HARI BUMI: 10 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia 

Penulis : Kennial Laia

Perubahan Iklim

Kamis, 22 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali memperingatkan dunia untuk segera bertindak mengatasi krisis iklim. Dalam pertemuan puncak di Amerika Serikat, 19 April 2021 lalu, organisasi tersebut mengatakan waktu semakin menipis untuk melakukan upaya perlindungan umat manusia dari bencana akibat krisis tersebut. 

Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat merilis laporan Keadaan Iklim Global 2020. Laporan yang disusun Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) itu mengungkapkan tahun 2020 sebagai salah satu tahun terpanas dalam sejarah. 

“Ini benar-benar tahun yang sangat penting bagi masa depan umat manusia. Dan laporan ini menunjukkan kita tidak punya waktu untuk disia-siakan, gangguan iklim ada di sini,” kata Guterres dalam konferensi pers di Amerika Serikat, Senin lalu. 

Laporan WMO tersebut memaparkan indikator dalam sistem iklim, seperti peningkatan suhu daratan dan lautan, cuaca ekstrem, pencairan es, dan kenaikan permukaan laut. Selain itu, laporan juga menyorot dampak krisis iklim pada pembangunan sosio-ekonomi, ketahanan pangan, migrasi serta masalah pengungsi. 

Para pemuda pegiat lingkungan Greenpeace menuntut perlindungan iklim di Berlin. Dok. Jan Zappner melalui Greenpeace International.

Kepala WMO Petteri Taalas mengatakan, laporan tersebut menunjukkan perubahan iklim terjadi secara terus-menerus. Menurutnya, meningkatnya frekuensi peristiwa terkait krisis iklim akan menimbulkan kerugian parah serta berpengaruh pada ekonomi dan kehidupan masyarakat dunia. 

Lalu apa saja dampak krisis iklim di masa mendatang, khususnya di Indonesia? Betahita mencoba merangkum dampak krisis iklim yang diprediksi akan terjadi dari berbagai laporan dan jurnal ilmiah.

1. Gelombang panas ekstrem 

Indonesia diprediksi mengalami tiga macam gelombang ekstrim panas antara 2020 dan 2052, dan gelombang panas ekstrem setiap dua tahun antara 2068 dan 2100. Gelombang panas ini akan serupa atau memiliki intensitas yang sama dengan yang dialami Rusia pada 2010. Saat itu sebanyak 55,000 jiwa meninggal, menghancurkan sekitar 9 juta hektare tanaman pangan, membunuh semua spesies burung di Moskow, dan menyebabkan kebakaran hutan yang hebat. 

2. Frekuensi karhutla ekstrem meningkat 

Dengan skenario emisi yang tinggi saat ini, provinsi seperti Kalimantan Timur diprediksi akan mengalami pemanasan suhu setidaknya 4°C dan curah hujan berkurang 12% pada 2070-2100. Hal ini dapat mengarah pada kebakaran hutan tahunan yang berlangsung selama 55 hari di Kalimantan Timur pada periode tersebut. 

3. Resiko kekeringan naik 

Karena perubahan iklim, curah hujan di Indonesia pada periode antarmusim diprediksi turun. Akibatnya, 20-30% wilayah di Kalimantan bagian selatan dan Sumatera bagian utara akan lebih kering pada periode 2071-2100, serta 30-40% lebih kering di Jawa dan Sumatera bagian selatan. 

Wilayah Jawa, yang telah rentan banjir, menunjukkan 45 persen potensi kenaikan frekuensi banjir. Sementara itu, Kalimantan Timur akan mengalami indeks banjir di level 893, melonjak dua kali lipat dibandingkan dengan era pra-1990 yang berada di indeks 460. 

4. Resiko banjir meningkat

Antara 1990 dan 2013, bencana banjir di Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi sekitar US$ 5.5 miliar. Angka itu dapat naik seiring perubahan iklim hingga 91%pada 2030 akibat naiknya intensitas curah hujan. Bencana banjir diproyeksikan semakin parah di wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua. 

5. Kerusakan akibat topan 

Selain banjir, peristiwa cuaca ekstrem di Indonesia yang dapat memakan korban jiwa adalah badai. Sebelumnya pada 2019, Topan Savana sempat memporak-porandakan dan menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar hingga USD 7,5  juta khusus di wilayah Indonesia. Secara global, proporsi siklon tropis yang sangat kuat dari kategori empat dan lima akan meningkat di bawah skenario emisi yang lebih tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mengaitkan dampak topan Seroja, yang memicu bencana banjir dan tanah longsor di Nusa Tenggara Timur pada 2021, hingga perubahan iklim khususnya peningkatan suhu perairan sekitar 4°C. 

6. Naiknya permukaan laut dan banjir pesisir 

Sejak 2000 hingga 2030 mendatang, kenaikan permukaan air laut saja akan menambah resiko masyarakat terpapar banjir pesisir sebesar 19-37%. Saat ini Pulau Jawa telah rentan terhadap banjir pesisir, dan diprediksi semakin rentan pada 2030, diikuti bagian utara Sumatera. 

Selain itu, wilayah yang saat ini tidak terpapar banjir ini, seperti Sulawesi Selatan juga beresiko pada 2030. Naiknya permukaan laut, diikuti perluasan perkotaan yang tidak terkendali, dapat menyebabkan kerusakan sebesar US$ 400 juta di seluruh Indonesia pada 2030. 

7. Penurunan produksi beras 

Studi terbaru mengungkapkan bahwa suhu udara memiliki pengaruh terbesar terhadap hasil panen padi Ciherang, Jawa Barat, yang menyumbang sekitar setengah dari produksi besar Indonesia. 

Sumatera bagian utara, Jawa, dan seluruh Kalimantan diprediksi dapat mengalami penurunan hasil panen sebesar 20-30% pada tahun 2039-2042 di bawah skenario emisi yang lebih tinggi. Papua Barat terparah dengan dampak penurunan sebesar 30 persen dan diperkirakan terjadi di sebagian besar wilayah dataran rendah. 

Penurunan hasil padi akan berdampak negatif pada masyarakat lokal, swasembada Indonesia, dan Produk Domestik Bruto. Studi lain menemukan bahwa kenaikan suhu 2°C dan penurunan curah hujan sebesar 246 mm dapat meningkatkan defisit beras Indonesia sebesar 38%, dari 65 juta ton menjadi 90 juta ton.

8. Produksi kopi merosot 

Kenaikan suhu seiring dengan perubahan curah hujan diperkirakan berdampak pada wilayah penghasil kopi di Indonesia sebesar 85%. Saat ini wilayah paling cocok untuk produksi kopi arabika adalah Aceh, Sumatera Utara, Sulawsi, Flores, Bali, dan Jawa Timur dengan total luas 360.000 hektare. Seluas 210.000 hektare di antaranya berada di Sumatera Utara. 

Kenaikan suhu 1.7°C dapat menurunkan area produksi menjadi 57.000 hektare -- lebih dari 15% dari area yang saat ini digunakan. Sumatera Utara dan Aceh akan kehilangan 90% dari lahan produksi, Sulawesi dan Bali 67-75%, dan Flores akan berubah menjadi wilayah tidak efektif bagi produksi kopi. 

9. Terumbu karang dan wisata bahari berpotensi lenyap

Sekitar 29% area pariwisata Indonesia berada di pesisir, namun di luar perkotaan. Wisata terumbuh karangnya megnhasilkan hampir US$ 2 miliar per tahun, dengan pariwisata di sekitarnya bernilai US$ 1,1 miliar. Secara keseluruhan, wisata terumbu karang Indonesia menarik profit setidaknya US$ 3,1 miliar setiap tahunnya. 

Sementara itu, karang diperkirakan akan menurun drastis secara global jika pemanasan global dibatasi hingga 1,5 °, namun terumbu karang tersisa masih dapat menghasilkan profit bagi negara. Namun, kenaikan suhu pada 2 °C akan menghilangkan hampir semua karang, dan berujung pada lenyapnya industri wisata yang bergantung pada terumbu karang.

10. Pertumbuhan ekonomi mengerdil 

Setiap tahun Indonesia kehilangan US$ 45 juta antara 2000-2019 akibat bencana alam terkait iklim, dan hal ini diprediksi akan meningkat secara substansial. Dengan skenario emisi tinggi, beberapa ekonom telah memperkirakan pertumbuhan PDB Indonesia pat mencapai puncak di US$ 8,800 per kapita -- kontras dengan proyeksi sebesar US$ 38,500 per kapita pada 2100, dengan skenario tanpa perubahan iklim. GDP per kapita itu diperkirakan jatuh sebesar 31% antara 2040-2059 di Indonesia, dan 78% pada 2080-2099. Prediksi ini pun disebut masih konservatif.