Ribuan Industri Ekstraktif Indonesia Berdiri di Jalur Bencana

Penulis : Kennial Laia

Tambang

Rabu, 28 April 2021

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID - Ribuan proyek industri ekstraktif di Indonesia berada di daerah beresiko tinggi bencana. Proyek tersebut, seperti pembangkit listrik, tambang, dan smelter, rawan terpapar jika terjadi tsunami, longsor, ataupun banjir.

Di seluruh Indonesia, ada 131 izin konsesi pertambangan yang berada di wilayah beresiko tinggi bencana gempa bumi, 2.104 konsesi pertambangan berada di wilayah beresiko tinggi bencana banjir, 744 konsesi pertambangan berada di wilayah beresiko tinggi bencana tanah longsor.

“Salah satu temuan kunci adalah sebanyak 131 pertambangan di Indonesia berada di kawasan resiko gempa bumi. Luasnya mencapai 1,6 juta hektare atau setengah dari luas negara Belgia,” kata Direktur Program Trend Asia Ahmad Ashov Birry kepada wartawan dalam peluncuran laporan virtual, Selasa, 27 April 2021.

Laporan tersebut berjudul Bencana yang Diundang: Bagaimana Potret Awal Investasi Ekstraktif-Energi Kotor dan Keselamatan Rakyat di Kawasn Resiko Bencana Indonesia, diterbitkan oleh gerakan #BersihkanIndonesia bersama Jatam Nasional dan Trend Asia.

Salah satu bekas lubang tambang di Kalimantan Selatan/foto:Auriga Nusantara

Ashov menyebut, konsesi pertambangan di wilayah beresiko tinggi bencana banjir di Indonesia mencapai 4,5 juta hektare, atau setara luas negara Swiss. Luas konsesi pertambangan di wilayah beresiko tinggi bencana tanah longsor pun mencapai 6.154.830 hektare.

Sementara itu, 57 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan kapasitas 8.887 Megawatt (MW) dalam status beroperasi dan 31 PLTU lain dengan total kapasitas 6.950 MW dalam status ragam tahap pembangunan berada di wilayah berisiko tinggi bencana gempa bumi. Angka itu belum termasuk PLTU yang berada di daerah resiko banjir dan tanah longsor. 

Menurut Ashov, masifnya proyek di daerah rawan bencana terjadi karena adanya kesenjangan antara sains dan kebijakan serta implementasinya di lapangan. Hal itu juga dipengaruhi oleh kepentingan oligarki industri ekstraktif di lingkar pemerintahan.

“Mereka yang berkuasa inilah, yang dapat membuat dan mendorong berbagai kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif yang memperparah resiko bencana,” ujar Ashov.

Akibatnya, tingkat kerentanan bencana di Indonesia pun meningkat. Menurut Koordinator Jatam Nasional Merah Johansyah, penyebabnya adalah kerusakan infrastruktur ekologis dari eksploitasi industri tersebut. Fungsi alami lingkungan sebagai benteng bagi masyarakat saat menghadapi bencana pun hilang dan warga setempat semakin rentan. 

Merah mencontohkan, fungsi ekologis Gunung Tumpang Pitu dan Gunung Salakan di pesisir Banyuwangi Selatan. Saat tsunami 1994 terjadi, warga sekitar menjadikan gua-guanya sebagai ruang evakuasi. Kedua gunung juga membentengi desa-desa setempat sehingga mengurangi dampak tsunami. Namun, kedua gunung ini rusak dan terancam oleh operasi pertambangan emas PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo, kata Merah.

“Warga terdampak dibuat semakin rentan. Namun, warga dibuat tidak boleh menolak pengrusakan oleh industri ekstraktif di wilayahnya. Ruang partisipasi warga ditutup, tak ada hak untuk menolak dan veto bagi rakyat,” ungkap Merah. 

Warga terdampak seharusnya terlibat dalam pengambilan keputusan menyangkut pembangunan proyek di ruang hidup mereka. Menurut Merah hal ini tidak terjadi. Ketika warga protes, upaya tersebut dihadapkan dengan kekerasan.  

Jatam Nasional mencatat, terdapat 269 korban kriminalisasi sepanjang 2014-2020 menggunakan instrumen regulasi pemerintah. Kasus penangkapan Kodingareng yang menolak Makassar New Port dikriminalisasi dengan Undang-Undang Mata Uang karena merobek amplop berisi uang pelicin dari perusahaan agar warga menerima proyek tersebut. 

'Regulasi mengundang bencana', warga dibungkam

Merah menjelaskan, regulasi terkait pengelolaan sumber daya alam seperti Undang-Undang Minerba dan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja mengundang bencana itu sendiri. Pasal-pasal longgar terkait perubahan tata ruang mempermudah masuknya investasi ekstraktif di kawasan rawan bencana. 

Selain itu, ada aturan yang menjamin perpanjangan otomatis bagi kontrak pertambangan besar. Hal ini menutup peluang evaluasi atau koreksi alokasi konsesi yang ada di kawasan rawan bencana. Merah mengatakan, pemusatan kewenangan di pemerintah pusat juga melancarkan Proyek Strategis Nasional (PSN). Padahal, proyek itu banyak mensubversi ruang daerah dan menempatkan penilaian resiko bencana di daerah di bawah kepentingan pemerintah pusat dan pengusaha. 

Hal itu dialami oleh warga Desa Wadas, Kecamatan Purworejo, Jawa Tengah. Sejak 2018, warga telah menolak terhadap rencana penambangan kuari batu andesit untuk Bendungan Bener yang masuk dalam proyek strategi nasional. Aksi damai baru-baru ini dibalas dengan kekerasan dan penangkapan warga dan pendamping hukum. 

“Kami sangat sadar kalau proyek itu akan mengundang bencana. Karena itu, kami menolaknya,” ujar Mukti, warga Desa Wadas

Arzad Hasan, warga terdampak karena PLTU batu bara Panau di Palu, Sulawesi Tengah, turut bersuara. Menurutnya, warga sekitar telah menderita selama 11 tahun akibat pendirian dan pencemaran udara dari PLTU Panau. Pada 2018, pembangkit listrik itu roboh dihantam tsunami. Walau demikian, pembangkit listrik itu telah mulai dibangun kembali. 

“Selama 11 tahun kami menderita sejak pendirian PLTU Panau. Kini setelah PLTU ambruk karena tsunami, kami akhirnya bisa hidup nyaman. Kami menolak PLTU Panau dibangun kembali,” ujar Arzad

Provinsi lain, seperti Bengkulu, mengalami hal serupa. Menurut Merah, walau Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat telah menyatakan lokasi pembangunan PLTU batubara Teluk Sepang sebagai area beresiko tinggi bencana, proyek tersebut tetap dilanjutkan. 

"Laporan ini kami luncurkan satu hari setelah Hari Kesiapsiagaan Bencana. Nyatanya, Indonesia tidak siap menghadapi bencana dengan fakta yang terpapar di laporan ini," kata Ashov

#Bersihkan Indonesia, Jatam Nasional, dan Trend Asia meminta Presiden Jokowi, Kementerian Energi Sumber Daya dan Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta badan negara terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk membatalkan undang-undang dan regulasi pengundang bencana seperti Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja.