Hakim Dinilai Tak Profesional Tangani Perkara Syamsul-Samsir

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hukum

Senin, 26 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Perkara Syamsul Bahri dan Samsir, dua pejuang mangrove di Langkat, Sumatera Utara, telah memasuki sidang ke-6. Pada sidang sebelumnya, pekan kemarin, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, mengeluarkan Putusan Sela atas perkara yang terdaftar dengan nomor perkara 124/Pid.B/2021/PN Stb itu. Penasehat Hukum (PH) Syamsul dan Samsir menilai, Majelis Hakim tidak profesional dalam memutus perkara ini.

Kepala Divisi Sumber Daya Alam, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Muhammad Alinafiah Matondang, yang merupakan pembela Syamsul dan Samsir mengatakan, seluruh dalil eksepsi yang pihaknya ajukan dianggap harus dibuktikan pada pemeriksaan pokok perkara dan terdapat salah pengetikan.

Ali menjelaskan, pada persidangan pembacaan dakwaan, Majelis Hakim telah memastikan identitas Terdakwa yang bernama Syamsul Bahri alias Syamsul dan M. Samsir alias Samsir. Namun sesuai uraian dakwaan pertama Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara berulang menyebutkan bahwa yang diduga melakukan perbuatan tindak pidana adalah Samsir, dan atas keberatan pembela sehubungan ketidakjelasan pelaku yang melakukan tindak pidana Majelis Hakim mempertimbangkan harus melalui proses pemeriksaan pokok perkara untuk mengetahui siapa sesungguhnya pelaku terduga tindak pidana.

"Dalam hal ini Majelis Hakim seolah tidak pertimbangkan hukum acara yang telah dilaksanakannya dalam memastikan identitas Terdakwa pada awal persidangan sehingga diduga Majelis Hakim tidak profesional dalam memeriksa perkara aquo," kata Ali.

Syamsul Bahri (berbaju cokelat) dan Samsir (berbaju biru), bapak dan anak yang diduga dikriminalisasi karena merehabilitasi mangrove di Langkat./Foto: Betahita.id

Tak hanya itu, lanjut Ali, pada dakwaan kedua, JPU menyebutkan di awal bahwa yang menjadi korban tindak pidana adalah saksi korban Muliadi Sembiring, dan atas keberatan pembela ketidakjelasan Korban dalam perkara aquo Majelis Hakim telah mempertimbangkan bahwa JPU telah melakukan kesalahan pengetikan. Oleh sebab dalam uraian dakwaan kedua surat dakwaan JPU tetap menyebutkan Harno Simbolon sebagai pihak Korbannya.

Ali menilai, dari kedua dalil keberatan (eksepsi) PH di atas, terdapat inkonsistensi pertimbangan Majelis Hakim. Yang mana pada dakwaan pertama Majelis Hakim mempertimbangkan perbedaan nama atau identitas Terdakwa harus melalui pemeriksaan pokok perkara, bukanlah salah pengetikan.

"Namun pada dakwaan kedua Majelis Hakim mempertimbangkan terdapat salah pengetikan oleh JPU tidak sebagaimana dakwaan pertama tadi harus dibuktikan dalam pokok perkara. Sehingga patut dan wajar PH menduga Majelis Hakim telah tidak professional dalam memutus perkara (sela) ini."

Putusan Sela tersebut dibacakan oleh Majelis Hakim pada Senin, 19 April 2021 lalu. Dalam putusan tersebut Majelis Hakim menyatakan keberatan dari Penasihat Hukum Terdakwa tersebut ditolak untuk seluruhnya; Memerintahkan Penuntut Umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara Nomor 124/Pid.B/2021/PN Stb atas nama Terdakwa Syamsul Bahri alias Syamsul dkk tersebut di atas; Menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.

Perkara Syamsul dan Syamsir ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, pada Senin 22 Maret 2021. Sesuai jadwal, sidang keenam perkara Syamsul dan Samsir ini akan digelar pada Senin 26 April 2021. Dengan agenda sidang Pemeriksaan Saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum.

Latar Belakang Kasus

Sebelumnya, pada 8 Februari 2021 lalu, Syamsul Bahri dan M. Samsir, bapak dan anak yang merupakan Ketua dan Anggota Kelompok Tani Nipah, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat mendapat surat panggilan dari Kepolisian Resort Tanjung Pura untuk dimintai keterangan pada 10 Februari 2021, sebagai tersangka terkait tuduhan yang diajukan oleh salah satu pria yang melapor ke polisi dan menuduh Syamsul dan petani lainnya menyerang dia pada 18 Desember 2020.

Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP tentang tindak pidana kekerasan. Tuduhan tersebut menimbulkan pertanyaan karena Syamsul dan Samsir tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau dimintai keterangan terkait laporan tersebut sebelumnya.

Di hari yang sama saat memenuhi panggilan tersebut, bapak dan anak ini kemudian ditahan. Keduanya sempat berada di sel tahanan selama 14 hari, sampai penangguhan penahanan mereka dikabulkan oleh Kepolisian Resort Langkat pada 24 Februari 2021.

Pada awal bulan Maret, kepolisian melimpahkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Langkat. Kejaksaan telah melimpahkan berkas perkara ke PN Stabat. Jika dinyatakan bersalah dengan melanggar Pasal 170 ayat 1 KUHP, Syamsul dan Samsir terancam menghadapi pidana penjara maksimal 5 tahun dan 6 bulan.

Apa yang dialami Syamsul dan Samsir ini diduga kuat merupakan upaya kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Perlu diketahui, Kelompok Tani Nipah yang diketuai Syamsul pada 2018 lalu mendapatkan Surat Keputusan (SK) perjanjian pengelolaan hutan berbasis kemitraan, dengan Nomor SK.6187/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/9/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK) antara Kelompok Tani Nipah Dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah I Stabat, Desa Kwala Serapuh, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara Seluas lebih kurang 242 Hektare.

Dengan adanya SK tersebut, Kelompok Tani Nipah melakukan berbagai upaya rehabilitasi kawasan dengan penanaman mangrove atau bakau jenis Rhizopora, dan Nipah. Mereka menanam mangrove, membuka kanal agar air laut leluasa keluar masuk untuk mengairi wilayah kelola masyarakat.

Namun dalam areal konsesi terdapat perkebunan kelapa sawit sekitar 65 hektare yang diduga tidak memiliki izin dan berada di Pulau Nibung (Pulau Serawak). Hal tersebut menimbulkan ketegangan antara pihak pemilik kebun sawit dan Kelompok Tani Nipah. Ketegangan inilah yang diduga kuat membuat Syamsul dan Samsir ditahan dengan tuduhan pengeroyokan dan penganiayaan.