Aktivis Menggugat Materi Beleid Pencucian Uang ke MK
Penulis : Tim Betahita
Hukum
Rabu, 28 April 2021
Editor :
BETAHITA.ID - Yayasan Auriga Nusantara dan Perkumpulan Kaoem Telapak, dua organisasi non pemerintah antikorupsi menggugat UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diwakili sembilan advokat serta aktivis dari Tim Advokasi Antipencucian Uang, mereka mendaftarkan gugatannya pada Kamis pekan lalu.
Para aktivis antikorupsi menilai dalam beleid TPPU, ada hal yang masih bertentangan dengan konstitusi dan hal itu menimbulkan kejanggalan dalam penegakan hukumnya. Setidaknya, menurut mereka ada dua pasal yang perlu kemudian diujimaterikan.
Pertama, Pasal 2 ayat (1) huruf z yang berbunyi “…tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih.” Kedua, pertentangan norma dalam Pasal 74.
Menurut Direktur Hukum Auriga Nusantara, Rony Saputra, Pasal 2 ayat (1) huruf z memang seharusnya ditinjau ulang, lantaran pertama kebijakan hukum pidana di Indonesia menganut sistem pidana minimum (traf minimal) khusus.
Kedua, banyak kejahatan kejahatan financial yang diancam dengan penjara di bawah 4 tahun. Sebagai contoh pasal 109 UU Perkebunan, Pasal 40 UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, Pasal 53 (c) UU Minyak dan Gas Bumi.
Dengan melakukan pengujian pasal 2 ayat (1) huruf z, kata Rony, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan Pasal 2 ayat (1) huruf z Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “…tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih”. Hal itu, lanjutnya, “dimaksudkan untuk memperkuat jaminan efektifitas penegakan hukum anti-pencucian uang (rezim anti pencucian uang”
Selanjutnya yang menjadi sorotan dalam batang tubuh UU TPPU adalah ketidak-sinkronan norma pasal 74 dengan penjelasan pasal 74. Menurut para aktivis seolah penjelasan pasal 74 membuat norma tersendiri.
Seharusnya berdasarkan kaidah pembentukan peraturan perundang-undangan, penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh sebab itu penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma, bukan membentuk norma baru.