awal Oktober tahun lalu menempatkan upaya perlindungan lingkungan hidup sebagai ancaman dan hambatan bagi percepatan investasi di Indonesia.

Oleh karena itu, pasal-pasal dalam UU yang kontroversial terlihat lebih memihak pada investor dengan menyederhanakan izin untuk investasi dan mengorbankan upaya perlindungan lingkungan hidup.

Tidak hanya merusak lingkungan, saya melihat UU Cipta Kerja juga berpotensi membahayakan para pembela lingkungan.

UU Cipta Kerja tidak hanya membungkam suara para aktivis pembela lingkungan tapi juga mengancam keselamatan mereka.

Kehadiran UU Cipta Kerja yang merupakan draconian law, yaitu hukum yang lebih dirasakan sebagai represi, penyingkiran hak-hak, dan lebih mementingkan kuasa pembentuknya, diharapkan memperparah upaya perlindungan bagi pembela lingkungan.

Setelah disahkannya UU Cipta Kerja 2020, perlindungan terhadap pembela lingkungan akan semakin lemah, terutama karena :

Menguatnya impunitas bagi perusahaan

UU Cipta Kerja dirancang agar korporasi atau perusahaan memiliki ‘impunitas’. Artinya, perusahaan yang terbukti merusak lingkungan atau bahkan terlibat dalam pengerahan preman, akan semakin jarang dimintakan pertanggungjawaban di hadapan hukum.

Sebagai contoh, para pembela lingkungan akan semakin sulit membawa korporasi terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan (karhutla) ke meja hijau.

Hilangnya peran publik

Dalam UU Cipta Kerja, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) tidak menjadi dasar izin Lingkungan, melainkan hanya dokumen administratif belaka. Selain itu, Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan yang tidak melibatkan peran masyarakat setempat, organisasi lingkungan serta kalangan akademisi.

Hilangnya peran publik akan menambah konflik yang baru dan berpotensi meningkatkan risiko intimidasi, ancaman kriminalisasi, hingga kekerasan bagi masyarakat yang terkena dampak.

Terbatasnya institusi perlindungan bagi aktivis

Institusi ketatanegaraan seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM berfungsi secara terbatas sebagai pengawas kekuasaan. Selain tak leluasa menggunakan wewenang hukum, kedua lembaga ini memiliki pendanaan sangat terbatas untuk bisa menjalankan fungsi mereka secara maksimal.

Kondisi ini menyulitkan para pembela lingkungan yang memiliki kekuatan dan perlindungan hukum yang terbatas dalam melakukan advokasi dan menuntut penegakan hukum lingkungan.