Konflik Tambang di Indonesia Luasnya Tiga Kali Pulau Bali

Penulis : Tim Betahita

Tambang

Rabu, 28 April 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah yang merupakan bagian dari koalisi #bersihkanIndonesia mengungkapkan bahwa operasi pertambangan yang dilakukan banyak perusahaan di Indonesia ternyata berkonflik. Luasan konfliknya mencapai 1,6 juta hektare atau sekitar tiga kali luas Pulau Bali.

"Ini catatan sepanjang 2014—2020, operasi pertambangan menyebabkan luasan konflik semakin banyak karena berkaitan dengan kapasitas dan kerentanan warga," kata Merah dalam peluncuran data laporan bencana akibat investasi ekstraksi energi fosil, kemarin. Dalam laporan itu, konflik terjadi antara masyarakat yang berhadapan dengan korporasi maupun aparat yang membela perusahaan-perusahaan tambang.

Merah menjelaskan bahwa konflik diiringi dengan praktik kriminalisasi, seperti yang terjadi dalam penolakan proyek tambang batu andesit untuk kebutuhan tanggul bendungan di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, beberapa hari lalu.

Sejumlah warga ditangkap polisi akibat aksi penolakan proyek tambang, padahal mereka menolak karena tidak rela jika kebun tempat mencari nafkah dan menggantungkan hidup dirusak demi bendungan.

Ilustrasi tambang nikel. Foto: Jatam

"Tak hanya di Wadas, konflik juga terjadi di daerah lain. Kami mencatat sepanjang 2014—2020 terdapat 269 korban kriminalisasi dan penyerangan," kata Merah.

Praktik kriminalisasi dan penyerangan terhadap warga menggunakan beberapa instrumen regulasi tak hanya Undang-Undang Pertambangan, tetapi ada 20 pasal dan tujuh undang-undang lainnya.

Seperti kasus yang dialami nelayan-nelayan di Kodingareng, Sulawesi Selatan yang menolak pertambangan pasir laut untuk reklamasi Makasar New Port.

Mereka dikriminalisasi dengan Undang-Undang tentang Mata Uang karena salah satu nelayan menolak upaya suap dari perusahaan dengan merobek amplop yang berisi uang.

"Ekstravisme pertambangan, smelter, dan PLTU batu bara akan mengundang bencana terus-menerus dan berlanjut yang mengancam keselamatan rakyat dan menjadikan mereka sebagai pengungsi sosial ekologis permanen," ujar Merah. Lingkungan rusak ditinggal perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan bauksit ilegal di Bintan, Kepri.