Mengenal Tapir Asia, Mamalia Introvert yang Terancam Punah

Penulis : Kennial Laia

Konservasi

Jumat, 14 Mei 2021

Editor :

BETAHITA.ID -  Tapir merupakan mamalia langka. Hewan berkuku ganjil ini terdiri dari empat spesies. Tiga di antaranya ada di Amerika Selatan. Sementara itu spesies lainnya ada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.  

Di Indonesia, spesies tapir ini (Tapir indicus) hanya dapat ditemui di hutan dataran rendah Pulau Sumatra, yakni hanya di bagian selatan Danau Toba hingga Lampung. Hewan yang dikenal dengan berbagai nama lokal seperti simantuang, rason, gindol babi alu, atau kuda arau. 

Seperti mamalia besar eksotis lainnya, tapir Asia masuk dalam daftar merah International Union of Conservation of Nature (IUCN). Satwa ini tergolong dalam kategori endangered, atau terancam karena populasinya terus menurun.

Satwa ini mudah dikenali dari pola warna tubuhnya. Bagian depan seperti kepala, leher, dan kaki berwarna hitam, sedangkan bagian belakang termasuk punggung dan panggul berwarna putih. Tapir yang baru lahir biasanya berwarna coklat gelap kemerahan, dan mulai berganti setelah berumur 2 atau 3 bulan. Ketika dewasa, panjangnya mencapai 224 centimeter. 

Tapir asia (Tapirus indicus). Foto: edgeofexistence.org

Ciri khas dari satwa ini adalah hidung dan bibir atas yang memanjang seperti belalai. “Belalai” ini sangat kuat dan berfungsi untuk mengambil makanan di hutan, dengan cara memetik atau mencabut pucuk-pucuk muda dan ranting lunak. Tapir juga memiliki penciuman dan pendengaran yang baik, namun penglihatannya lemah. 

Keunikan tapir terletak pada jumlah jemari kakinya yang ganjil. Bagian kaki depan terdapat empat jari, sementara kaki belakang hanya tiga. Tapir juga mampu berenang dan menyelam dalam air dengan durasi yang lama. 

Di dalam hutan, tapir lebih suka menyendiri (soliter). Namun hal ini tidak berlaku bagi induk dan anaknya, atau jantan dengan betina pada musim kawan. Hewan ini nokturnal atau aktif pada malam hari. 

Tapir merupakan hewan herbivor. Dia menyukai daun muda atau cabang yang baru tumbuh serta rerumputan dan tanaman perdu. Selain itu, satwa ini juga memakan buah yang jatuh ke tanah seperti nangka, durian, semangka, dan mentimun. 

Ketika makan, tapir biasanya menarik tumbuhan sampai merunduk. Bagian yang tidak dimakan tapir dimanfaatkan oleh satwa lain seperti kancil, rusa, babi, dan kijang. 

Ini merupakan salah satu fungsi ekosistem tapir, yakni meningkatkan jumlah makanan bagi spesies lain. Tapir juga disebut sebagai satwa pemencar biji, karenanya kebiasaan makan tersebut memberi peran besar terhadap regenerasi hutan. 

Walau tidak diketahui secara pasti, satwa ini diperkirakan dapat berumur rata-rata hingga 30 tahun. Semasa hidupnya, tapir betina hanya dapat melahirkan satu ekor anak setiap siklus reproduksi. Biasanya satwa ini mulai berkembangbiak ketika mencapai umur 3 tahun (jantan) dan 2,8 tahun (betina). 

Umur tapir di alam tidak ada yang mengetahui secara pasti, namun untuk kebun binatang rata-rata sampai 30 tahun. 

Populasi tapir di Indonesia belum pasti. Dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Tapir 2013-2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat kepadatannya berkisar antara 0,3 hingga 0,8 individu per kilometer persegi.

Menurut KLHK, ancaman terbesar pelestarian tapir adalah hilangnya habitat, fragmentasi, dan perburuan liar untuk dijual dagingnya. Dalam 10 tahun terakhir, penyusutan dan kerusakan hutan dataran rendah di Sumatra telah mencapai titik kritis dan dapat menyebabkan bencana ekologis, termasuk punahnya satwa ini.