Suku Awyu dan Hutan Adatnya yang Dihargai Belasan Ribu Rupiah

Penulis : Sandy Indra Pratama

Hukum

Selasa, 04 Mei 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Malang nasib Suku Awyu. Hilang hutannya, hilang pula segala penopang hidupnya. Hari ini tanah leluhur yang mereka miliki secara adat, dikoyak-koyak perusahaan raksasa.

Pohon-pohon kayu mewah lalu rebah, Hutan alam subur itu sekarang tak lagi megah.

Lantas apa yang kemudian menjadi pengganti hidup bagi Suku Awyu? Secarik kertas menjelaskan segalanya.

Kertas itu berisikan perjanjian antara Suku Awyu, yang mungkin pada saat perjanjian dilakukan mereka tak mengerti akan diapakan tanah adat milik mereka, dengan perusahaan yang membabat habis hutan mereka.

Foto udara memperlihatkan kawasan hutan yang ditebang perusahaan tanpa HGU di Distrik Jari, Kabupaten Boven Digoel, Papua. Foto: Yayasan Pusaka

Singkatnya perjanjian di atas kertas itu berbunyi: “Pihak Pertama yang dalam hal ini adalah perusahaan industri pengolahan kayu PT. Digoel Kayu Industri, yang merupakan bagian dari PT. Digoel Agri Group, menyerahkan duit senilai Rp 20.904.000 sebagai kompensasi atas pengambilan kayu sebanyak 1.396 meter persegi.”

Artinya, dengan surat perjanjian itu, Suku Awyu, pemilik tanah dan hutan adat setempat kehilangan hak dan akses atas kekayaan hutan. Dan hanya diberikan kompensasi kayu, yang nilainya sebesar Rp. 15.000 per kubik.

Ya, belasan ribu rupiah saja, setara satu kilogram gula pasir premium yang bisa didapat di minimarket paling dekat dari rumah kita. Itu sudah.

“Perusahaan mendapatkan keuntungan berlipat dari usaha perkebunan kelapa sawit, pembalakan kayu dan industri pengolahan kayu, sedangkan masyarakat adat hanya belasan ribu saja, ” kata Tigor Gemdita Hutapea, Staff Advokasi Yayasan Pusaka dalam laporannya. Hal semacam ini, katanya, “tidak adil dibandingkan dengan nilai dan manfaat hutan.”

Cerita soal Suku Awyu bukan fiksi. Bukan pula dongeng karangan soal sekelompok warga yang terperdaya. Suku Awyu dan penderitaannya itu adalah nyata. Ada di ujung Timur negara yang bernama Indonesia. Tepatnya di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua.



***

Babak cerita soal Suku Awyu lalu berpindah ke Jayapura, ibu kota provinsi Papua. Kota besar tempat di mana persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura digelar.

Dua perusahaan perkebunan, PT Trimegah Karya Utama dan PT Manunggal Sukses Mandiri, menggugat keputusan Pemerintah Boven Digoel yang mencabut izin usaha mereka, pada lima tahun lalu.

Dua perusahaan ini merupakan bagian dari tujuh perusahaan konsorsium Proyek Tanah Merah yang dimotori Chairul Anhar, pemilik PT Menara Group. Sebuah korporasi raksasa yang terlibat persoalan Tanah Merah -proyek pembabatan hutan alam untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan alam di Kabupaten Boven Digoel.

Tak main-main, luasan konsesi yang dikuasainya mencapai 269.875 hektar. Setara empat kali luas Ibu Kota Jakarta.

Menurut data dan catatan dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, proyek sarat persoalan ini dikembangkan dengan cara-cara melanggar hukum. Mulai dalam perolehan izin usaha, hingga izin yang diperoleh melalui perusahaan cangkang yang tidak memiliki operasi bisnis dan rekam jejak, struktur perusahaan yang rumit dan terjadi dan kesepakatan transaksi serta penjualan perusahaan secara rahasia.

Lantaran proyek Tanah Merah bermasalah tak heran izinnya kemudian dicabut pemerintah. Tapi kini, Kini PT. Trimegah Karya Utama (TKU) dan PT. Manunggal Sukses Mandiri (MSM) dimiliki perusahaan penebangan kayu Tadmax Resources asal Malaysia. Mereka ingin mecoba merebut kembali apa yang pernah mereka mulai: Izin usaha Perkebunan Kelapa Sawot.

Sidang kemudian berjalan. Borok perusahaan mulai kembali terurai.

Dalam persidangan, Jamaludin Tawurutubun, seorang pegawai Dinas Penanaman Modal PTSP Provinsi Papua, yang dihadirkan sebagai saksi mengatakan pemerintah Provinsi Papua tidak pernah memproses Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan. Penerbitan IUP diperoleh tanpa prosuder instansi pemerintahan.

Jamaludin, dalam catatan Yayasan Pusaka yang mengikuti proses persidangan, menegaskan terjadinya pemalsuan surat Izin Usaha Perkebunan dan tanda tangan.

Skandal pemalsuan perizinan dalam proyek Tanah Merah telah lama menjadi isu. Kini, pernyataan Jamaludin di depan persidangan mengkonfirmasi dan menjadi bukti terjadi pemalsuan dokumen.

Pemalsuan dokumen juga terungkap pada perusahaan industri pengolahan kayu PT Tulen Jayamas Timber Industries (TJTI), yang masih menjadi bagian proyek Tanah Merah. PT. TJTI dibangun untuk menampung kayu hutan alam hasil land clearing dari usaha perkebunan kelapa sawit.

Nilai kayu diprediksi senilai US$ 6 Miliar atau setara 90 triliun, angka fantastis hasil dari skandal pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Bulan November 2019, kemudian pemerintah Kabupaten Boven Digoel mengeluarkan surat penghentian operasi PT Tulen Jaya Mas karena terjadi pemalsuan izin lingkungan.

Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menilai tindakan pejabat pemerintah Kabupaten Boven Digoel dan Provinsi Papua menghentikan aktivitas perusahaan yang terlibat skandal Proyek Tanah Merah, sudah tepat dan harus menyeluruh. Saat ini, perusahaan lainnya PT Megakarya Jaya Raya, PT Kartika Cipta Pratama dan PT Graha Kencana Mulia, masih bebas dan aktif melakukan ekspansi penggusuran hutan dan pengembangan kebun, padahal perusahaan yang terkoneksi dengan proyek Tanah Merah tersebut masih mempunyai permasalahan perizinan, tindak pidana pemalsuan dan pengabaian kewajiban dalam syarat ketentuan usaha perkebunan.

Pemerintah masih juga memberikan izin-izin baru kepada perusahaan baru pada lahan eks Menara Group, seperti perusahaan PT. Bovendigoel Budidaya Sentosa, PT. Perkebunan Boven Digoel Sejahtera, milik perusahaan modal asing PT. Digoel Agri Group.

Kabar terbaru dua perusahaan tersebut telah melakukan penebangan dan pembongkaran hutan sejak 2019 sampai saat ini, tanpa memiliki perizinan yang tuntas dalam pengembangan lahan usaha perkebunan. Skandal Tanah Merah seolah berulang.

Perlu diketahui, PT Digoel Agri group adalah perusahaan induk dari PT. Digoel Kayu Industri -perusahaan yang menghargai kayu adat Suku Awyu senilai belasan ribu rupiah saja.

Atas nama penegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat adat, akhir tahun 2020 Pusaka melakukan pengaduan pelanggaran proyek tanah merah ke kementerian lingkungan hidup. Namun hingga saat ini tidak ada respon yang dilakukan kementerian lingkungan hidup. Hutan alam Suku Awyu yang menjadi lokasi proyek tanah merah adalah potret bisnis oligarki sumber daya alam.

Oleh karenanya, di persidangan Yayasan Pusaka mengajukan Amicus Curiae (Sahabat Peradilan), Dalam keterangannya, Yayasan Pusaka mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran penerbitan izin yang diperoleh menara group dan dampak-dampak kehadiran perusahaan kepada masyarakat adat. Hasilnya? Majelis hakim telah memutuskan menolak gugatan kedua perusahaan dengan alasan tidak memiliki kewenangan memutuskan perkara.